Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 08 Maret 2011


“GOMBAL” MEMBERANTAS KORUPSI

Posted by K@barNet pada 28/11/2010
Komitmen dan tekad pemberantasan korupsi di Indonesia hingga hari ini bagai sia-sia, dan bagai mendatangi fatamorgana.Gembar-gembor rejim SBY hendak memerangi korupsi justru menjadi sebuah ironi. Kasus mutakhir terbongkarnya sogok Gayus HP Tambunan yang kabur dari Rutan (Rumah Tahanan) Brimob Kelapa Dua Depok menjadi bukti upaya pemberantasan korupsi tidak ada gunanya.
Boro-boro mengurangi apalagi menghapuskan praktek korupsi di tengah masyarakat dan khususnya pejabat penyelenggara negara, bahkan pejabat penegak hukum mulai polisi, jaksa ternyata menjadi pelaku korupsi utama. Kenyataan terbongkarnya praktek sogok Gayus diyakini hanyalah puncak gunung es, yang sejatinya praktek korupsi kini makin menggurita sepuluh tahun terakhir ini. Bukti kuat datang dari laporan sejumlah lembaga transparansi internasional yang mencatat Indonesia kini justru ditetapkan sebagai negara terkorup di Asia juga dunia.
Melalui rubrik ini, entah sudah berapa kali diingatkan upaya gencar pemberantasan korupsi di negeri ini akan sia-sia. Bagai seorang dokter terus-menerus memberikan resep obat sakit kepala sementara Sang Pasien sebenarnya sakit perut alias mencret-mencret. Tentu saja berapa kali pun obat sakit kepala itu diberikan tidak akan pernah menyembuhkan sakit perut seseorang. Berulangkali kita ingatkan sumber korupsi yang makin meluas di seluruh Indonesia sepuluh tahun terakhir ini, disebabkan sistem politik-ekonomi yang dianut negeri ini justru memberikan peluang tindak korupsi secara massif. Managemen penyelenggaraan negara pun menjadi penyebab praktek korupsi merupakan satu keniscayaan. Sistem politik yang total demokrasi ternyata hanya menghasilkan Virus Demokrasi Uang. Apalagi ditambah model ekonomi yang terang-benderang menganut kapitalistik liberalistik. Uang ditempatkan di atas segala-galanya.
Contoh telak praktek korupsi yang niscaya akan terjadi, adalah rangkaian pelaksanaan Pilkada, yang tak bisa diingkari telah mengobarkan Virus Demokrasi Uang. Pemenang Pilkada, seorang bupati/walikota hingga gubernur dipastikan menggelontorkan uang untuk kampanye bernilai milyaran rupiah. “Modal” itu harus dikembalikan—sebagian berasal dari hutang atau dibiayai pengusaha—dengan cara mengkomersialisasikan jabatannya. Di sini kegiatan korupsi menjadi nicaya belaka. Bahkan ketika kemenangannya digugat oleh lawan-lawannya, maka “Pertarungan sogok” pun sudah terjadi yakni di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK), juga di KPUD. Isu adanya sogok di antara hakim konstitusi yang dilontarkan kolomnis Refly Harun niscaya bukanlah isapan jempol belaka. Hampir semua hasil Pilkada selalu terjadi gugat-menggugat dan diselesaikan di MK. Kecurangan Pilkada dipastikan selalu mengiringi setiap Pilkada di seluruh Indonesia. “Pertarungan sogok” selalu terjadi karena mempertaruhkan uang dalam jumlah sangat besar yakni puluhan milyar bahkan ratusan milyar di tingkat Pilkada gubernur.
Dengan melawan arus, selalu kita kemukakan eksistensi dan peranan KPK (Komisi Pemberatasan Korupsi) kurang bermanfaat benar-benar memusnahkan praktek korupsi di negeri ini.Kendati kini KPK selalu gembar-gembor dengan klaim suksesnya, misalnya seperti dinyatakan Wakil Ketua KPK, M.Yasin, bahwa KPK telah memenjarakan 42 anggota DPR, 8 menteri, 7 gubernur, 20 bupati/walikota, 8 anggota KPU, 4 duta besar, 1 Gubernur Bank Indonesia (BI), dan 4 Deputi Gubernur BI termasuk salah satunya Aulia Pohan besan kandung Presiden SBY. Kebanggaan ini seiring dan sejalan dengan kecaman ke tubuh KPK yang dituduh melakukan tebang pilih dan tak mau menyentuh yang berbau kekuasaan apalagi kekuasaan itu sendiri. Itulah sebabnya muncul sinisme: “Jika ingin selamat dan aman masuklah ke Partai Demokrat yang berkuasa!” Sindiran ini bukan sekadar sindiran bahkan sudah dilakukan sejumlah gubernur dan bupati yang menyebrang ke partai Demokrat, dan benar belaka, kasus korupsi yang memburunya segera berhenti. Lihat pula keengganan KPK mengusut Mega-Skandal Century yang langsung melibatkan bekas menteri keuangan Sri Mulyani dan gubernur BI yang kini Wapres Boediono.
Korupsi Bagai Oli Mesin
Adalah Fadli Zon wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang juga dikenal sebagai pendiri Partai Bulan Bintang amat sinis akan eksistensi KPK.Pembarantasan korupsi menurut Fadli sejatinya hanyalah agenda asing yang telah mencengkeram negeri ini sejak era reformasi 1998. Agenda lain menurut Fadli adalah privatisasi BUMN, penghapusan subsidi, pasar bebas dan globalisasi. Praktik lebih jauh cengkeraman asing itu tercermin ketika UUD 1945 yang telah diamandemen menjadi bercorak kapitalistik-liberalistik.Perubahan UUD 1945 ini niscaya merupakan “kudeta” konstitusi yang telah disponsori asing. Hasilnya sejumlah UU yang dihasilkan DPR kemudian seperti UU Migas, UU Air, UU Penanaman Modal, dan seterusnya, kesemuanya mengacu pada kepentingan asing. Setelah berlangsung sepuluh tahun, menurut Fadli Zon hakikatnya pintu gerbang kolonialisme atau penjajahan baru telah terbuka selebar-lebarnya di negeri ini.
Pemberantasan korupsi ? Dengan sinis Fadli menyatakan sebagai omong kosong. Setengah bercanda Fadli menyatakan korupsi di Indonesia “masih diperlukan” bagai oli diperlukan untuk kerja sebuah mesin. “Cuma, olinya saja yang dikorup jangan mesinnya yang menggerakkan seluruh kendaraan yang dikorup,”ujarnya serius. Bagaimana membebaskan Indonesia dari korupsi, jika sistem politik dan ekonomi yang dianut justru otomatis pasti melahirkan koruptor? Apalagi, katanya, bagi negara-negara miskin di manapun di dunia hampir tidak ada yang bebas dari korupsi. Sebaliknya bagi negara-negara kaya-raya seperti negara di Eropah Utara, mulai Skandinavia, Finlandia, Swedia,dipastikan minim bahkan bebas korupsi. Contoh di dekat kita adalah Singapura yang kaya raya juga sangat minim tindak korupsi. Warganegara Singapura yang berhasil studi di luar negeri dan mencapai gelar doktor, ketika pulang ke tanah-air pasti masuk sebagai pegawai negeri dan bukan masuk ke sektor swasta, karena jaminan hidup sebagai pegawai negeri di Singapura jauh lebih baik dari swasta.
Contoh lain yang lebih telak kata Fadli adalah Amerika Serikat yang menurutnya menjadi besar justru dibangun oleh para “Koruptor” pasca Perang Saudara (Civil War) di akhir abad ke-IXX. Saat itu AS memasuki era Pertumbuhan yang amat cepat dan dijuluki pada era itu sebaga Periode Gilded Age atau era Robber Baron, karena di era itulah lahir para “Baron” para konglomerat, AS, seperti Raja Minyak John D. Rockefeller, Cornelius Vanderbit, Andrew Carnegie, dan JP Morgan. Para “Baron” inilah kemudian yang membangun Amerika menjadi negeri raksasa yang sukses. Sejalan kemajuan di segala bidang di Amerika dan kemakmuran dinikmati rakyat Amerika, maka korupsi pun terkikis di Negeri Paman Sam.
Kembali ke Pemberantasan korupsi di Indonesia yang kini tumpuan harapannya disampirkan ke pundak KPK. Data yang dikemukakan di atas sudah menjelaskan betapa “Gombal” alias sia-sia pemberantasan korupsi. Fakta lain anggaran KPK tak kurang Rp.575 miliar ternyata target yang dicapai dalam menyelamatkan uang negara hanyalah 5% saja. Apalagi kalau membahas penegak hukum lain : Polri. Citra Polri hari ini sungguh babak-belur. Kaburnya Gayus pelesiran ke Bali, sekaligus membongkar kebobrokan aparat Polri. Orang ramai juga menjadi tahu kenapa Polri begitu lamban bahkan menutup-nutupi Skandal manipulasi Pajak Gayus ini. Polri tak mau mengusut, dua orang jendralnya yang jelas-jelas tersangkut kasus Gayus, Polri juga tidak mengusut uang Gayus yang ditemukan di Kotak Deposit milik Gayus di Bank senilai Rp 75 Milyar, juga soal pembebasan blokir uang Gayus senilai Rp 28 Milyar. Apalagi mengusut kaitan Gayus dengan tiga perusahaan milik Group Bakrie yang jelas-jelas disebut di persidangan menyuap Gayus. Polri ogah mengusut fakta-fakta gawat itu, tetapi justru sekadar mengajukan soal manipulasi pajak Gayus di PT SAT senilai Rp 570 jt saja. Wajah hitam Polri ini makin kelihatan hitam saja, dan masyarakat luas pun menuntut agar, kasus Gayus diserahkan ke KPK—yang sejatinya KPK juga gombal itu–, tetapi kemudian presiden SBY justru menginstruksikan, kasus Gayus tetap ditangani Polri saja. Nah Lho!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar