Banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut. Pertama, dari sisi jumlah kerugian yang ditimbulkan. Setiap tahunnya, negara setidaknya dirugikan Rp 288 triliun, terdiri atas kekayaan negara yang diselundupkan, seperti pasir laut Rp 72 triliun, BBM Rp 50 triliun, kekayaan laut Rp 36 triliun, satwa langka Rp. 100 triliun. Nilai ini akan semakin membengkak bila item-item lain seperti penyelundupan gula, beras, barang mewah serta sejumlah praktek hitam lainnya.
Kedua, fakta Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang terbitkan oleh Transparency International (TI) secara serentak di seluruh dunia bulan Juni lalu, indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2011 memiliki skor 2,8 dengan rentang indeks antara 0 sampai dengan 10; 0 berarti dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih. Ini sama seperti skor pada tahun 2010 dan 2009. Sementara itu, dari 178 negara yang disurvei, Indonesia berada di peringkat ke-110. Artinya, Indonesia masih sangat korup dan pemberantasan korupsi tak ada kemajuan, jalan di tempat, stagnan.
Survey tahunan ini menunjukan posisi Indonesia kian lama kian terpuruk di bagian bawah, bersama-sama dengan negara-negara korup lainnya dari kawasan Afrika, Asia Selatan dan negara-negara pecahan Uni Sovyet dan yang lebih menyedihkan kita satu peringkat dengan Timor-Leste yang dulunya bagian dari NKRI.
Artinya, untuk Indonesia tak ada kemajuan, jalan di tempat, stagnan. Pemberantasan korupsi bisa membahana dengan segala kegemuruhannya tetapi pada sisi lain korupsi jalan terus: corruption as usual. Saya sama sekali tidak heran, malah terkejut Indonesia bisa bertahan dengan 2,8. Dugaan penulis skor IPK Indonesia akan turun di bawah 2,8 karena melemahnya kinerja pemberantasan korupsi dalam dua tahun terakhir pemerintahan ini.
Berantas Korupsi Sampai Revolusi
Berbagai elemen bangsa mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah berupaya menyuarakan perlawanan terhadap korupsi, namun praktek korupsi nyatanya semakin merajalela diperparah dengan kolusi antara penguasa, penguasaha bahkan kini secara terang-terangan sudah melibatkan anggota dewan. Kini predikat korupsi yang semula identik dengan rezim Orla maupun Orba lambat laun juga disandang oleh rezim reformasi.
Ditengah hiruk pikuk upaya pemberantasan korupsi, ratusan laskar dari sebuah gang sempit dibilangan Petamburan Jakarta Pusat, mendeklarasikan Laskar Anti-Korupsi Indonesia Pejuang (LAKI Pejuang) di depan gedung KPK, Kamis (22/9/2011). Sang deklarator yang juga Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab memimpin acara deklarasi tersebut. Habib Rizieq menjelaskan bahwa deklarasi LAKI Pejuang merupakan bentuk keprihatinan FPI terhadap bangsa dan negara yang dikerumuni oleh para koruptor.
Dalam kesempatan tersebut LAKI Pejuang meminta pimpinan KPK tidak tebang pilih dalam memberantas korupsi, lantaran telah membuat rakyat semakin miskin, menderita, dan kelaparan. Menurut LAKI Pejuang, hal tersebut disebabkan rezim penguasa berlindung di balik kapitalisme. Dalam orasinya, Habib rizieq mendoakan agar rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera diruntuhkan oleh Allah SWT karena telah membuat rakyat sengsara.
Habib Rizieq menambahkan, tidak akan membiarkan rezim terus berlanjut. Sudah saatnya kita melakukan revolusi karena Presiden SBY melindungi para koruptor, mengeruk kekayaan negara demi kesejahteraan keluarga.
Habib Rizieq juga mengimbau para pemimpin bangsa untuk tidak meremehkan kekuatan masyarakat. Jika tidak mampu memberantas korupsi, maka rakyat akan marah dan akan melakukan revolusi.
"Hidup revolusi, takbir, saya ingatkan kepada pemimpin bangsa ini jangan remehkan rakyat Indonesia. Kekuatan umat dan rakyat dengan izin Allah kami akan melakukan revolusi," imbuhnya.
Beberapa hari sebelum deklarasi, Habib Rizieq dikediamannya menerima dan mengatakan kepada beberapa tokoh nasional yang juga merupakan pendiri LAKI Pejuang, bahwa dibentunya LAKI Pejuang bukan untuk kepentingan atau membela siapapun akan tetapi untuk memberikan solusi terhadap persoalan bangsa yang semakin hari semakin parah, khususnya masalah korupsi. Lebih lanjut habib juga memperingatkan bahwa dalam perjuangannya FPI melalui LAKI Pejuang hanya akan memberikan solusi dengan syari’at Islam, jadi tidak ada satupun tokoh ataupun simpatisan dari LAKI Pejuang yang menentang itu. Bahkan Habib Rizieq lebih tegas mengatakan jika ada dari para tokoh LAKI Pejuang di tengah perjalanan melakukan penghianatan maka Habib tidak akan keluar dari LAKI Pejuang, namun tidak segan untuk melawan para penghianat tersebut (red).
Sejumlah tokoh yang mendatangi KPK antara lain mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazir, Permadi (politikus Gerindra), Ridwan Saidi (Budayawan), Habib Rizieq (Ketua Umum FPI), dan KH. Muhammad Al Khaththath (Sekjen FUI).
Korupsi Orde SBY
Sebenarnya upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak zaman Orde Lama, ketika istilah korupsi mulai dikenal. Pada masa Orde Lama diterbitkan Peraturan Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut pada 1957 bernama Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, yang dimaksudkan untuk menjaring para koruptor ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai tidak mampu melakukannya.
Pada masa Orde Lama itu juga keluar pertama kali Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan bahaya yang kemudian digantikan Perpu Np. 24 Tahun 1960. Setahun kemudian Perpu itu disetujui Parlemen menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, yang menjadi payung hukum pertama pemberantasan korupsi di Indonesia. Akan tetapi usaha pemberantasan korupsi dalam masa ini tidak sukses oleh karena penguasaan bisnis oleh militer dan kolusi yang dilakukan pejabat negara.
Pada masa Orde Baru, upaya pemberantasan korupsi semakin ditegaskan dengan hadirnya sejumlah langkah kebijakan, seperti pembentukan Tim Pemberantas Korupsi (TPK) melalui Keputusan Presiden No. 228 Tahun 1967. Empat tahun kemudian DPR merilis UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, serta sejumlah peraturan dan perundangan lain.
Namun, seperti halnya Orde lama, peraturan tinggallah peraturan. Praktek yang terjadi justru sebaliknya, korupsi semakin merajalela diperparah dengan kolusi antara penguasa dan penguasaha serta nepotisme. Ketiga penyakit –yang kemudian dikenal dengan singkatan KKN—ini justru yang identik dengan pemerintahan era Soeharto tersebut, sekaligus penyakit ini pula yang mengantarkan kekuasaan Orde Baru ke liang kubur, pada 1998, melalui gerakan Reformasi.
Orde Reformasi hadir dengan semangat memberantas KKN sampai ke akar-akarnya. Namun pemerintah yang datang silih berganti dalam masa yang pendek (empat presiden dalam masa kurang lebih tujuh tahun sejak 1998), belum secara signifikan menekan angka kebocoran anggaran di sana-sini. Justru, yang diingat orang mengenai korupsi pasca Reformasi adalah : “kalau pada masa Orde Lama korupsi terjadi di bawah meja, sedangkan pada masa Orde Baru transaksi korup terjadi diatas meja, maka pada era Reformasi mejanya pun ikut dikorup”.
SBY sebagai Pembinan Partai Demokrat sekaligus Presiden Indonesia seharusnya menjadi memberikan contoh dan keseriusan untuk memberantas Korupsi dari lingkaran terdekat. Sejumlah kasus korupsi yg terkait kader Partai Demokrat masih menggantung, menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yaitu:
Johnny Allen Marbun adalah politisi Demokrat yang hingga saat ini masih menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi pembangunan dermaga dan bandara di kawasan Indonesia Timur. Anggota DPR asal Sumut ini rupanya masih belum bisa dijamah oleh lembaga superbody KPK. Berikutnya, Max Sopacua yang juga masih berstatus sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Departemen Kesehatan. Mantan penyiar televisi ini juga masih bebas melenggang sebagai anggota DPR.
Kemudian Andi Nurpati. Wanita yang sebelumnya adalah anggota KPU ini juga terseret dalam kasus pemalsuan surat MK yang kasusnya tidak lagi dilanjutkan. Bahkan, saat ini dia dipercaya sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat. Sedangkan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin juga terlilit dugaan korupsi dana bagi hasil pajak senilai Rp21,3 miliar. Namun, Agusrin yang juga menjabat Ketua DPR Bengkulu ini akhirnya divonis bebas beberapa hari lalu. Berikutnya adalah mantan Wakil Gubernur Sumut yang kini menjadi anggota DPR Amrun Daulay juga diseret dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sapi impor dan mesin jahit Departemen Sosial. Meski status Amrun sudah tersangka, dia masih bebas tak tersentuh KPK.
Tak ketinggalan, mantan Walikota Semarang Sukawi Sutarip juga pernah ditetapkan sebagai tersangka korupsi APBD 2004 senilai Rp 3,9 miliar. Namun, lagi-lagi kasus itu mengendap entah dimana. Sedangkan Djufri, mantan Walikota Bukittinggi, yang kini menjabat anggota DPR asal Demokrat juga dilibas dugaan korupsi pengadaan tanah kantor DPRD Bukittinggi dan pool kendaraan Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan Bukittinggi 2007 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp1,2 miliar. Kendati Djufri telah ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2009 lalu, hingga kini ia masih bebas mondar-mandir di gedung Senayan. Sedangkan kasusnya kini ditangani Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
Terakhir dan yang paling membuat Demokrat ketar-ketir adalah kasus yang melilit Nazaruddin. Mantan Bendahara Umum Demokrat ini diseret dalam kasus korupsi Wisma Atlet Palembang, dan percobaan memberikan gratifikasi kepada Mahkamah Konstitusi. Meski dicoret dari kepengurusan organisasi dan Anggota DPR nyatanya kasus Nazaruddin semakin redup tak mampu terjamah.
Jaka Setiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar