Oleh Harun Husein
Kombinasi presidensialisme dan multipartai adalah sesuatu yang complicated.
Kombinasi sistem multi partai dengan sistem pemerintahan presidensial adalah berbahaya (inimical) untuk stabilitas demok rasi. Demi kian, argumen pembuka Scott Mainwaring, dalam papernya, Presiden tialism, Multiparty System, and Democ racy: The Difficult Equation.
Dari semua negara penganut kombinasi multipartai-presidensialisme yang ditelitinya, sejak dulu sampai tahun 1990 —ketika paper itu dipublikasikan— Mainwaring menyatakan hanya satu negara yang bisa stabil, yaitu Chile, terutama pada periode 1930-an hingga akhir 1960-an, kendati terjadi polarisasi ideologi.
Dalam sistem presidensial, Main waring menegaskan hanya sistem dua partai yang bisa menghindari kebuntuan, dan konflik hebat eksekutif-legislatif. Sebab, sistem dua partai memfasilitasi lahirnya pemerintahan yang juga mendapat suara mayoritas di parlemen. Selain itu, polarisasi ideologi juga tidak terlalu tajam.
Tapi, pada sistem presidensial dengan multipartai, demokrasi cenderung ti dak stabil karena eksekutif dan le gisla tif cenderung dikuasai partai berbeda. Itu meru pakan salah satu konse kuensi ter pisahnya pemilihan ekse kutif dan legislatif, sehingga presiden ter pilih bisa berasal dari partai peraih suara kecil di parlemen.
Kondisi ini bukan hanya menyebabkan eksekutif lemah, tapi juga menyulitkan kedua lembaga mencapai konsensus, menciptakan konflik berkepanjangan antarkedua lembaga, serta menghasilkan kebuntuan. Sebuah RUU yang diusulkan presiden, misalnya, bisa mendapat kesulitan di parlemen. Sebaliknya, RUU yang telah disahkan parlemenpun bisa diveto oleh Presiden.
Dikuasainya eksekutif dan legis latif oleh partai berbeda ini, be lakangan diistilahkan sebagai pe merintahan minoritas (minority government). Dalam definisi Jose Antonio Cheibub, Adam Prze wor s ki, dan Sebastian M Saiegh —dalam Government Coalition and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamen tarism — minority govern ment ada lah karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di legislatif.
Di Indonesia, fenomena minority government itu, mulai muncul pascakejatuhan Orde Baru. Sejak Pemilu 1977-1997, hanya ada tiga peserta pemilu, dengan Golkar se lalu meraih suara mayoritas mut lak, dan kerap mendapat istilah single majority. Tapi, pada Pemilu 1999, kontestannya meledak hingga 48 partai. Presiden Abdur rahman Wahid yang terpilih da lam voting di MPR saat itu, adalah pendiri PKB yang hanya meraih 51 kursi kursi DPR.
Pada Pemilu 2004 dan 2009, saat pemilihan presiden telah dila kukan secara langsung, masalah ini pun tetap membuntuti. Pada 2004, SBY yang menjadi presiden, berasal dari Partai Demokrat yang hanya meraih 56 kur si DPR. Dan, pada 2009, SBY kembali menjadi presiden dan partainya telah meraih 150 kursi. Meski telah naik 200 persen, minority government tetap terjadi.
Agar pemerintahan minoritas ini tidak membuat presiden meng alami kebuntuan dalam berhadapan dengan parlemen, maka koalisi lazim menjadi jalan keluar. Dan, solusi seperti ini pulalah yang terjadi di Indonesia, sejak era Gus Dur hingga SBY. Sejak era era Gus Dur, koalisi selalu diperlebar. Gus Dur didukung oleh Poros Tengah, dan setelah terpilih kemudian merangkul PDIP, terlebih setelah Megawati menjadi wakil presiden.
Di era SBY, koalisi ini juga selalu melebar. Pada pilpres putaran pertama tahun 2004, SBY hanya didukung Demokrat, PBB, dan PKPI. Pada pilpres putaran kedua, partai-partai lain bergabung, seperti PPP, PAN, dan PKS. Selanjutnya, pascapilpres, SBY merangkul Golkar, terutama setelah wapres Jusuf Kalla menjadi ketua umum Beringin.
Pada pilpres 2009, kisah serupa terulang. Selain 27 partai pendukungnya –dengan lima partai sebagai tulang punggung, yaitu Demokrat, PPP, PAN, PKS, dan PKB— SBY juga kembali memperlebar koalisi dengan merangkul Golkar dalam koalisi pascapilpres, setelah Aburizal Bakrie terpilih memim pin partai itu. Bahkan, SBY berusaha menarik PDIP, namun terhalang sikap kukuh Megawati.
Koalisi Rapuh
Setelah koalisi terbentuk selesai kah persoalan? Sejarah memperlihatkan perjalanan pemerintahan SBY tak mulus, bah kan kerap mendapat perlawanan dari partai mitra koalisinya. Ang ket BBM, Century, dan Mafia Pa jak, adalah buktinya.
Tapi, masalah-masalah itu seakan terjadi by nature. Seperti dicatat Mainwaring, koalisi da lam sistem presidensial, adalah sesuatu yang complicated. Dan, pada umumnya memang rapuh (vulnerable). Sebab, tak seperti dalam sistem parlementer, koalisi dalam sistem presidensial tidak terinstitusionalisasi.
Apalagi, yang membentuk kabinet adalah presiden sendiri, sehingga partai politik memiliki komitmen rendah dalam mendukung Presiden. Berbeda dengan sistem parlementer, di mana hanya lembaga legislatif yang dipilih rakyat, sedangkan perdana menteri dan menteri-men teri, justru dipilih dan ditentukan partai-partai dalam koalisi. Sehingga, umumnya partai-partai bertanggung jawab mendukung pemerintahan.
Di Indonesia saat ini, hanya separuh —17 dari 34— jatah men teri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang diberikan kepada enam partai pendukung (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB). Padahal, kursi keenam partai itu mencapai 75 persen di parlemen. Selain itu, dalam berkoalisi pun, partaipartai itu —seperti dalam kontraknya — berkoalisi dengan SBY, bukan dengan Partai Demokrat. Inilah yang kerap menjadi alasan partai-partai seperti PKS dan Golkar berani tampil beda dengan Demokrat.
Tapi, mau tidak mau, koalisi dalam sistem presidensial-multipartai, memang harus dijalin. Bi la tidak, alamat deadlock di de pan mata. Dan, kendati tak akan sesukses memecahkan masa lah minority government dalam sis tem parlementer, Cheibub menyatakan koalisi merupakan jalan keluar bagi minority government pada sistem presidensial, kendati sulit dan jarang terbentuk.
Dan, konsekuensinya, menurut pengajar Universitas Yale, itu, presiden yang partainya memiliki kursi minoritas di parlemen, membagi-bagi kursi menteri kepada partai-partai yang diajak berkoalisi. Sehingga, pemerintah dapat diasumsikan, dijalankan oleh partai yang mendapat kursi di kabinet, serta mendapat du kungan dari partai-partai itu di legislatif. Sesuatu yang mirip dengan yang terjadi di Indonesia saat ini.
Di Chile, yang menurut Mainwaring merupakan contoh sukses presidensialisme-multipartai, hing ga saat ini masih menerapkan jalan keluar koalisi dan bagibagi kursi menteri. Sebastian Pinera yang terpilih sebagai presi den periode 2010-2014 atas dukungan Koalisi untuk Perubahan, misalnya, membagi kursi kepada partai pendukungnya.
Pinera yang popular karena aksi penyelamatan penambang yang berbulan-bulan di perut bumi, memberi lima kursi menteri untuk Independent Democratic Union (UDI) dan enam kursi National Renewal (RN). Selebihnya, 15 kursi diberikan kepada kalangan independen.
Tapi, di Chile, koalisi memang terbentuk sebelum pemilu. Dan, tidak ada partai dari koalisi pendukung presiden yang kalah, kemudian mempunyai menteri, kendati back up kursi pendukung pemerintah di parlemen tak mencapai mayoritas mutlak. Tak seperti di Indonesia: yang kalah tetap minta jatah, bahkan lebih galak!
Di majelis rendah (DPR), Koalisi untuk Perubahan me nguasai 58 kursi (48,33 persen) — 37 UDI, 18 kursi RN, ditambah dua kursi independen— dan merupakan koalisi terbesar. Di majelis tinggi (Senat), Koalisi untuk Perubahan mempunyai 18 kursi (42,10 persen) –8 UDI, 8 RN— dan merupakan koalisi ter besar kedua setelah Concer tacion yang merupakan koalisi partai berideologi sosialis dan Kristen.
Tapi, karena rumitnya sistem presidensial dan multipartai, Mainwaring menyimpulkan kombinasi tersebut tetap sesuatu yang problematik. Dan, itu sudah didukung bukti empiris. Klaim sistem dua partai lebih cocok dengan sistem presidensial, tidaklah mengada-ada, tulisnya.
Lantas, bagaimana jalan keluar agar koalisi dalam presidensialisme-multipartai di Indo nesia juga berjalan efektif? Pakar politik UI, Arbi Sanit, menolak cara-cara penyederhanaan partai dengan fusi paksa, seperti yang diterapkan Orde Baru dan sedikit banyak melalui UU Parpol saat ini. Dia menilainya berlawanan dengan hak demokrasi.
Ketimbang dwipartai, Arbi mengusulkan dwikoalisi. Tak perlu pemenang berusaha merangkul semua, seperti yang dilakukan SBY selama ini. Sebab dalam sistem presidensial, yang kalah memang harus di luar. Karena oposisi berguna mengontrol kemungkinan perselingkuhan presiden dengan legislatif yang mayoritas kursinya bisa jadi dikuasai presiden dan koalisinya.
Tapi, partai-partai yang tergabung dalam koalisi, harus meng andaikan koalisinya sebagai partai baru, dan mereka harus benar-benar menjadi pendukung pemerintah. Arbi menilai konfede rasi semacam Barisan Nasional yang beranggotakan 13 par tai di Malaysia, bisa menjadi contoh, dan terbukti awet sejak tahun 1950-an.
Apapun itu, tampaknya koalisi di Indonesia memang harus dibenahi, baik konsepnya dan terutama budaya dan fatsunnya. Bila tidak, mungkin presidensialismemultipartai di Indonesia akan tetap rapuh, dan tetap menghasilkan kegaduhan.
Asumsikan Koalisi Sebagai Partai Baru
Koalisi dalam sistem presidensial selalu rapuh. Tapi, di mata pengamat politik senior, Arbi Sanit, koalisi tetap bisa efektif dengan sejumlah syarat. Apa saja syarat itu, dan bagaimana menerapkannya dalam konteks Indonesia? Berikut petikan wawancara Arbi Sanit dengan wartawan Republika, Harun Husein:
Multipartai dalam sistem presidensial dinilai bukan kombinasi yang cocok, karena menciptakan koalisi rapuh sepertidi Indonesia saat ini. Komentar Anda?
Yang jelas sistem multipartai, baik dalam sistem parlementer maupun presidensial, koalisi itu wajib. Tanpa itu, tidak akan dapat mayoritas, dan tidak akan dapat yang berkuasa. Dalam sistem parlementer, koalisinya bisa berapa saja sesuai keinginan mereka. Tapi, kalau dalam sistem presidensial, supaya kompatibel dan kompetisinya berlangsung efektif, ya seharusnya hanya ada dua koalisi besar. Kedua koalisi itulah yang men jadi peserta pemilu. Yang menang berkuasa, yang kalah menjadi oposisi.
Jadi, apa yang harus dibenahi dengan koalisi di Indonesia?
Sistemnya memang salah dan harus di- reform. Harus dwikoalisi. Dengan begitu, pemilunya hanya diikuti dua peserta, dan kemudian, di dalam pemerintahan jelas mana oposisi mana penguasa. Nah, kalau koalisi, tidak boleh ada penafsiran Golkar dan PKS boleh berbeda. Kalau mereka berkonflik juga dalam koalisi, apa bedanya dengan oposisi? Jadi, koalisi itu bisa jadi pemerintah, bisa jadi oposisi, tapi tidak boleh berbeda. Itu rule-nya. Kalau seperti sekarang, itu kan memperlihatkan mereka tidak mengerti koalisi. Alasannya kebebasan, koalisi pun berantem. Lalu, mana koalisinya? Jadi, definisi koalisi itu mereka nggak ngerti. Da lam koalisi itu ada hak dan kewajiban. Kewajibannya adalah harus tunduk pada koalisi. Kalau dalam koalisi jadi oposisi juga, itu tidak ada logic-nya, tidak ada sejarahnya.
Koalisi sekarang kan sudah diikat kontrak dan mestinya sudah lebih kuat. Pendapat Anda?
Yaa, enggak juga. Kontraknya masih terlalu umum dan multiinterpretasi. Karena itu Golkar dan PKS selalu bilang “Saya bukan kontrak dengan Partai Demokrat, tapi dengan SBY.”
Bisa kokoh koalisi dalam sistem presidensial?
Dalam sistem presidensial, penyakitnya memang itu: tidak pernah efektif koalisinya. Tapi, bergantung koalisinya. Koalisi tidak efektif, pada umumnya, karena tanggung jawabnya tidak ditunaikan, haknya saja yang diambil. Kalau mau berkoalisi, tugas oposisi serahkan kepada oposisi. Seluruh yang berkoalisi, harus menyatu. Itu hukumnya. Kalau jadi oposisi, jangan berkoalisi. Jadi, ada spesialisasi fungsi. Itu logic-nya. Dalam sistem presidensial, adanya sistem mayoritas menjamin pemerintahan efektif. Apa artinya? Hubungan DPR dengan pemerintah itu akrab, lancar. Jadi, potensi perselingkuhan antara DPR dan Presiden itu terbuka. Nah, untuk menghindari itulah perlu oposisi, sehingga tidak terjadi perselingkuhan itu.
Menurut Anda, apa yang perlu dibenahi koalisi saat ini hingga berakhirnya masa pemerintahan yang tinggal 3,5 tahun?
Saya kira kontraknya harus dibenahi, harus lebih rinci. Pertama, platformkoalisi. Karena ideologi tidak bisa diutak-atik, jadi platform-nya saja yang diutak-atik. Satukan platformdalam kontraknya.
Kedua, leadership. Kan berbeda-beda kemampuan leader antarpartai koalisi, karena itu harus dibuat hierarkinya: siapa di atas siapa, siapa di bawah siapa, siapa senior, siapa junior. Ini harus disepakati lagi, dan dibuat satu kontrak. Lalu, organisasi seperti Setgab itu harus masuk dalam kontrak: apa tugas dan kewenangannya, seperti apa strukturnya, bagaimana menentukan orang-orangnya, bikin satu kontrak. Kemudian, prioritas programnya disepakati, juga jadi satu kontrak. Selanjutnya, bagaimana membagi kekuasaan antarelit partai koalisi, ini juga satu kontrak.
Nah, seluruh kontrak itu harus difungsikan sebagai AD/ART koalisi, jadi pegangan seluruh anggota koalisi. Yang melanggar harus ada sanksi. Ada panitia yang menentukan siapa melanggar. Jadi, diasumsikan koalisi sebagai se buah partai baru yang beranggo takan partai-partai. Misalnya namanya KBP: Koalisi Besar dan Permanen.
Jadi, harus tegaslah. Kalau tidak, bagaimana mau berjalan. Konflik elite itu selalu merongrong pemerintahan, sehingga nggak bisa menjalankan tugasnya. Menghadapi birokrasi, SBY nggak mampu, karena tidak ada koalisi solid yang mendukungnya. Jadi, birokrat bersembunyi di balik konflik koalisi. Ini sudah 60 tahun merdeka, tapi masih begitu saja dari dulu sampai sekarang.
Selalu muncul retorika bahwa Setgab bukan untuk penyeragaman pendapat. Bagaimana Anda mengomentarinya?
Itu orang-orang yang jalan pikirannya tidak masuk akal. Asal sera gam itu bukan menginjak-injak, asal seragam itu bisa disepakati, itulah gunanya koalisi. Mereka boleh berbeda pendapat, tapi sifatnya pribadi dan internal, dan diselesaikan di Setgab. Tapi, keputusan mesti seragam.
Koalisi selalu diperlebar setelah pemilu, karena pemenang pemilu ternyata punya suara minoritas di parlemen…?
Yaa, itu salah SBY. SBY ini kan politik orang Jawa: merangkul semua pihak. Harus nya kan sudah jelas dari awal: Golkar itu harus di luar, jadi oposisi, karena tidak ikut mendukung dalam pemilu. Tapi, SBY takut menghadapi orang-orang ini di DPR.
Ada upaya meningkatkan komu nikasi di Setgab. Akan efektif?
Bergantung komitmen. Sekarang komitmen berkoalisi semakin kuat, karena pelajaran buruk kasus Mafia Pajak, mereka berantem abis. Jadi, menurut hemat saya, harus ada pertemuan rutin di Setgab. Sebab, yang namanya Setgab itu kan inti golongan penguasa dalam negara. Jadi, sebenarnya Setgab inilah yang mengatur negara secara riil. Jadi, kalau mereka mau mengatur negara, mereka harus rutin bertemu untuk membahas bermacammacam masalah.
Jadi, cara kerjanya harus diperbaiki. Transparan. Semua kebijakan dibahas dan diputus Set gab. Lalu keputusan Setgab itu di bawa ke kabinet oleh ketuanya (SBY), dan dibawa ke parlemen oleh ketua-ketua partai anggota koalisi.
Dengan pola seperti itu akan efektif sistem presidensial di Indonesia?
Akan efektif dan bermanfaat. Nggak habis energi. Lihat saja dua hak angket itu. Apa gunanya? Bagaimana ujung pangkalnya? Nggak ada penyelesaiannya. Di dalam demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat, diserahkan kepada partai. Jadi, partai lah yang jadi penentu negara. Karena kita multipartai, digeser di koalisi. Dan karena koalisi, ada Setgab. Itulah pilarnya.
PERSENTASE SUARA PEMENANG PEMILU 1971-2009
Pemilu | Peserta Pemilu | Pemenang | Suara | Kursi | Total Kursi DPR |
1971 | 10 partai | Golkar | 62,83 persen | 236 | 360 |
1977 | 3 partai | Golkar | 62,11 persen | 232 | 360 |
1982 | 3 partai | Golkar | 64,34 persen | 242 | 364 |
1987 | 3 partai | Golkar | 73,16 persen | 299 | 400 |
1992 | 3 partai | Golkar | 68,10 persen | 282 | 400 |
1997 | 3 partai | Golkar | 74,51 persen | 325 | 425 |
1999 | 48 partai | PDIP | 33,73 persen | 154 | 462 |
2004 | 24 partai | Golkar | 21,58 persen | 127 | 550 |
2009 | 38 partai* | Demokrat | 26,79 persen | 150 | 560 |
* Untuk Pemilu 2009, total peserta pemilu sebanyak 44, terdiri atas 38 partai nasional dan enam partai lokal di Aceh.
SUARA PEMENANG PEMILU PRESIDEN
SBY-JK | 60,62 Persen | Pilpres 2004 |
SBY Boediono | 60,80 persen | Pilpres 2009 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar