Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Senin, 09 Mei 2011

SYARI’AT ISLAM DAN POLITIK HUKUM NASIONAL INDONESIA


HAMDAN ZOELVA

01APR
I. Pendauhuluan
Tiada negara tanpa politik hukum. Perbedaannya hanya mengenai pengelolaannya. Ada negara yang menyusun secara berencana dan sistematis politik hukumnya,dan berkehendak menyusun kembali secara menyeluruh tatanan hukum baik karena alasan idiologis atau karena perubahan sistem politik. Misalnya dari negara jajahan menjadi negara merdeka atau dari negara negara kerajaan menjadi negara republik dll. Akan berbeda halnya dengan negara yang sudah memiliki sistem hukum yang sudah mapan. Politik hukumnya dilakukan dengan lebih sederhana yaitu lebih dikaitkan pada kebutuhan yang bersifat khusus daripada yang pokok atau asas-asanya ( Bagir Manan dalam Mieke Komar at.al. hlm, 226).
Indonesia nampaknya berada pada posisi negara yang menyusun politik hukumnya secara sistematis dan terprogram – sekarang ini ada yang diistilahkan dengan PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional)- baik karena alasan dari negara jajahan menjadi merdeka maupun alasan idiologis amanat rechtsidea yaitu cita hukum yang termuat dalam konstitusi dan pembukaan UUD 1945. Ada kehendak bahkan kebutuhan untuk terus memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan hukum-hukum peninggalan kolonial dengan hukum yang baru.
Ditengah perdebatan mengenai penggantian hukum kolonial itu muncul berbagai tuntutan dan perdebatan tentang hukum apakah yang mewarnai dalam pembentukan hukum nasional indonesia modern. Sebagian kalangan memandang bahwa hukum barat peninggalan kolonial itu perlu dipertahankan dengan hanya memperbaharuinya dengan berbagai perkembangan baru dalam masyarakat. Pada sisi lain kelompok pelopor hukum adat menghendaki diberlakukan dan diangkatnya hukum adat menjadi hukum nasional Indonesia dan kelompok lain mengusulkan agar syari’at Islam perlu diintrodusir sebagai hukum nasional Indonesia.
Persoalannya adalah bagaimanakah sebenarnya politik hukum nasional Indonesia dan sejauhmana pengaruh syari’at islam dalam pembangunan hukum Indonesia. Sebelum menjawab kedua pertanyaan tersebut akan dijelaskan lebih dahulu pengertian syari’at islam yang menjadi issu tulisan ini. Makalah singkat ini hendak menjelaskan dengan pendekatan sejarah dan yuridis analitis tentang politik hukum nasional Indonesia pada masa sekarang ini dan pengaruh hukum islam didalamnya.

II. Syarai’at Islam
Secara etimologis yang dimaksud “syari’at” adalah jalan atau rute yang ditetapkan oleh agama islam yang harus diacu atau dirujuk (Masykuri Abdillah dkk, hlm 157). Menurut istilah “syari’at islam” adalah apa yang disyari’atkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan dicontohkan oleh rasul-Nya Muhammad dalam hadis dan harus diikuti oleh setiap muslim. Ajaran-ajaran yang tertuang dalam syari’at itu tidak semata-mata hanya mengenai hubungan manusia (hamba) dengan tuhannya, akan tetapi juga mencakup hubungan manusia dengan alam serta manusia dengan manusia. Dengan demikian syai’at mencakup ajaran yang terkait dengan aqidah (keyakinan/keimanan), akhlak (etika), ibadah (hubungan manusia dengan tuhannya) serta muamalat (hubungan manusia dengan manusia – sosial kemasyarakatan dan dengan alam sekitar). Itulah pengertian syariat dalam arti luas. Dari syari’at itu dikembangkan hukum-hukum yang berlaku dalam situasi konktrit (fiqh) dengan pendekatan-kendekatan deduksi rasional, sistematik, sosiologis serta tujuan (kemaslahatan, keadilan maupun kepatuhan kepada Allah SWT) baik secara perorangan maupun kelompok (ijtima’y). Bidang inilah yang termasuk pengertian syari’at dalam arti sempit yang dipergunakan dalam pembahasan dalam makalah ini.
Fiqh (syari’at) tidak harus diartikan sebagai himpunan kitab hukum warisan para ulama terdahulu dalam paket pendapat dari berbagai mazhab yang ditulis sejak berabad-abad yang lalu yang menganggapnya sebagai hasil yang tidak dapat diubah lagi. Menurut Prof. Bustanul Arifin ( Rifyal Ka’bah, 1999: xiv) ilmu fiqh harus terikat pada tempat dan masa tertentu, sama halnya dengan ilmu hukum. Tanpa pola pemikiran yang demikian akan tetaplah fiqh dan masyarakat, fiqh dan hukum (umum) itu hanya merupakan dua entitas yang tidak bertautan. Dengan demikian fiqh sebenarnya memiliki elastisitas untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan situasi pada tempat dan waktu tertentu, sama halnya dengan ilmu hukum. Dalam persepsi yang demikianlah, syari’at (fiqh) dapat dintrodusir dalam mengisi pembangunan hukum nasional Indonesia modern.
Sebelum kedatangan penjajah Belanda, hukum Islam telah merupakan hukum positif di kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di persada Indonesia. Keberadaan hukum Islam tersebut pada mulanya mendapat pengakuan dari penguasa Belanda sesuai teori Receptio in complexu, tetapi kemudian hanya diakui bila sudah diterima dalam hukum adat melalui receptie. Sedangkan dalam alam Indonesia merdeka hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional Indonesia (Rifyal Ka’bah, 1999 : 264).

III. Politik Hukum Nasional Indonesia
Setelah serangkaian empat kali perubahan UUD 1945, tidak dikenal lagi garis-garis besar haluan negara yang selama pemerintahan Orde Baru dapat kita temukan garis-garis besar arah politik hukum nasional dalam kurun waktu lima tahunan. Karena itu bagaimana hukum itu dibangun dan dikembangkan dapat dikembalikan dalam kerangka UUD 1945 baik yang tercermin dalam cita hukum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 maupun dalam pasal-pasalnya.
Pada sisi lain dalam perkembangannnya selama ini seluruh format struktur dan fungsi sistem hukum di Indonesia hanyalah dapat dipahami dari perspektif paradigma epistemologik dan aksiologik sebagaimana telah ditradisikan di Barat, dalam hal ini terkesan paling kuat adalah paradigma positivisme. Hukum bukanlah lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan malinkan iusyang telah mengalami posisitivisasi sebagai lege atau lex guna menjamin kepastian “apa yang terbilang hukum” dan “ apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagal hal-hal yang bukan hukum” (Wignjosoebroto dalam Mieke Komar at.al, 1999 : 210-211). Dalam posisi seperti ini, negara (pemegang otoritas) menjadi sangat penting dalam menentukan apa yang merupakan hukum dan apa yang tidak merupakan hukum. Norma agama, norma moral serta adat istiadat tidaklah dianggap sebagai norma hukum. Sedangkan norma hukum haruslah memiliki kekuatan mengikat dan memaksa dimana negaralah yang menentukannya. Negaralah yang memproduk hukum dalam bentuk perundang-undangan. Apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan itu (what it’s in the text) atau paling tidak memiliki dasar berlaku yang bersumber dari undang-undang.
Peran negara bagi pembentukan hukum dan apa yang merupakan hukum atau tidak merupakan hukum nampak pada politik hukum yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Pemerintahan Hindia Belanda menerapkan politik pluralisme hukum, dimana berlaku hukum yang berbeda untuk golongan-golongan masyarakat Hindia Belanda yang berbeda pula yaitu politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang berlaku bagi golongan bumi putera. Hukum yang diintrodusir dari Belanda yang berlaku bagi golongan Eropa dan golongan masyarakat lainnya yang menundukkan diri pada hukum Eropa dan hukum masing-masing dari golongan Cina dan Timur Asing. Dengan demikian Belanda menerapkan politik hukum majemuk dan mengabaikan unifikasi hukum yang berlaku untuk seluruh Hindia Belanda. (Lihat Daniel Lev, 1990 : 439-455). Dengan politik yang demikian apa yang disebut hukum yang berlaku di Hindia Belanda adalah tergantung pada golongan hukum yang dianut. Hukum Adat lebih melihat pada hukum yang hidup pada masyarakat hukum adat sedangkan hukum Eropa akan melihat pada hukum tertulis yang ada diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Walaupun terdapat perbedaan sumber kekuatan berlaku dari kedua kelompok hukum tersebut dari segi penekananya, tetapi dapat dikatakan bahwa hukum adatpun sebagai hukum yang hidup barulah diakui sebagai hukum apabila dinyatakan berlaku secara positif. Dengan demikian tetaplah dalam kerangka berpikir politik hukum Belanda yaitu pada kerangka postisvisme hukum.
Walaupun terdapat tantangan baru dari aliran baru pasca positivisme hukum, yaitu yaitu apa yang disebut kaum social constructivis (Wignjosoebroto dalam Mieke Komar at.al, 1999 : 218-219) yang lebih melihat hukum dari sudut kenyataan-kenyataan sosial yang non doktrinal-interdisiplin yang merupakan perkembangan dari pendekatan hukum doktrinal-jurisprudensial kalangan positivis, akan tetapi penulis harus kemukakan bahwa kenyataan yang terjadi di Indonesia pengaruh kaum positivis itu adalah sangat kuat sebagai pendekatan dalam melihat hukum di Indonesia.
Dengan demikian wajarlah di negara kita, tarik menarik mengenai proses pembentukan hukum dan politik hukumnya menjadi sangat kuat, karena warga negara kita sangat heterogen. Hal ini akan terus berlanjut sampai negara ini mapan dengan sebuah sistem hukum yang teruji pada masa-masa mendatang. Di sinilah masalahnya dimana syari’at islam sebagai sumber hukum (fiqh) yang diyakini kebenarannya oleh kalangan ummat islam dan harus diberlakukan. Bagi saya persoalan berlakunya syari’at islam di Indonesia bukanlah semata-mata persoalan formalisasi atau tidak, tapi karena peran negara dalam menentukan manakah yang terbilang hukum itu dan mana yang tidak merupakan hukum telah menyentuh keyakinan agama yang sangat mendalam dari warga masyarakat.
Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa Indonesia adalah termasuk kelompok negara yang melakukan politik hukumnya secara tetap dan sistematis (terprogram). Hal ini tentu disebabkan oleh kenyataan bahwa disatu pihak negara Indonesia adalah dari negara eks jajahan Belanda yang meninggalkan hukum-hukum kolonial yang berlaku di Indonesia – walaupun tidak seluruhnya hukum kolonial itu jelek – hampir di seluruh aspek kehidupan. Pada pihak lain ada kehendak untuk mengganti hukum-hukum kolonial itu dengan hukum baru produk Indonesia merdeka dengan berpedoman pada cita negara (staatsidee) dan cita hukum(rechtsidee) yang termuat dalam konstitusi (pembukaan UUD 1945). Disamping itu pembentukan hukum itu terus berjalan dan disempurnakan, bahkan hukum yang dibentuk setelah merdeka pun terus mengalami perubahan-perubahan sesuai tuntutan perkembangan masyarakat dan negara.
Isi dan corak politik hukum itu dapat berbeda antara satu dengan yang lain, karena berbagai faktor (Bagir Manan dalam Mieke Komar at al hlm 231-237), antara lain : a) dasar dan corak politik; b) tingkat perkembangan masyarakat; c) susunan masyarakat; serta d) pengaruh global.
Dasar dan corak politik hukum Indonesia bersumber pada konstitusi (pembukaan UUD 1945), yang didalamnya mengandung cita negara, cita hukum dan dasar-dasar politik hukum negara. Hukum ditujukan untuk mewujudkan kedailan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kemakmuran rakyat, memenuhi prinsip kemanusiaan, serta dilandasi oleh demokrasi dan musyawarah yang seluruhnya dengan menghormati ajaran agama. Dengan landasan itulah politik hukum dibangun dan dikembangkan baik pada tataran tujuan maupun proses pembentukan hukum dalam berbagai perundang-undangan. Karena pemahaman terhadap hukum di Indonesia yang dipengaruhi oleh paham positivistik maka pada kenyataannya hukum –khususnya peraturan perundang-undangan – adalah merupakan produk politik.
Sebagai negara demokrasi – walaupun masih pada tahap demokrasi yang belum mapan – proses pembentukan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dan berbeda idiologi dan kepentingan politiknya. Hukum yang lahir dari negara demokratis sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan pendapat rakyat melalui prosedur demokrasi, dan hal ini berbeda dengan negara otoriter yang sangat dipengaruhi oleh pihak penguasa. Walaupun harus diakui, pada kenyataannya pembentukan hukum sangat didomisasi oleh elit-elit politik yang memiliki otoritas yang dianggap representasi rakyat dan dilain pihak keterlibatan rakyat secara langsung yang masih minim.
Corak pembentukan hukum juga sangat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat, yaitu kenyataan sosial kemasayarakatn yang ada. Karena itu pendekatan dalam pembentukan hukum disesuaikan dengan kondisi pragmatik masyarakat yang ada, baik karena tingkat ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kepercyaan agama masyarakat Indonesia. Akan berbeda halnya dengan negara yang memiliki corak masyarakat yang menganut nilai-nilai yang bebas, maka pembentukan hukum itu hanya semata-mata ditujukan pada tujuan pembentukan hukum saja. Pada negara yang mayoritas masyarakatnya menganut standar nilai-nilai tertentu maka pembentukan hukum pun memperhatikan nilai-nilai dan keyakinan yang hidup ditengah-tengah masyarakat itu. Pembentukan hukum yang menghormati kepentingan masyarakat banyak dan menghormati nilai-bilai dan kepercayaan yang mereka anut, itulah refleksi negara demokrasi yang sebenarnya.
Susunan masyarakat Indonesia adalah sangat majemuk – plural – dan tidak homogen. Hal ini tercermin dalam dalam semboyan “bhinneka tunggal ika”. Karena susunan masyarakat yang demikianlah pembentukan hukum harus menghormati keragaman itu, kepentingan satu pihak tidak dapat dipaksanakan pada pihak lainnya. Dengan demikian cita-cita unifikasi hukum tidak bisa dipaksakan dan haruslah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kenyataan sosial rakyat Indonesia yang majemuk. Kericuhan pembangunan hukum selama selama ini sangat dipengaruhi oleh cita-cita unifikasi hukum, yaitu satu hukum nasional yang berlaku untuk semua kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Akibatnya adalah perebutan kekuatan politik dalam pembentukan perundang-undangan menjadi menonjol. Pada kenyataannya selama ini, pemberlakuan hukum yang khusus bagi ummat islam – seperti pada bidang kewarisan, wakaf, pernikahan yang seluruhnya termasuk dalam kewenangan pengadilan agama – telah berjalan dan diterima baik bahkan sejak jaman kolonial. Pola pemberlakuan secara khusus ini juga nampak pada pemberlakuan syari’;at islam dengan undang-undang otonomi khusus yang berlaku di Naggroe Aceh Darussalam.
Pada tataran yang lebih umum dalam bidang ekonomi lahir berbagai regulasi dan perundang-undangan yang memungkinkan diberlakukan syari’at islam (fiqh) yang terkait dengan transaksi ekonomi. Demikian juga dalam bidang hukum lainnya, termasuk rancangan hukum pidana nasional yang sedang diperdebatkan sekarang ini mulai memperhatikan aspek-aspek terkait dengan hukum islam. Sebaliknya jika syariat (fiqh) ini tidak bisa berlaku umum bagi seluruh rakyat Indonesia adalah sangat mungkin memperluas pemberlakuan hukum islam pada aspek-aspek lain yang khusus berlaku bagi penganut agama Islam. Jika terjadi konflik antar kelompok masyarakat yang menganut hukum yang berbeda, dikembangkan hukum antar tata hukum yang pernah berkembang pada masa yang lalu.
Politik hukum juga harus memperhatikan perkembangan global terutama perkembangan ekonomi, iptek dan hubungan antara negara yang semakin tidak lagi memiliki tapal batas antar negara. Akomodasi terhadap perkembangan glogal tidak diartikan sebaga penerimaan penuh pada apa yang berkembang di negara-negara lain, akan tetapi harus diartikan sebagai proses adaptasi dan penyesuaian yang tidak meninggalkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai serta kepercayaan yang berkembang kuat dalam masyarakat kita. Penerimaan nilai-nilai baru dengan cara revolusioner akan menimbulkan goncangan yang seharusnya dihindari dalam masyarakat. Disinilah pintu masuknya hukum-hukum ekonomi yang sangat berkembang dari karakter hukum Anglo Saxon yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum nasional Indonesia.

IV. Kesimpulan
  1. Politik hukum nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh latar belakang politik dan budaya hukum yang berkembang sejak masa pemerintah kolonial Belanda. Saling pengaruh antara hukum Eropa, Hukum Adat dan hukum Islam dan perkembangan hukum modern dari Anglo Saxon karena perkembangan masyarakat yang semakin glogal adalah kenyataan hukum yang sahih. Demikian juga pengaruh positivisme hukum nampak lebih kuat, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa pengaruh hukum Eropa adalah lebih dominan, walaupun cita-cita hukum yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, seharusnya lebih memperhatikan hukum asli yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat Indonesia.
  2. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki keyakinan atas nilai-nilai tertentu yang bersumber dari ajaran agama maupun budaya yang ada, maka syari’at Islam sebagai ajaran dan nilai yang diyakini kebenaran dan daya berlakunya bagi ummat Islam ternyata menjadi faktor yang berpengaruh dan menentukan bagi politik hukum nasional. Hal ini dapat dilihat pada berbagai perundang-undangan yang memberlakukan syari’at islam (fiqh) baik yang diintrodusir dalam undang-undang yang berlaku umum bagi seluruh warga negara maupun yang berlaku secara khusus bagi ummat Islam dan bahkan berlaku secara khusus di daerah tertentu (Nanggroe Aceh Darussalam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar