JAKARTA (VoA-Islam) –Kemantapan hati umat Islam untuk menerapkan syariat Islam dalam berbangsa dan bernegara kerap diganggu oleh propaganda Islamophobia dengan menghembuskan pernyataan, bahwa negeri ini hidup pula orang yang beragama lain.
“Realitas sosial yang majemuk atau plural seperti itu dijadikan alasan untuk meninggalkan syariat sosial-kenegaraan Islam, lalu dengan rasa bangga mengadopsi konsep non-Islam dalam mengelola negerinya. Padahal di negeri ini juga banyak dihuni oleh mayoritas orang yang beragama Islam.” Demikian dikatakan cendekiawan Muslim, Fuad Amsyari, PhD.
Menurut Fuad, cara hidup atau syariat yang diajarkan oleh Islam meliputi segala aspek kehidupan yang memang diperlukan oleh manusia di dunia, yakni: aspek kehidupan individu, keluarga, dan sosial kenegaraan. Rasulullah telah memberi contoh cara hidup Islami untuk ketiga aspek itu, termasuk bagaimana mengatur negara Madinah.
Tak dipungkiri, tidak ada satu negarapun di dunia ini, bahkan di zaman Rasulullah sekalipun, yang penduduknya itu satu agama. Semua negara di dunia memiliki struktur sosial yang pasti heterogen dalam hal agama.
Tidak bisa diabaikan, bahwa penduduk Indonesia mayoritas muslim, sehingga harus dipahami, negeri ini hendaknya dikelola sesuai syariat Islam, bukan sistem yang lain. Islam itu adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena itu penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sosial kenegaraan akan mendatangkan rahmat bagi bangsa itu, apapun agama yang dipeluknya.
“Islam adalah hadiah kemanusiaan bagi umat manusia di bumi ini untuk mencapai keadilan, kemakmuran, kedamaian dan kelestarian alam semesta. Islam itu ibarat mercu-suaryang harus dinyalakan oleh umat Islam untuk menerangi seluruh rakyat Indonesia yang majemuk. Bahkan Islam itu ibarat vitamin yang harus dibagikan kepada semua warga Indonesia agar mereka sehat-sejahtera,” ungkap Fuad.
Penegakan syariat Islam pada lingkup berbangsa dan bernegara, bertujuan agar bangsa-negara itu menjadi maju dan sejahtera di bawah lindungan dan ampunan Allah Swt.
Isu Pluralitas
Upaya mendorong penerapan syariat Islam di Indonesia, kerap dihalangi oleh pihak yang tidak senang. Kemudian ditiupkan isu pluralitas agama, seolah penerapan syariat Islam yang dicita-citakan adalah sesuatu yang berlebihan.
Menurut Fuad Amsyari, tipuan atau propaganda pluralitas agama seperti itu mempunyai maksud politis, agenda politik, yakni berupaya mendiskriditkan eksistensi umat Islam di negeri ini. Ujung dari agenda itu adalah agar umat Islam Indonesia mau menerima saja alias tidak protes terhadap kebijakan sosial-politik yang tidak bersumber dari ajaran Islam.
Sebut saja seperti: lokalisasi pelacuran, kesetaraan gender yang bias, kebebasan gonta-ganti agama ala HAM Barat, legalisasi klab malam, promosi seks bebas, gay, lesbi, pornografi, budaya mabuk karena peredaran miras, hidup glamour penuh pemborosan di tengah kemiskinan rakyat dan sebagainya.
Bahkan isu pluralitas agama mulai menjurus pada wacana, umat Islam hendaknya mau menerima pemimpin yang bukan dari kalangan Islam (non-muslim), layaknya zaman penjajahan dulu dimana orang Islam diperintah oleh penguasa Belanda dan Jepang.
Propaganda pluralitas agama ternyata efektif untuk mengubah pola pikir di kalangan ulama, santri, sarjana dan cendekiawan muslim. Selanjutnya, dengan dalih menjaga stabilitas negara, kebutuhan pembangunan, keutuhan bangsa, keamanan dan ketertiban, umat Islam disudutkan ketika berwacana menerapkan syariat Islam, menndirikan negara Islam, menghidupkan kembali Piagam Jakarta, serta merta dituduh sebagai pihak yang hendak melakukan makar.
Syariat Islam sebagai Mercu-Suar
Seringkali umat Islam dihadapkan pertanyaan seperti ini: kalau suatu negeri yang mayoritas penduduknya muslim dikelola secara Islami, bagaimana nasib warga negara yang beragama lain? Apakah mereka akan terpuruk dan terhinakan?
Dalam QS. Al-Mumtaha ayat 8-9, Allah Swt berfirman: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang beragama lain yang tidak memerangi Islam, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang berlaku adil. (Namun perhatikan pula) Sesungguhnya Allah melarang kamu untuk menjadikan mereka yang memerangi kamu karena faktor agama dan mengusirmu dari negerimu sendiri, dan membantu orang lain untuk mengusirmu sebagai pemimpin. Barangsiapa (diantara kalian kaum muslimin) yang menjadikan mereka itu sebagai pemimpin, maka sadarilah bahwa sikap itu adalah sebagai kedzaliman.”
Dalam ayat yang lain, Allah Swt juga menyatakan, tidak boleh memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam. Yang jelas, pendirian orang Islam dalam menghadapi rekayasa orang kafir juga harus tegas, yakni memegang teguh cara hidup Islami dan tidak mau hidup dengan cara kaum kafirin.
Dengan berpedoman pada prinsip-prinsip seperti itu, maka kita bisa menyaksikan terjadinya kerukunan dan keharmonisan dalam masyarakat yang majemuk. Ingat, di masa kejayaan umat Islam di bawah naungan panji Islam selama pemerintahan Khulafaur Rasyidin, dimana kehidupan bermasyarakat di negeri yang dikelola secara Islami, kerukunan dan keharmonisan antar umat beragama saling terjaga.
Dikatakan Fuad, Islam bukanlah agama yang direkayasa oleh tangan pemuka agama atau Ketua Adat, sebagaimana yang pernah terjadi pada agama-agama lain, dimana pendeta mempunyai otoritas untuk membuat doktrin agama. Justru Islam memerangi sistem kependetaan. Karena Al Qur’an bukan karangan Nabi Muhammad Saw.
“Al Qur’an juga bukan pengukuhan (justifikator) terhadap adat dan kebiasaan masyarakat ketika itu. Justri Islam datang untuk membasmi adat kebiasaan yang bersifat jahilyah, tak terkecuali merombak sistem dan fondasi kemasyarakatan jahiliyah.”
Adat, sekalipun berasal dari kebiasaan suatu bangsa, tidak selamanya mengandung nilai kebenaran. Kebiasaan hidup dan pergaulan bebas, minuman keras, transaksi riba, jelas tidak menguntungkan. Disinilah kita temukan Islam sebagai rahmat. Penerapannya membawa dampak bagi perbaikan individu dan masyarakat.
Undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif terkadang relevan dengan tuntutan rakyat, tetapi tidak jarang pula ia berada di satu pihak saja (penguasa), sebagaimana undang-undang tidak bisa menjamin keadilan untuk semua orang. Hukum Islam berasal dari Allah yang Maha Tahu tentang kepentingan seluruh hamba-Nya, bukan sepihak.
Sesungguhnya penerapan Hukum Islam tidak pernah menghambat lancarnya aktivitas ekonomi, baik dalam skala individu ataupun negara, selama aktivitas itu tidak bertentangan dengan Syari’ah Islam. Bank-bank tetap melakukan kegiatannya atas asas Islam yang non-riba, sebab Islam mempunyai sistem tersendiri dalam perbankan. Adapun perusahaan asuransi juga demikian, selama tidak mengandung unsur penipuan riba, dan syarat-syarat yang dapat merugikan salah satu pihak.
Adapun tempat hiburan atau perdagangan seks terselubung, maka hukum Islam jelas dan tegas melarang. Hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral, agama, dan kemaslahatan bangsa. Pemasukan negara harus bersumber dari yang halal.
Prinsip Hukum Islam adalah memelihara kepentingan umum. Karena itu tak perlu galau dan risau, jika penerapan syariat diberlakukan di negeri ini. Percayalah, Islam akan menjadimercu-suar dan vitamin bagi seluruh rakyat Indonesia yang majemuk. Desastian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar