DR. Fuad Amsyary
Seorang Ketua PP Muhammadiyah ’forward’ ke saya sms seorang Ketua DDII yang berbunyi sebagai berikut:
“Wahai Muslimin, Ketahuilah, Partai
Politik Islam itu adalah aset kita ummat Islam dalam memperjuangkan
Islam di Indonesia ini. Jangan tinggalkan aset kita itu, apalagi
membencinya. Kemenangan mereka di forum politik adalah kemenangan kita
dalam memperjuangkan Islam. Memang, kita belum melihat hasil perjuangan
mereka karena suara mereka di DPR belum dominan. Kemenangan mereka amat
bergantung kepada pemberian suara kita kepada mereka dalam Pemilu.
Memberikan suara kepada Partai Islam berarti kita ikut bersama-sama
berjihad fie sabilillah, karena satu tusukan dalam Pemilu menentukan
masa depan Islam di negeri ini. Wahai saudaraku seiman, camkanlah ini.
Wass…”.
SMS di atas adalah sms POLITIK. Saya
sependapat dengan pengirimnya maka saya teruskan sms tersebut ke
teman-teman sebagai berikut:
“Seorang Ketua PP Muhammadiyah memforward
ke saya sms di bawah ini. Mari kita sebar-luaskan demi kemuliaan umat
dan bangsa. (saya sambung dengan sms di atas)”.
Banyak
diantara kita mungkin tidak sadar bahwa nasibnya, di dunia maupun di
akherat, amat ditentukan oleh kondisi negeri di mana tinggal.
Jika negeri itu rusak maka nasibnyapun terancam rusak. Pengertian rusak
secara individual di sini jangan dipersempit dengan masalah besarnya
penghasilan atau kekayaan ekonomi-materi saja, namun juga ukuran hati
seperti ketenteraman, rasa aman (‘secure’), kemandirian, kehormatan,
dan keakraban sosial, serta akibat atau nasib di akherat nanti. Suatu
negeri muslim (mayoritas penduduknya muslim) walau diberitakan bahwa
ekonomi makronya menguat, katakan pertumbuhan tinggi dan pendapatan per
kapita besar harus waspada. Pertumbuhan ekonomi tinggi (apalagi jika
dari hasil eksplorasi-menjual kekayaan tanah air), dan pendapatan per
kapita besar yang dihitung dari angka rata-rata (statistik mean, bukan
median atau mode) ternyata bias oleh data outliar yang extrem karena
penghasilan beberapa warga yang maha kaya-raya, amatlah menyesatkan.
Kehebatan/keberhasilan ekonomi makro itu ternyata dinikmati kelompok
kecil elit saja yang hidup nyaman bermegah berfoya di tengah kemiskinan
yang masif. Negeri itu jelas bukan negeri yang maju dan mulia, apalagi
jika akhlak bangsanya hancur, kejahatan merajalela, keyakinan-ketaatan
beragama tergerus, sumber daya akamnya terkuras, dan kedaulatan negara
melemah, didekte asing. Negeri muslim seperti itu jauh dari kategori
kemuliaan suatu bangsa yang tentu membuat penduduk umumnya menderita.
Individu warga negara yang mayoritasnya muslim akan susah hidupnya, jauh
dari kecukupan dan kemajuan.
Mari dicermati nasib banyak negeri muslim
di dunia. Sepertinya secara makro mereka dianggap berhasil karena
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapitanya naik pesat. Namun coba
dilihat sumber daya alamnya, khususnya minyak dan gas bumi, kian habis,
padahal rakyat pada umumnya masih miskin, bodoh, dan sakit. Rakyat yang
umumnya muslim tetap saja lemah dalam berbagai aspek kehidupan seperti
pendidikan, ilmu-terknologi, kesehatan, rasa persaudaraan, dan
kualititas aqidahnyapun merosot. Apakah negeri semacam itu berprospek di
masa depan? Apakah negeri seperti itu bisa disebut negeri hebat walau
disanabermunculan pencakar langit tertinggi se dunia padahal bukan
buatan bangsa sendiri, atau dikatakan kemampuan militernya canggih
padahal karena membeli dari negeri lain dan selalu bergantung pada
pemasok suku cadangnya yang setiap saat akan diblokir jika tidak
mengikuti kehendak negeri penjualnya?
Pada umumnya individu, keluarga, dan
komunitas muslim di banyak negeri muslim kondisinya menyedihkan karena
negerinya bukan negeri yang baik, bukan ‘baldatun thoyibatun wa robbun
ghafur’, karena tidak dikelola sesuai syariat kenegaraan yang diajarkan
oleh Islam. Selintas negeri itu bagus dari luar namun sesungguhnya tidak
ada apa-apanya, hanya sebagai ‘satelit’ ideologi non-Islam, belas kasih
kekuatan asing, bahkan menjadi sapi perah bagi kebutuhan sumber daya
alam bangsa lain. Astaghfirullah. Bagaimana Indonesia, sebuah negeri
muslim terbesar di dunia?
Perubahan sebuah negeri muslim dari baik
ke buruk atau sebaliknya pada dasarnya ditentukan oleh Pemimpin negara
tersebut, apakah kebijakan nasionalnya berpayung pada ideologi yang baik
(Islam) atau ideologi buruk (sekuler, non-Islam). Jika berpayung pada
ideologi sekuler maka negeri bisa mudah terdisintegrasi atau maksimal
bisa berkualitas ‘subsistence’ oleh belas kasih negeri sekuler yang
sudah mapan, sedang jika berpayung pada ideologi Islam maka akan
memperoleh kekuatan dari Allah SWT, mandiri, adil-sejahtera,
termuliakan.,dan berperan sebagai mercusuar kebaikan-kebenaran ke dunia
internasional (lihat rasionalnya di artikel2 lain di blog ini).
Bagaimana umat bisa memiliki Pemimpin Negeri yang mau berpayung pada
ideologi Islam? Itu masalah POLITIK, yang perlu diupayakan oleh proses
politik. Dakwah Islamiyah, Pendidikan Islam, dan aktifitas
sosial-kemasyarakatan Islam lain di negeri muslim harusnya digerakkan
untuk memiliki Pemimpin Negeri yang benar-benar berkualitas Taat Syariat
secara utuh, bukan hanya dalam aspek indentitas diri dan ritualnya
saja. Pemimpin Negeri muslim itu itu harusnya berkeyakinan
bahwa syariat Islam terkait pengelolaan bangsa-negara
(Poleksosbudhankam) diterapkan secara nyata kalau ingin terrealisir
kejayaan dan kemulian bangsa. Ormas, Lsm, Sekolah, Pondok
Pesantren, Paguyuban Islam dan semacamnya harus diajak agar berfihak
pada Partai Politik ynag berorientasi mengetrapkan Ideologi Islam, bukan
ideologi Sekuler. Hanya melalui proses Politik maka
negeri muslim akan terselamatkan. Partai Politik yang bervisi-bermisi
penegakan ideologi Islam hanyalah Partai Politik Islam, bukan partai
Non-Islam. Partaim Islam itulah yang harusnya dipilih umat, demikian
esensi dari sms yang saya terima.
Dengan pemahaman seperti diuraikan di
atas maka semua Aktifis Islam seharusnya segera mendukung Partai Politik
Islam, apakah secara langsung yakni masuk menjadi fungsionaris di
dalamnya guna memperbaiki dan memperkuatnya atau secara tidak langsung
yakni dari jalur tidak formal (karena halangan undang-undang misalnya)
namun menguatkan Partai Islam dalam bentuk memberi arahan pada
jamaahnya, temannya, keluarganya, dan siapa saja supaya mendukung dan
memilih Partai Islam. Jangan kiranya hanya pasif, berpuas diri dalam
kegiatan sosial dan ‘tidak peduli’ pada permasalahan politik. Hanya
sebagai pengamat, tidak berfihak, sepertinya semua partai politik sama
saja, sama baiknya atau sama brengseknya. Apalagi jika malah merusak
kekuatan partai Islam dengan mencari-cari kelemahan beberapa tokoh
Partai Islam dan mengkritik secara vulgar terbuka kok masih tidak
profesional, tidak berakhlak baik, masih korup, masih.. masih… berbagai
kekurangan lain, yang bernuansa menjelekkan Partai Islam dan secara
tidak langsung memuji Partai Sekuler. Sebagai umat Islam apalagi menjadi
orang yang berpengaruh di lingkungannya jangan bersikap begitu.
Terjunlah untuk memperbaiki Partai Islam jika masih dianggap lemah,
berilah masukan konsep jika ada program Partai Islam yang belum
efekltif, sumbanglah dengan dana jika sedang kaya, promosikanlah jika
memiliki kemampuan berkomunikasi dengan umat. Dengan sikap berfihak
Islam seperti itu insyaAllahIndonesiaakan segera berubah menjadi negeri
muslim yang adil-sejahtera, mandiri, penuh kemualiaan, dan menjadi
mercusar kebaikan bagi kehidpan internasional.
Sebuah negeri muslim juga bisa rusak atau
membaik oleh aktiifitas DIPLOMASI. Namun diplomasi jangan dipakai untuk
penghambaan pada kekuatan asing. Diplomasi harus bersandar pada
kesetaraan antar dua negeri, yang bersikap saling menghormati dan saling
memberi-menerima secara adil tanpa pendiktean atau perilaku ketidak
adilan atau kecurangan. Untuk bisa tegak sama tinggi dan duduk sama
rendah dengan negeri lain maka negeri muslim memang harus memiliki
kekokohan nasional, kemampuan kenegaraan yang hebat, termasuk ketahanan
militer yang canggih agar tidak mudah setuju saja oleh ancam-ancaman
dikucilkan, diembargo, dan diperangi. Negeri muslim harus memiliki
posisi tawar yang hebat karena kekayaan alamnya, sistemnya yang solid,
dan militernya yang canggih oleh kemampuan keilmuan-tekbnologi dari
bangsa sendiri. Kasus Uni Sovyet memberi contoh bagaimana sebuah negeri
besar ternyata bisa hancur oleh kekuatan diplomasi. Melemahnya kekuatan
kekhalifahan Ali bin Abu Thalib juga terjadi oleh jalur diplomasi.
Akrirnya perlu disadari juga bahwa sebuah
negeri muslim bisa saja hancur berantakan, mundur bertahun-tahun
kondisi sosial-ekonominya ke belakang karena kalah perang dengan lawan
ideologinya. Bagaimana Sultan Agung kalah perang dengan Penjajah Belanda
saat mau mengambil alih benteng Kompeni di Batavia yang akhirnya
membuatIndonesiajatuh ke kekuasaan kolonial dan menjadi negeri terjajah
beratus tahun.Bagaimana Afganistan,Iraq, danLibya hancur berantakan
oleh serangan militer negeri lain. PERANG jelas bisa merubah nasib suatu
negeri muslim.
Alhamdulillah
agama Islam memiliki panduan atau tuntunan dari kitab sucinya al Qur’an
dan percontohan Rasulullah Muhammad SAW mengenai ke tiga aspek itu:
Politik, Diplomasi, dan Perang. Di masa Rasul, dengan
tuntunan utuh seperti itu, maka sebuah noktah tidak berarti di Timur
Tengah berubah menjadi mercu suar peradaban umat manusia di dunia. Mengapa
umat Islam masa kini tidak kembali ke ajaran Islam secara utuh seperti
diuraikan di atas? Mengapa umat Islam, termasuk elitnya, hanya bermain
di tataran instrumen sebuah ideologi politik? Heboh dan menghabiskan
waktunya hanya untuk urusan tidak mendasar seperti berapa naiknya
pertumbuhan ekonomi, jumlah kelompok menengah, pendapatan per-kapita,
kurs dollar, subsidi untuk orang miskin, pergerakan harga saham, dan
‘tetek bengek’ instrumen ideologi sekuler tersebut? Jawabnya hanya satu: keimanan
dan keislamannya perlu segera ditingkatlan agar mencapai kulminasi siap
berjuang menegakkan ideologi Islam, Islam Politik, tidak fobi dan tabu
POLITIK, tidak lemah dalam DIPLOMASI, dan tidak takut jika harus PERANG
supaya memperoleh kejayaan-kemuliaan dunia-akherat dari Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar