Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 28 Maret 2011

Teladan Politik Muhammad


Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(QS al-Ahzab: 40). Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS al-Ahzab: 21).

Siapa yang tidak kenal Muhammad SAW, selain beliau sebagai nabi, ia juga kerap disandarkan julukan pemimpin politik (kepala negara). Berbeda dalam posisi beliau sebagai rasul Allah yang terbebas dari kesalahan (ma'shum), sebagai kepala negara beliau bukanlah suprahuman (manusia super) yang tidak memerlukan orang lain. Sahabat menjadi forum musyawarah untuk menentukan keputusan-keputusan politik penting dan strategis negara ketika itu, mulai dari persoalan pajak sampai dengan hubungan antar-Muslim dan non-Muslaim. 

Negara adalah bagian dari urusan dunia yang dalam batas tertentu orang lain lebih tahu dari dirinya. Dengan rendah hati beliau pun mengatakan, "kamu lebih tahu dengan urusan duniamu." Bahkan, pernyataan ini beliau lontarkan di hadapan seorang petani yang ternyata lebih paham tentang persoalan pertanian.

Dalam kenyataannya, jabatan politik yang beliau pegang menjadi sarana strategis bagi upaya implementasi ajaran Islam dan pengembangannya. Sebab, dengan politik inilah beliau bisa mengendalikan negara sesuai ide-ide moral Alquran. Hal seperti ini tidak dapat beliau lakukan ketika masih di Makkah karena tidak memiliki kekuasaan politik. Oleh karena itu, di Madinahlah beliau pertama kali membangun negara dan menjadi titik balik kesuksesan menyebarkan ajaran Islam. 

Feeling politik
Bahkan, Muhammad memiliki feeling politik yang sangat visioner. Ketika merasa umat Islam sudah kuat, beliau dengan para pengikutnya ramai-ramai datang ke Makkah yang sudah hampir sepuluh tahun beliau tinggalkan. Melihat Muhammad datang dengan pengikut sedemikian banyak inilah yang membuat para penguasa dan elite Makkah menjadi panik dan menyerah tanpa perlawanan. Apalagi, orang-orang Makkah pun kemudian berbondong-bondong masuk Islam. 

Peristiwa inilah yang digambarkan dalam Alquran sebagai fath al-Makkah (terbukanya Kota Makkah) dalam Alquran surah an-Nashr. Kerap juga berapa penafsir mengartikannya dengan "jatuhnya Kota Makkah". Setelah peristiwa ini, Kota Makkah jatuh ke tangan umat Islam. Dikatakan oleh Michel Hart bahwa sejak saat itu Muhammad tidak saja menjadi pemimpin umat Islam, tetapi menjadi pemimpin Arab terbesar, apa pun agama dan etnisnya.

Peristiwa fath al-Makkah tak ubahnya sebuah unjuk rasa damai dengan menggunakan people power di bawah komando seorang tokoh agama dengan keanggunan moral di satu pihak dan seorang negarawan dengan strategi politik jitu di pihak lain. Muhammad mampu menggabungkan dua kekuatan; agama dan politik dalam satu kesatuan sinergis yang proporsional hingga mampu membangun negara yang kuat tanpa harus melakukan penekanan, penindasan, bahkan konflik sekalipun.

Dengan kekuatan agama, seorang akan memiliki karisma yang membuatnya mudah memengaruhi masyarakat untuk mengikuti kebijakan yang dibuatnya. Sementara masyarakat percaya seorang yang memiliki kekuatan agama tak akan membuat kebijakan yang menyalahi nilai-nilai yang ada di masyarakat, kecuali pemimpin yang zalim (menindas). Sedangkan kemampuan politik akan membuatnya tahu bagaimana seharusnya membuat keputusan strategis yang akan mengikat semua orang.

Indonesia dan Muhammad
Dalam menilik perspektif kepemimpinan Muhammad untuk kepemimpinan Indonesia hari ini, ada baiknya berangkat dari tesis BJ Boland, seorang orientalis asal Belanda yang mendalami percaturan politik Indonesia pascakemerdekaan. Ia pernah menyatakan, sulitnya tokoh Islam menjadi kepala negara di Indonesia dikarenakan tiga sebab. Pertama, mereka hanya bisa diterima oleh kelompoknya sendiri. Jangankan dapat diterima mayoritas bangsa Indonesia, sesama Muslim sendiri, hanya karena berbeda aliran politik dan organisasi, tidak bisa menerimanya. 

Dalam kasus pencalonan Amin Rais, misalnya. Hanya segelintir orang Nahdlatul Ulama (NU) yang memilih Amien Rais menjadi presiden. Juga sebaliknya, hanya beberapa orang Muhammadiyah yang memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam pemilu. Inilah yang pernah memicu BJ Boland melontarkan kritik kepada umat Islam dengan mengatakan, jika Indonesia ini menjadi negara Islam, lalu negara ini akan diatur dengan Islam model siapa? 

Kedua, telah terjadi semacam image bahwa tokoh-tokoh Islam atau sering disebut dengan kaum santri itu tidak nasionalis. Mereka terkesan hanya mementingkan Islam tanpa memperhatikan kepentingan negara. Negara ini bukan monopoli milik umat Islam, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia.

Ketiga, harus diakui umat Islam adalah bagian dari komponen bangsa ini yang secara pendidikan tertinggal dari komponen bangsa yang lain. Ketika orang lain sudah bersekolah modern, umat Islam masih berkutat di pesantren yang tidak berijazah. Bagaimana mungkin menjadi presiden ijazah SD saja tidak punya. Nurcholish Madjid pernah menyatakan, kita tak membayangkan seandainya KH Ahmad Dahlan tidak lahir, mungkin saja hingga kini kita tidak mengenyam pendidikan modern yang darinya akan lahir kader-kader bangsa yang mampu mengatur negara.

Di sinilah urgensi reparasi kaderisasi pemipin bangsa berbasis Islam agar meniru gaya kepemimpinan Muhammad. Dari berbagai pintu dan celah, kaderisasi kepemimpinan bangsa mesti menjadi perhatian lebih bagi umat Islam yang notabene mayoritas. Bukan hendak unjuk identitas atau motif-motif keakuan, melainkan didasarkan pada kontribusi umat Islam yang secara kuantitas sangat potensial untuk membangun bangsa. Bila kuantitas dan kualitas tida berimbang, tak ubahnya umat Islam bak sampah sumber daya bangsa yang cuma jadi penonton dan-meminjam istilah Buya Syafi'i Ma'arif-berada di buritan peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar