Kolom
Selasa, 05/06/2012 09:27 WIB
Jakarta
Saat ini, kita sedang memasuki sebuah babak baru formasi
sosial dunia. Babak tersebut adalah sebuah era di mana pasar menjadi
sentral penentu nasib manusia. Negara yang selama ini diyakini sebagai
institusi di mana manusia mampu berdaulat dan melindungi anggotanya
dibuat tidak berdaya dan diam seribu bahasa. Babak baru ini sering
disebut dengan era globalisasi, yang batas negara-bangsa digeser
sehingga menjadi sebuah desa besar (the large village/global village),
tanpa ada sekat yang membatasi.
Adalah Francis Fukuyama, seorang sejarawan dan futurolog Jepang yang meramalkan bahwa pasca perang dingin antara Blok Barat yang dikomandoi Amerika Serikat dan Blok Timur yang dinakhodai Uni Soviet, kapitalisme-liberal dalam hal ini terbukti mampu mengalahkan sosialisme-komunis. Dengan demikian, akan terjadi apa yang disebut sebagai the end of ideology, berakhirnya sebuah ideologi dunia. Dan kapitalisme liberal adalah ideologi terakhir yang menjadi pemenang atas ideologi-ideologi dunia yang lain (Fukuyama: 1992). Bagi Fukuyama, kapitalisme adalah sebuah ideologi pemenang yang tanpa ada tandingan. Sehingga, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Margaret Thatcher, 'There Is No Alternative', tidak ada alternatif lain selain pilihan tunggal kapitalisme.
Tanpa berrnaksud membenarkan, hari ini sistem sosial dunia sedang dibentuk dengan sebuah sistem global yang mampu merasuk ke ranah terkecil dalam masyarakat. Globalisasi, menawarkan berbagai macam kemudahan bagi masyarakat di belahan dunia manapun, sehingga setiap orang dalam arus bawah sadar akan mengikuti ciptaan globalisasi tersebut. Sistem informasi dan komunikasi adalah lokomatif yang menarik 'gerbong' kebutuhan masyarakat. Antony Giddens, pernah mengatakan bahwa globalisasi bukanlah apa yang ada dan terlihat di luar sana. Tapi globalisasi adalah apa yang mempengaruhi aspek kehidupan kita yang sangat intim dan pribadi sekalipun (Giddens, 2001). Nah inilah masa yang tak tertawarkan lagi, sehingga memaksa semua orang -termasuk negara- untuk mengikutinya.
Ideologi Pasar dan Matinya Negara
Sebagaimana gagasan kapitalisme klasik Adam Smith, bahwa aspek kehidupan manusia akan dibimbing oleh tangan-tangan ajaib yang tak terlihat (the invisible hand). Serahkan segala sesuatunya kepada pasar, singkirkan peran negara, sebagaimana doktrinnya yang terkenal laissez faine lassez passer. Dan ituah realitas dunia hari ini, pasar adalah kata kunci kesejahteraan manusia. Tiga proyek besar globalisasi, yakni privatisasi, liberalisasi dan deregulasi adalah racun yang paling ampuh untuk melumpuhkan kekuatan negara. Jika negara sudah tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak, atau fasilitas publik, maka apa yang mampu diperbuat oleh negara?
Saat ini privatisasi BUMN kepada pihak swasta telah mencapai titik yang sangat dramatis. Berbagai alat vital negara yang sedianya diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat dijual kepihak swasta. Dengan dalih efisiensi dan efektifitas, pasar dibiarkan menentukan dan rnenguasai nasib warga negara, yang terjadi kemudian adalah negara hanya menjadi penonton awal penderitaan rakyatnya, lebih dari itu ia tidak mampu berbuat apa-apa.
Dimulainya penandatanganan kesepakatan perdagangan bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area) adalah upaya untuk menghilangkan sekat batas antar negara yang selama ini membatasi aktifitas ekonomi. Pasar bebas mengandaikan adanya persaingan bebas antar negara anggota, tanpa ada campur tangan dan intervensi dari negara. Saat ini boleh jadi negara masih memberlakukan berbagai macam kebijakan dalam konteks perdagangan antar negara. Kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi kekuatan pasar dalam negeri. Karena harus dipahami dan diakui, bahwa bangsa kita (negara berkembang) masih kalah jauh jika harus bersaing dengan negara lain, tanpa ada upaya perlindungan dari negara. Bisa kita bayangkan, jika kebijakan seperti bea cukai, proteksionis, dumping, kuota dan sebagainya dihapuskan? Tentunya para pengrajin, pedagang dan petani kita harus siap-siap gulung tikar, dengan kenyataan kalah saing dengan kompetitor dari negara lain yang selangkah -bahkan seribu langkah- lebih maju. Inilah bencana-bencana yang mengancam masyarakat kita, seiring dengan ketidakberdayaan negara.
Di sisi lain, segala aturan yang selama ini berorientasi pada rakyat, akan segera dihapus dengan aturan yang memihak pada pasar. Proyek deregulasi berupaya menghilangkan segala peraturan tetek bengek yang mempersulit operasi bebas pasar. Sehingga segala aturan harus dihapus, atau kalau ada, harus memihak pada hukum besi pasar.
Inilah yang oleh Kenechi disinyalir sebagai matinya negara-bangsa (the end Of nation-state). Jika peran negara sudah mulai digantikan oleh peran lembaga dunia seperti WTO, IMF, WB serta TNC/MNC, maka sudah tiba lonceng kematian negara bangsa. Hal yang senada juga dilontarkan oleh Noreena Heertz, bahwa jika peran negara yang pemerintahannya dipilih oleh rakyat sudah digantikan oleh kekuatan pasar, maka terjadilah apa yang disebut the death of democracy, matinya demokrasi.
Ketika Negara Dirampok
Saat semua asset negara diambil alih oleh pihak swasta inilah kredibilitas negara dipertanyakan. Sayangnya, pihak swasta dalam hal ini bukanlah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh warga negaranya. Namun dalam hal ini adalah perusahaan-perusahaan raksasa global, yang beroperasi di hampir seluruh penjuru dunia. Perusahaan tersebut adalah TNC (Trans National Corporation) atau MNC (Multi national Corporation), Perusahaan inilah yang mengambil alih secara diam-diam (silent take over) semua yang dimiliki negara. Inilah dunia baru yang segera -dan bahkan sudah- dimulai. Dunia di mana kekayaan perusahaan menyerap habis kekayaan negara (Norena Herzt: 2005).
Tampak jelas bahwa kekayaan TNC/MNC menguasai kekuatan ekonomi hampir di seluruh negara-negara di dunia. Ini sama artinya, TNC /MNC mempunyai kekuatan politik di hampir semua negara, jika logika politik dipahami sebagai perpanjangan tangan logika ekonomi. Para perampok negara tersebut sengaja melakukan aneksasi pemasarannya diberbagai negara, tentunya dengan bantuan kekuatan-kekuatan ekomomi dunia, seperti WTO, WB dan IMF. Inilah dunia di mana tangan pemerintah terikat dengan erat, dan masyarakat semakin tergantung kepada perusahaan. Bisnis menjadi kekuatan pengendalian politik dan ekonomi, perusahan secara bebas menentukan aturan main, dan pemerintah menjadi wasit dan sekaligus penontonnya. Sedangkan rakyat adalah obyek yang dipermainkan. Dalam kondisi seperti inilah, negara sampai pada titik nadir ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan tersebut bukannya keinginan negara, melainkan atas bimbingan tangan-tangan gaib yang tak terlihat.
Sampai sini, mengembalikan kedaulatan negara adalah sebuah keniscayaan yang tak tertawarkan. Negara tidak boleh 'kalah' dengan pasar, karena negara dibangun untuk kepentingan seluruh warganya. Apalagi konstitusi kita secara jelas mengamanatkan peran Negara secara penuh dalam penguasaan hajat hidup orang banyak. Walhasil penguatan peran negara akan mampu terbangun dengan sendirinya jika para pemimpin kita mau melaksanakan konstitusi negara sebagaimana yang telah digags oleh para founding father kita. Semoga!
*) Muhamad Mustaqim adalah dosen STAIN Kudus, aktif di kajian sosial pada The Conge Institute Kudus.
(vit/vit)
Adalah Francis Fukuyama, seorang sejarawan dan futurolog Jepang yang meramalkan bahwa pasca perang dingin antara Blok Barat yang dikomandoi Amerika Serikat dan Blok Timur yang dinakhodai Uni Soviet, kapitalisme-liberal dalam hal ini terbukti mampu mengalahkan sosialisme-komunis. Dengan demikian, akan terjadi apa yang disebut sebagai the end of ideology, berakhirnya sebuah ideologi dunia. Dan kapitalisme liberal adalah ideologi terakhir yang menjadi pemenang atas ideologi-ideologi dunia yang lain (Fukuyama: 1992). Bagi Fukuyama, kapitalisme adalah sebuah ideologi pemenang yang tanpa ada tandingan. Sehingga, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Margaret Thatcher, 'There Is No Alternative', tidak ada alternatif lain selain pilihan tunggal kapitalisme.
Tanpa berrnaksud membenarkan, hari ini sistem sosial dunia sedang dibentuk dengan sebuah sistem global yang mampu merasuk ke ranah terkecil dalam masyarakat. Globalisasi, menawarkan berbagai macam kemudahan bagi masyarakat di belahan dunia manapun, sehingga setiap orang dalam arus bawah sadar akan mengikuti ciptaan globalisasi tersebut. Sistem informasi dan komunikasi adalah lokomatif yang menarik 'gerbong' kebutuhan masyarakat. Antony Giddens, pernah mengatakan bahwa globalisasi bukanlah apa yang ada dan terlihat di luar sana. Tapi globalisasi adalah apa yang mempengaruhi aspek kehidupan kita yang sangat intim dan pribadi sekalipun (Giddens, 2001). Nah inilah masa yang tak tertawarkan lagi, sehingga memaksa semua orang -termasuk negara- untuk mengikutinya.
Ideologi Pasar dan Matinya Negara
Sebagaimana gagasan kapitalisme klasik Adam Smith, bahwa aspek kehidupan manusia akan dibimbing oleh tangan-tangan ajaib yang tak terlihat (the invisible hand). Serahkan segala sesuatunya kepada pasar, singkirkan peran negara, sebagaimana doktrinnya yang terkenal laissez faine lassez passer. Dan ituah realitas dunia hari ini, pasar adalah kata kunci kesejahteraan manusia. Tiga proyek besar globalisasi, yakni privatisasi, liberalisasi dan deregulasi adalah racun yang paling ampuh untuk melumpuhkan kekuatan negara. Jika negara sudah tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak, atau fasilitas publik, maka apa yang mampu diperbuat oleh negara?
Saat ini privatisasi BUMN kepada pihak swasta telah mencapai titik yang sangat dramatis. Berbagai alat vital negara yang sedianya diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat dijual kepihak swasta. Dengan dalih efisiensi dan efektifitas, pasar dibiarkan menentukan dan rnenguasai nasib warga negara, yang terjadi kemudian adalah negara hanya menjadi penonton awal penderitaan rakyatnya, lebih dari itu ia tidak mampu berbuat apa-apa.
Dimulainya penandatanganan kesepakatan perdagangan bebas AFTA (ASEAN Free Trade Area) adalah upaya untuk menghilangkan sekat batas antar negara yang selama ini membatasi aktifitas ekonomi. Pasar bebas mengandaikan adanya persaingan bebas antar negara anggota, tanpa ada campur tangan dan intervensi dari negara. Saat ini boleh jadi negara masih memberlakukan berbagai macam kebijakan dalam konteks perdagangan antar negara. Kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi kekuatan pasar dalam negeri. Karena harus dipahami dan diakui, bahwa bangsa kita (negara berkembang) masih kalah jauh jika harus bersaing dengan negara lain, tanpa ada upaya perlindungan dari negara. Bisa kita bayangkan, jika kebijakan seperti bea cukai, proteksionis, dumping, kuota dan sebagainya dihapuskan? Tentunya para pengrajin, pedagang dan petani kita harus siap-siap gulung tikar, dengan kenyataan kalah saing dengan kompetitor dari negara lain yang selangkah -bahkan seribu langkah- lebih maju. Inilah bencana-bencana yang mengancam masyarakat kita, seiring dengan ketidakberdayaan negara.
Di sisi lain, segala aturan yang selama ini berorientasi pada rakyat, akan segera dihapus dengan aturan yang memihak pada pasar. Proyek deregulasi berupaya menghilangkan segala peraturan tetek bengek yang mempersulit operasi bebas pasar. Sehingga segala aturan harus dihapus, atau kalau ada, harus memihak pada hukum besi pasar.
Inilah yang oleh Kenechi disinyalir sebagai matinya negara-bangsa (the end Of nation-state). Jika peran negara sudah mulai digantikan oleh peran lembaga dunia seperti WTO, IMF, WB serta TNC/MNC, maka sudah tiba lonceng kematian negara bangsa. Hal yang senada juga dilontarkan oleh Noreena Heertz, bahwa jika peran negara yang pemerintahannya dipilih oleh rakyat sudah digantikan oleh kekuatan pasar, maka terjadilah apa yang disebut the death of democracy, matinya demokrasi.
Ketika Negara Dirampok
Saat semua asset negara diambil alih oleh pihak swasta inilah kredibilitas negara dipertanyakan. Sayangnya, pihak swasta dalam hal ini bukanlah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh warga negaranya. Namun dalam hal ini adalah perusahaan-perusahaan raksasa global, yang beroperasi di hampir seluruh penjuru dunia. Perusahaan tersebut adalah TNC (Trans National Corporation) atau MNC (Multi national Corporation), Perusahaan inilah yang mengambil alih secara diam-diam (silent take over) semua yang dimiliki negara. Inilah dunia baru yang segera -dan bahkan sudah- dimulai. Dunia di mana kekayaan perusahaan menyerap habis kekayaan negara (Norena Herzt: 2005).
Tampak jelas bahwa kekayaan TNC/MNC menguasai kekuatan ekonomi hampir di seluruh negara-negara di dunia. Ini sama artinya, TNC /MNC mempunyai kekuatan politik di hampir semua negara, jika logika politik dipahami sebagai perpanjangan tangan logika ekonomi. Para perampok negara tersebut sengaja melakukan aneksasi pemasarannya diberbagai negara, tentunya dengan bantuan kekuatan-kekuatan ekomomi dunia, seperti WTO, WB dan IMF. Inilah dunia di mana tangan pemerintah terikat dengan erat, dan masyarakat semakin tergantung kepada perusahaan. Bisnis menjadi kekuatan pengendalian politik dan ekonomi, perusahan secara bebas menentukan aturan main, dan pemerintah menjadi wasit dan sekaligus penontonnya. Sedangkan rakyat adalah obyek yang dipermainkan. Dalam kondisi seperti inilah, negara sampai pada titik nadir ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan tersebut bukannya keinginan negara, melainkan atas bimbingan tangan-tangan gaib yang tak terlihat.
Sampai sini, mengembalikan kedaulatan negara adalah sebuah keniscayaan yang tak tertawarkan. Negara tidak boleh 'kalah' dengan pasar, karena negara dibangun untuk kepentingan seluruh warganya. Apalagi konstitusi kita secara jelas mengamanatkan peran Negara secara penuh dalam penguasaan hajat hidup orang banyak. Walhasil penguatan peran negara akan mampu terbangun dengan sendirinya jika para pemimpin kita mau melaksanakan konstitusi negara sebagaimana yang telah digags oleh para founding father kita. Semoga!
*) Muhamad Mustaqim adalah dosen STAIN Kudus, aktif di kajian sosial pada The Conge Institute Kudus.
(vit/vit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar