Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 12 Juni 2012

DINAMIKA NEGARA (MEMBAIK / MEMBURUK) DITENTUKAN POLITIK, DIPLOMASI &/ PERANG. Suara Individu Muslim dalam Pemilu Amatlah Berarti

DR. Fuad Amsyary
Seorang Ketua PP Muhammadiyah ’forward’ ke saya sms seorang Ketua DDII yang berbunyi sebagai berikut:
“Wahai Muslimin, Ketahuilah, Partai Politik Islam itu adalah aset kita ummat Islam dalam memperjuangkan Islam di Indonesia ini. Jangan tinggalkan aset kita itu, apalagi membencinya. Kemenangan mereka di forum politik adalah kemenangan kita dalam memperjuangkan Islam. Memang, kita belum melihat hasil perjuangan mereka karena suara mereka di DPR belum dominan. Kemenangan mereka amat bergantung kepada pemberian suara kita kepada mereka dalam Pemilu. Memberikan suara kepada Partai Islam berarti kita ikut bersama-sama berjihad fie sabilillah, karena satu tusukan dalam Pemilu menentukan masa depan Islam di negeri ini. Wahai saudaraku seiman, camkanlah ini. Wass…”.
SMS di atas adalah sms POLITIK. Saya sependapat dengan pengirimnya maka saya teruskan sms tersebut ke teman-teman sebagai berikut:
“Seorang Ketua PP Muhammadiyah memforward ke saya sms di bawah ini.  Mari kita sebar-luaskan demi kemuliaan umat dan bangsa. (saya sambung dengan sms di atas)”.
Banyak diantara kita mungkin tidak sadar bahwa nasibnya, di dunia maupun di akherat, amat ditentukan oleh kondisi negeri di mana tinggal. Jika negeri itu rusak maka nasibnyapun terancam rusak. Pengertian rusak secara individual di sini jangan dipersempit dengan masalah besarnya penghasilan atau kekayaan ekonomi-materi saja, namun juga ukuran hati seperti  ketenteraman, rasa aman (‘secure’), kemandirian, kehormatan, dan keakraban sosial, serta akibat atau nasib di akherat nanti. Suatu negeri muslim (mayoritas penduduknya muslim) walau diberitakan bahwa ekonomi makronya menguat, katakan pertumbuhan  tinggi dan pendapatan per kapita besar harus waspada. Pertumbuhan ekonomi tinggi (apalagi jika dari hasil eksplorasi-menjual kekayaan tanah air), dan pendapatan per kapita besar yang dihitung dari angka rata-rata (statistik mean, bukan median atau mode) ternyata bias oleh data outliar yang extrem karena penghasilan beberapa warga yang maha kaya-raya, amatlah menyesatkan. Kehebatan/keberhasilan ekonomi makro itu ternyata dinikmati kelompok kecil elit saja yang hidup nyaman bermegah berfoya di tengah kemiskinan yang masif. Negeri itu jelas bukan negeri yang maju dan mulia, apalagi jika akhlak bangsanya hancur,  kejahatan merajalela, keyakinan-ketaatan beragama tergerus, sumber daya akamnya terkuras, dan kedaulatan negara melemah, didekte  asing. Negeri muslim seperti itu jauh dari kategori kemuliaan suatu bangsa yang tentu membuat penduduk umumnya menderita. Individu warga negara yang mayoritasnya muslim akan susah hidupnya, jauh dari kecukupan dan kemajuan.
Mari dicermati nasib banyak negeri muslim di dunia. Sepertinya secara makro mereka dianggap berhasil karena pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapitanya naik pesat. Namun coba dilihat sumber daya alamnya, khususnya minyak dan gas bumi, kian habis, padahal rakyat pada umumnya masih miskin, bodoh, dan sakit. Rakyat yang umumnya muslim tetap saja lemah dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, ilmu-terknologi,  kesehatan, rasa persaudaraan, dan kualititas aqidahnyapun merosot. Apakah negeri semacam itu berprospek di masa depan? Apakah negeri seperti itu bisa disebut negeri hebat walau disanabermunculan  pencakar langit tertinggi se dunia padahal bukan buatan bangsa  sendiri, atau dikatakan kemampuan militernya canggih padahal karena membeli dari negeri lain dan selalu bergantung pada pemasok suku cadangnya yang setiap saat akan diblokir jika tidak mengikuti kehendak negeri penjualnya?
Pada umumnya individu, keluarga, dan komunitas muslim di banyak negeri muslim kondisinya menyedihkan karena  negerinya bukan negeri yang baik, bukan ‘baldatun thoyibatun wa robbun ghafur’, karena tidak dikelola sesuai syariat kenegaraan yang diajarkan oleh Islam. Selintas negeri itu bagus dari luar namun sesungguhnya tidak ada apa-apanya, hanya sebagai ‘satelit’ ideologi non-Islam, belas kasih kekuatan asing, bahkan menjadi sapi perah bagi kebutuhan sumber daya alam bangsa lain. Astaghfirullah. Bagaimana Indonesia, sebuah negeri muslim terbesar di dunia?
Perubahan sebuah negeri muslim dari baik ke buruk atau sebaliknya pada dasarnya ditentukan oleh Pemimpin negara tersebut, apakah kebijakan nasionalnya berpayung pada ideologi yang baik (Islam) atau ideologi buruk (sekuler, non-Islam). Jika berpayung pada ideologi sekuler maka  negeri bisa mudah terdisintegrasi atau maksimal bisa berkualitas ‘subsistence’ oleh belas kasih negeri sekuler  yang sudah mapan, sedang jika berpayung pada ideologi Islam maka akan memperoleh kekuatan dari Allah SWT, mandiri, adil-sejahtera, termuliakan.,dan berperan sebagai mercusuar kebaikan-kebenaran ke dunia internasional (lihat rasionalnya di artikel2 lain di blog ini). Bagaimana umat bisa memiliki Pemimpin Negeri yang mau berpayung pada ideologi Islam? Itu masalah POLITIK, yang perlu diupayakan oleh proses politik. Dakwah Islamiyah, Pendidikan Islam, dan aktifitas sosial-kemasyarakatan Islam lain di negeri muslim harusnya digerakkan untuk memiliki Pemimpin Negeri yang benar-benar berkualitas Taat Syariat secara utuh, bukan hanya dalam aspek indentitas diri dan  ritualnya saja. Pemimpin Negeri muslim itu itu harusnya berkeyakinan bahwa syariat Islam terkait pengelolaan bangsa-negara (Poleksosbudhankam) diterapkan secara nyata kalau ingin terrealisir kejayaan dan kemulian bangsa. Ormas, Lsm, Sekolah, Pondok Pesantren, Paguyuban Islam dan semacamnya harus diajak agar berfihak pada Partai Politik ynag berorientasi mengetrapkan Ideologi Islam, bukan ideologi Sekuler. Hanya melalui proses Politik maka negeri muslim akan terselamatkan. Partai Politik yang bervisi-bermisi penegakan ideologi Islam hanyalah Partai Politik Islam, bukan partai Non-Islam. Partaim Islam itulah yang harusnya dipilih umat, demikian esensi dari sms yang saya terima.
Dengan pemahaman seperti diuraikan di atas maka semua Aktifis Islam seharusnya segera mendukung Partai Politik Islam, apakah secara langsung yakni masuk menjadi fungsionaris di dalamnya guna memperbaiki dan  memperkuatnya atau secara tidak langsung yakni dari jalur tidak formal  (karena halangan undang-undang misalnya) namun menguatkan Partai Islam dalam bentuk memberi arahan pada jamaahnya, temannya, keluarganya, dan siapa saja supaya mendukung dan memilih Partai Islam. Jangan kiranya hanya pasif, berpuas diri dalam kegiatan sosial dan ‘tidak peduli’ pada permasalahan politik. Hanya sebagai pengamat, tidak berfihak, sepertinya semua partai politik sama saja, sama baiknya atau sama brengseknya. Apalagi jika malah merusak kekuatan partai Islam dengan mencari-cari kelemahan beberapa tokoh Partai Islam dan mengkritik secara vulgar terbuka kok  masih tidak profesional, tidak berakhlak baik, masih korup, masih.. masih… berbagai kekurangan lain, yang bernuansa menjelekkan Partai Islam dan secara tidak langsung memuji Partai Sekuler. Sebagai umat Islam apalagi menjadi orang yang berpengaruh di lingkungannya jangan bersikap begitu. Terjunlah untuk memperbaiki Partai Islam jika masih dianggap lemah, berilah masukan konsep jika ada program Partai Islam yang belum efekltif, sumbanglah  dengan dana jika sedang kaya, promosikanlah jika memiliki kemampuan berkomunikasi dengan umat. Dengan sikap berfihak Islam seperti itu insyaAllahIndonesiaakan segera berubah menjadi negeri muslim yang adil-sejahtera, mandiri, penuh kemualiaan, dan menjadi mercusar kebaikan bagi kehidpan internasional.
Sebuah negeri muslim juga bisa rusak atau membaik oleh aktiifitas DIPLOMASI. Namun diplomasi jangan dipakai untuk penghambaan pada kekuatan asing. Diplomasi harus bersandar pada kesetaraan antar dua negeri, yang bersikap saling menghormati dan saling memberi-menerima secara adil tanpa pendiktean atau perilaku ketidak adilan atau kecurangan. Untuk bisa tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negeri lain maka negeri muslim memang harus memiliki kekokohan nasional, kemampuan kenegaraan yang hebat, termasuk ketahanan militer yang canggih agar tidak mudah setuju saja oleh ancam-ancaman dikucilkan, diembargo,  dan diperangi. Negeri muslim harus memiliki posisi tawar yang hebat karena kekayaan alamnya, sistemnya yang solid, dan militernya yang canggih oleh kemampuan keilmuan-tekbnologi dari bangsa sendiri. Kasus Uni Sovyet memberi contoh bagaimana sebuah negeri besar ternyata bisa hancur oleh kekuatan diplomasi. Melemahnya kekuatan kekhalifahan Ali bin Abu Thalib juga terjadi oleh jalur diplomasi.
Akrirnya perlu disadari juga bahwa sebuah negeri muslim bisa saja hancur berantakan, mundur bertahun-tahun kondisi sosial-ekonominya ke belakang karena kalah perang dengan lawan ideologinya. Bagaimana Sultan Agung kalah perang dengan Penjajah Belanda saat mau mengambil alih benteng Kompeni di Batavia yang akhirnya membuatIndonesiajatuh ke kekuasaan kolonial dan menjadi negeri terjajah beratus tahun.Bagaimana Afganistan,Iraq, danLibya  hancur  berantakan oleh serangan militer negeri lain. PERANG jelas bisa merubah nasib suatu negeri muslim.
Alhamdulillah agama Islam memiliki panduan atau tuntunan dari kitab sucinya al Qur’an dan percontohan Rasulullah Muhammad SAW mengenai ke tiga aspek itu: Politik, Diplomasi, dan Perang. Di masa Rasul, dengan tuntunan utuh seperti itu, maka sebuah noktah tidak berarti di Timur Tengah berubah menjadi mercu suar peradaban umat manusia di dunia. Mengapa umat Islam masa kini tidak kembali ke ajaran Islam secara utuh seperti diuraikan di atas? Mengapa umat Islam, termasuk elitnya, hanya bermain di tataran instrumen sebuah ideologi politik? Heboh dan menghabiskan waktunya hanya untuk urusan tidak mendasar seperti berapa naiknya pertumbuhan ekonomi, jumlah kelompok menengah, pendapatan per-kapita, kurs dollar, subsidi untuk orang miskin, pergerakan harga saham, dan ‘tetek bengek’ instrumen ideologi sekuler tersebut? Jawabnya hanya satu: keimanan dan keislamannya perlu segera ditingkatlan agar mencapai kulminasi siap berjuang menegakkan ideologi Islam, Islam Politik, tidak  fobi dan tabu POLITIK, tidak lemah dalam DIPLOMASI, dan tidak takut jika harus PERANG supaya memperoleh kejayaan-kemuliaan dunia-akherat dari Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar