Perolehan suara parpol Islam semakin tergerus dimakan parpol nasional yang dianggap lebih memberikan solusi. Jika ingin selamat dari ‘kanibalisasi’, parpol Islam harus mulai terbuka, seperti yang dilakukan PKS.
Peneliti LSI Burhanuddin Muhtadi menyatakan, perolehan suara partai-partai Islam yang merosot dari pemilu ke pemilu tidak begitu mengagetkan. “Banyak institusi yang dari jauh hari sudah meramalkan kekalahan partai-partai Islam,” kata Burhan di Jakarta.
Partai nasionalis bisa menang, ujar Burhan, karena parpol nasionalis pun memiliki wadah untuk menarik hati pemilih muslim. Misalnya PD menyediakan Majelis SBY Nurussalam, dan PDIP dengan Bamusi-nya.
“Ceruk pasar pemilih muslim lari ke Demokrat dan partai-partai nasionalis lainnya karena dinilai sudah tidak terlalu antipati terhadap agenda umat,” terang Burhan.
Kemampuan pencitraan partai nasionalis, lanjut Burhan, menggambarkan perhatian aspirasi rakyat, bersih dari korupsi, mewakili kepentingan rakyat, program dan kemampuan menyejahterakan rakyat. Sehingga jika parpol Islam ingin mendapatkan hati rakyat, mereka harus bicara soal ekonomi, tak lagi moral.
“Bahwa ada kebutuhan mengenai moral, captive-nya tidak sebesar yang dibayangkan bila dibandingkan dengan isu-isu populis seperti ekonomi,” imbuhnya.
PKB, PAN, dan PKS meski menjual ideologi pluralis, namun masih mengandalkan basis massa muslim, harus masuk ke isu-isu yang banyak diperhatikan orang, yakni soal ekonomi. Mereka harus keluar dari comfort zone agar bisa meraih suara lebih banyak.
“Ada faktor kanibal dalam perebutan suara antar partai-partai Islam. Ini terlihat dalam pemilu 2004 di mana PKS banyak meraih suara tapi bukan dari partai nasionalis, melainkan dari sesama partai Islam,” tuturnya.
Hal ini diamini Mahfudz Siddiq. Politisi PKS itu mengaku keberhasilan partainya bertahan karena keterbukaan. Agama tak lagi dijadikan preferensi. Jargon pun tak Islami, seperti saat pertama keluar di Pemilu 1999. Tagline ‘PK (Partai Keadilan) Partai Islam untuk semua ditinggalkan, terus diganti menjadi ‘Bersih, Peduli’ dan di 2009 ditambah ‘Profesional’.
Dengan semakin terbukanya PKS, diakui Mahfudz, partainya semakin diterima di masyarakat. Ketika suara parpol Islam lainnya merosot tajam, PKS bisa bertahan di kisaran 7-8 persen.
“Ternyata persepsi publik tentang partai-partai Islam adalah tidak bisa menyelesaikan masalah kenegaraan. Jika mau cari pemimpin yang bisa menyelesaikan masalah-masalah negara carinya Golkar, PDIP dan Demokrat,” terang Ketua Komisi I DPR itu.
Pengamat hukum CSIS J Kristiadi melihat, soal agama dan politik di Indonesia sudah berbeda dengan kondisi yang dulu. Partai di Indonesia kini cuma dibedakan menjadi Islam dan Nasionalis.
“Tapi saya kira makin lama tidak bisa dikategorikan lagi seperti ini. Siapa yang bisa menjamin kalau kader dari partai nasionalis tidak agamis dan begitu pula sebaliknya,” ucapnya.
Parpol yang menggunakan simbol-simbol agama, tambah dia, kini tidak laku di masyarakat. Ini terlihat dari PKS yang dianggap fundamentalis oleh sebagian kalangan, ternyata sudah menyatakan dirinya sebagai partai Islam terbuka.
“Ini menarik karena partai-partai Islam sendiri sudah mengakomodasi orang dari agama lain. Realitas politik kita adalah tidak bisa menjadikan unsur primordialisme seperti suku, agama dan lain-lain dalam sikap pemilih,” papar Kristiadi.
Namun diingatkan oleh Ketua DPP PKS Mahfudz Sidik, ada kecenderungan bahwa lembaga-lembaga survei ikut berperan dalam pergeseran suara pemilih. Selama ini parpol kerap dideliver apa yang menjadi agenda politik dari lembaga survei. “Ada pola bagaimana agenda setting parpol yang dipengaruhi agenda setting masyarakat,” ujar Mahfudz.
“Saya dan teman-teman di PKS melihat bahwa perubahan itu harus berjalan secara bersamaan. Ada social dan political engineering. PKS menanam pohon jati memang tidak bisa dilihat sekarang pengaruhnya seperti Demokrat, namun kami berkembang dalam jangka waktu lama namun pasti,” katanya optimistis. (mar/ana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar