Kaum muslimin rahimakumullah,
Sebagai agama yang sempurna (QS. Al Maidah 3) Islam mampu menjawab tantangan zaman. Tidak ada masalah yang muncul dari masa ke masa melainkan para mujtahid akan menjawab status hukumnya menurut syariah. Dan Al Quran sendiri dinyatakan oleh Allah SWT sebagai obat, untuk mengatasi segala persoalan. Allah SWT berfirman:
Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al Isra 82).
Kaum muslimin rahimakumullah
Kenapa syariat Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah selalu up to date, tidak pernah ketinggalan zaman, dan selalu mampu menjawab tantangan zaman?
Sebab para ulama melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syar’iy dari nash-nash syariah, yakni AL Quran dan As Sunnah, terhadap perkara baru apapun, baik perbuatan maupun benda. Gaya bahasa dari AL Quran dan As Sunnah mencakup perkara apa saja yang mungkin muncul hingga hari kiamat. Apabila ditanyakan kepada seorang muslim saat ini, apa dalil syariah tentang kebolehan mengendarai roket, pesawat, atau kapal selam, kemudian ia meneliti dalil-dalil syariah untuk mengetahui hukumnya, niscaya dia akan menemukannya dalam firman Allah:
Dan dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang ada dibumi semua. (QS. Al Jaatsiyah 13).
Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan dan Kami ciptakan bagi kereka kendaraan seperti bahtera itu. (QS. Yaasiin 41-42).
Juga pertanyaan apakah umat Islam boleh memiliki senjata nuklir, maka dia akan menjumpai hukum syariah tentang perkara itu dalam firman Allah:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu... (QS. Al Anfaal 60).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Namun perlu dicatat bahwa berijtihad atau menggali hukum-hukum syariah dari dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah, juga dari Ijma’ Shahabat, dan Qiyas, hanya bisa dilakukan oleh para ahlinya, yakni para ulama yang telah mencapai tingkat mujtahid atau tingkat kemampuan berijtihad. Tidak sembarang orang bisa berijtihad dan tidak sembarang orang boleh mengaku-aku berijtihad. Ibarat mengoperasi orang yang sakit di bagian syaraf otaknya, maka hanya bisa dikerjakan oleh para dokter ahli bedah syaraf otak, tidak boleh dikerjakan oleh seorang tukang cukur. Sebab kalau yang mengerjakan operasi tersebut tukang cukur yang tidak punya pengetahuan apapun tentang apa yang ada di dalam batok kepala manusia, dia hanya ahli mencukur rambut yang tumbuh di atas batok kepala manusia, alih-alih menyembuhkan pasien, operasi itu justru akan membahayakan pasien tersebut. Demikian juga, bila yang melakukan ijtihad hukum syariah dari dalil-dalilnya untuk menjawab masalah-masalah kontemporer adalah orang yang bukan ahlinya, bisa dipastikan akan terjadi “ijtihad-ijtihad” yang ngawur, yang justru menjauhkan manusia dari petunjuk Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri sebagai liberal, yang didesain oleh musuh-musuh Allah untuk merusak ajaran agama Allah SWT dan menjauhkan manusia dari ajaran Alllah SWT yang sebenarnya, serta hanya mengikuti hawa nafsu manusia. Na’udzubillahi mindzalik!
Kaum muslimin rahimakumullah,
Oleh karena itu, ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer hanya bisa dilakukan oleh para ulama yang memenuhi syarat berijthad, yakni memiliki keluasan ilmu bahasa Arab dan seluk-beluknya untuk memahami petunjuk (dalalah) dari nash-nash syariah, memahami ilmu-ilmu syariah seperti fiqh, ushul fiqh, Al Quran, ulumul Quran, Al Hadits, ulumul Hadits, memahami berbagai ijtihad hukum dari para mujtahid terdahulu terkait persoalan yang hendak dipecahkan, dan ilmu-ilmu lain yang diperlukan termasuk ilmu tentang seluk-beluk fakta yang dihadapi (tahqiqul manath).
Sebagai agama yang sempurna (QS. Al Maidah 3) Islam mampu menjawab tantangan zaman. Tidak ada masalah yang muncul dari masa ke masa melainkan para mujtahid akan menjawab status hukumnya menurut syariah. Dan Al Quran sendiri dinyatakan oleh Allah SWT sebagai obat, untuk mengatasi segala persoalan. Allah SWT berfirman:
Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al Isra 82).
Kaum muslimin rahimakumullah
Kenapa syariat Islam yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah selalu up to date, tidak pernah ketinggalan zaman, dan selalu mampu menjawab tantangan zaman?
Sebab para ulama melakukan istinbath (menggali) hukum-hukum syar’iy dari nash-nash syariah, yakni AL Quran dan As Sunnah, terhadap perkara baru apapun, baik perbuatan maupun benda. Gaya bahasa dari AL Quran dan As Sunnah mencakup perkara apa saja yang mungkin muncul hingga hari kiamat. Apabila ditanyakan kepada seorang muslim saat ini, apa dalil syariah tentang kebolehan mengendarai roket, pesawat, atau kapal selam, kemudian ia meneliti dalil-dalil syariah untuk mengetahui hukumnya, niscaya dia akan menemukannya dalam firman Allah:
Dan dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang ada dibumi semua. (QS. Al Jaatsiyah 13).
Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan dan Kami ciptakan bagi kereka kendaraan seperti bahtera itu. (QS. Yaasiin 41-42).
Juga pertanyaan apakah umat Islam boleh memiliki senjata nuklir, maka dia akan menjumpai hukum syariah tentang perkara itu dalam firman Allah:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu... (QS. Al Anfaal 60).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Namun perlu dicatat bahwa berijtihad atau menggali hukum-hukum syariah dari dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah, juga dari Ijma’ Shahabat, dan Qiyas, hanya bisa dilakukan oleh para ahlinya, yakni para ulama yang telah mencapai tingkat mujtahid atau tingkat kemampuan berijtihad. Tidak sembarang orang bisa berijtihad dan tidak sembarang orang boleh mengaku-aku berijtihad. Ibarat mengoperasi orang yang sakit di bagian syaraf otaknya, maka hanya bisa dikerjakan oleh para dokter ahli bedah syaraf otak, tidak boleh dikerjakan oleh seorang tukang cukur. Sebab kalau yang mengerjakan operasi tersebut tukang cukur yang tidak punya pengetahuan apapun tentang apa yang ada di dalam batok kepala manusia, dia hanya ahli mencukur rambut yang tumbuh di atas batok kepala manusia, alih-alih menyembuhkan pasien, operasi itu justru akan membahayakan pasien tersebut. Demikian juga, bila yang melakukan ijtihad hukum syariah dari dalil-dalilnya untuk menjawab masalah-masalah kontemporer adalah orang yang bukan ahlinya, bisa dipastikan akan terjadi “ijtihad-ijtihad” yang ngawur, yang justru menjauhkan manusia dari petunjuk Allah SWT, seperti yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri sebagai liberal, yang didesain oleh musuh-musuh Allah untuk merusak ajaran agama Allah SWT dan menjauhkan manusia dari ajaran Alllah SWT yang sebenarnya, serta hanya mengikuti hawa nafsu manusia. Na’udzubillahi mindzalik!
Kaum muslimin rahimakumullah,
Oleh karena itu, ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer hanya bisa dilakukan oleh para ulama yang memenuhi syarat berijthad, yakni memiliki keluasan ilmu bahasa Arab dan seluk-beluknya untuk memahami petunjuk (dalalah) dari nash-nash syariah, memahami ilmu-ilmu syariah seperti fiqh, ushul fiqh, Al Quran, ulumul Quran, Al Hadits, ulumul Hadits, memahami berbagai ijtihad hukum dari para mujtahid terdahulu terkait persoalan yang hendak dipecahkan, dan ilmu-ilmu lain yang diperlukan termasuk ilmu tentang seluk-beluk fakta yang dihadapi (tahqiqul manath).
Dengan
demikian tugas para ulama, juga pemerintah, adalah menghasilkan para
kader mujtahid yang dibina dan dilatih untuk memecahkan berbagai
persoalan baru dengan menggali nash-nash syariah sehingga didapatkan
dugaan kuat (ghalabatut zhann) hukum Allah SWT atas
persoalan-persoalan baru tersebut. Dan ini merupakan tradisi kaum
muslimin dari masa Rasulullah saw. dan para sahabat ridlwanullah
alaihim, para tabi’in, para tabiut tabi’in, para imam mujtahidin, dan
masa-masa berikutnya.
Sebagai
contoh, di masa Khalifah Umar bin Khatthab r.a., kaum muslimin berhasil
menalukkan tanah subur di Irak. Beliau menahan tanah tersebut dan tidak
membaginya kepada para prajurit yang berperang. Padahal kaum muslimin
memahami bahwa harta rampasan perang (ghanimah) itu dibagi-bagai kepada yang ikut berperang dan seperlimanya (khumus)
diserahkan kepada Baitul Mal Negara. Namun untuk tanah tersebut,
Khalifah Umar r.a. menahannya sebagai harta fai’I milik Baitul Mal
seluruhnya dengan pendapat bahwa kalau itu dibagikan maka nantinya tanah
itu akan habis terbagi, padahal hasil bumi dari tanah tersebut bisa
untuk membiayai tentara untuk menjaga perbatasan. Terjadi perdebatan.
Akhirnya Khalifah Umar mendapatkan dalil atas pendapatnya itu, bahwa
generasi yang akan datang pun berhak secara bersama-sama memiliki tanah
tersebut sebagai harta Baitul Mal (QS. Al Hasyr 10).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Dengan tradisi ijtihad tersebut kaum muslimin sepanjang sejarah mampu menghadapi tantangan zaman. Sehingga wajarlah jika kekuasaan kaum muslimin, sejak didirikannya di masa Rasulullah saw. pada abad ketujuh, mampu eksis bahkan menjadi adidaya nomor satu di dunia, setelah mengalahkan Rumawi dan Persia di masa Khalifah Umar bin Khaththab (tahun 15 H), hingga menjadi penguasa dunia selama lebih dari 10 abad karena para ulama dan Negara mampu menjawab tantangan zaman dengan ijtihad hukum syariah. Ketika, pemahaman terhadap fakta dan hukum syariah mengalami kemunduran, maka negaranya pun lemah bahkan diruntuhkan pada tahun 1924 di Istambul Turki.
Oleh karena itu, tugas para ulama dan penguasa Negara-negara muslim hari ini adalah menumbuhkan para ulama yang mumpuni dalam ilmu-ilmu syariah dan mampu berijtihad, sehingga dapat menjawab segala tantangan zaman hari ini, dan tumbuh suatu gerakan kebangkitan umat, sehingga umat merasa tinggi dengan ilmu-ilmu Allah, dan tidak minder dengan kaum kafir, sehingga umat mencapai kejayaannnya kembali. Allah SWT berfirman:
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran 139).
Baarakallaahu lii walakum...
Kaum muslimin rahimakumullah,
Dengan tradisi ijtihad tersebut kaum muslimin sepanjang sejarah mampu menghadapi tantangan zaman. Sehingga wajarlah jika kekuasaan kaum muslimin, sejak didirikannya di masa Rasulullah saw. pada abad ketujuh, mampu eksis bahkan menjadi adidaya nomor satu di dunia, setelah mengalahkan Rumawi dan Persia di masa Khalifah Umar bin Khaththab (tahun 15 H), hingga menjadi penguasa dunia selama lebih dari 10 abad karena para ulama dan Negara mampu menjawab tantangan zaman dengan ijtihad hukum syariah. Ketika, pemahaman terhadap fakta dan hukum syariah mengalami kemunduran, maka negaranya pun lemah bahkan diruntuhkan pada tahun 1924 di Istambul Turki.
Oleh karena itu, tugas para ulama dan penguasa Negara-negara muslim hari ini adalah menumbuhkan para ulama yang mumpuni dalam ilmu-ilmu syariah dan mampu berijtihad, sehingga dapat menjawab segala tantangan zaman hari ini, dan tumbuh suatu gerakan kebangkitan umat, sehingga umat merasa tinggi dengan ilmu-ilmu Allah, dan tidak minder dengan kaum kafir, sehingga umat mencapai kejayaannnya kembali. Allah SWT berfirman:
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran 139).
Baarakallaahu lii walakum...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar