13OCTPendahuluan
Partai politik Islam yang menjadi objek pembahasan ini adalah partai politik yang secara tegas mencantumkan asanya adalah Islam. Pada pemilu tahun 1999, paling tidak ada delapan partai yang berasaskan islam, antara lain yang mendapatkan kursi di DPR pada saat ini adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan lain-lain. Disamping partai yang berasaskan Islam, di Indonesia pada saat ini, ada juga partai yang bebasiskan massa Islam, yaitu antara lain Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional. Kedua partai yang terakhir ini massa pendukungnya terutama berasal dari para anggota dan simpatisan Ormas Islam Nahdatul Ulama dan Muahammadiyah, Walaupun tidak seluruhnya anggota kedua organisasi tersebut menjadi anggota kedua partai itu.
Lahirnya partai berasaskan islam dan partai yang berbasiskan massa islam, sejak tahun 1998, yaitu setelah tumbangnya Orde Baru adalah perkembangan yang menarik untuk dibicarakan. Paling tidak ada dua hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, pada masa sebelumnya baik pada masa Orde Lama maupun pada masa Orde Baru, tidak ada gejala pembedaan yang demikian. Pada masa Orde Lama partai-partai islam berasaskan islam bersatu padu memperjuangkan idiologi islam sebagai dasar negara. Pada masa Orde Baru yaitu yang dimulai pada pemilu tahun 1971 (pada saat itu ada 4 partai politk islam yaitu Partai NU, PSII, PARMUSI dan PERTI), serta Partai Persatuan Pembangunan untuk pemilu selanjutnya sampai dengan pemilu tahun 1997, tidak menunjukan pembedaan yang demikian. Kedua, artikulasi politik partai Islam pada era reformasi ini, menunjukkan perbedaan yang cukup tajam, terutama tentang sifat partai dan perjuangan idiologi dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat. Partai yang berasaskan islam lebih tertutup, terutama dalam kepemimpinan partai dibanding dengan partai yang berbasis massa islam. Walupun kedua partai yang berbasis massa islam mengklaim sebagai partai terbuka, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemilih kedua partai tersebut adalah massa tradisional pendukung dan anggota ormas Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.
Hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bagaimana partai-partai islam ini berperan dalam politik Indonesia, dan sejauh mana kemungkinannya untuk bisa memenangkan pemilu-pemilu berikutnya.
Islam dan Politik
Dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal Fiqh politik (Fiqhis Siyasah), yang mendasari pandangannya bahwa Syari’at Islam disamping mengatur tentang ketuhanan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah) serta akhlak, tetapi juga mencakup hubungan individu dengan daulah (Negara dan pemerintah), atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan pejabat dengan penduduk, yang diatur dalam fiqh daulah (Al-Qardhawy: 1999:23). Politik menurut perspektif syari’at, ialah yang menjadikan syari’at sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepadanya, mengaplikasikannya dimuka bumi, menancapkan jaran-ajaran dan prinsip-prinsipnya ditengah manusia, sekaligus sebagai tujuan dan sasarannya, system dan jalannya. Tujuannya berdasarkan syari’at dan system yang dianut juga berdasarkan syari’at. Islam adalah aqidah dan syari’ah, agama dan daulah, kebenaran dan kekuatan, ibadah dan kepemimpinan, mushaf dan perang. . ( Al-Qardhawy, 1999:35). Dalam kepustakaan modern bidang-bidang ini adalah termasuk dalam bidang kenegaraan dan kebijakan public, dan hukumnya adalah masuk dalam bidang hukum public, yaitu Hukum tata negara, administrasi Negara, hukum pidana dan hukum acara.
Telah banyak para fuqaha terdahulu yang membahas masalah ini, yang dimasukkan dalam pembahasan fiqh secara umum, dan bahkan ada yang mengupasnya dalam kitab-kitab tersendiri, seperti Al-Ahkam As-Sulthaniyah, karangan Al-Mawardy Asy Syafi’y (wafat 450 H), Abul Ya’la Al-Farra’ Al-Hambali (wafat 458 H.),Ghayyatsul-Umam, karangan Al Imam Al Haramain Asy Syafi’y (wafat 476 H). Kitab As-Siyasah Asy- Syar’iyah fi Ishlahir Ra’yu war Ra’iyyah karangan Ibnu Taimiyah (wafat 728 H), serta karangan dari murid dan sahabat Ibnu Taimiyyah yaitu Ibnu Qayyim yang mengarang kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyah. Termasuk kitab klasik Al-Kharajyang dikarang oleh Abu Yusuf (wafat 181 H), salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, serta banyak lagi kitab-kitab lainnya termasuk yang ditulis pada awal abad ke-20.
Pandangan dan pendapat para para fuqaha dan ulama klasik tentang politik adalah sama dengan apa yang dikemukan oleh Al-Qardhawy, (Al-Qardhawy 1999:38) yaitu tidak dipisahkannya politik dengan syari’at islam. Politik adalah bagian dari syari’at islam yang diatur oleh syari’at dan tujuannya untuk tegaknya syari’at itu. Politik dalam pandangan para ulama salaf, diartikan dalam dua makna, yaitu, Pertama, dalam makna umum, yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan dunia mereka berdasarkan syari’at agama. Kedua, politik dalam makna khusus yaitu pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh islamy, yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek para sahabat dan tabi’in. Dalam pelaksanaannya fiqh islami itu berinteraksi dengan realitas kehidupan, serta berbuat untuk memecahkan berbagai problem dengan merujuk kepada syari’at. Syari’at tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul.
Banyak contoh dan tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW, tentang kelenturan syari’at islam yang dihadapkan dengan realitas, dan inilah bidang politik, yaitu antara lain suatu saat Rasululah pernah memerintahkan untuk memenjarakan seorang tersangka, padahal pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda tidak akan menghukum seseorang kecuali dengn dua saksi. Begitu juga dengan sikap Rasulullah SAW yang meringankan hukuman bagi pencuri yang diganti dengan hukum dera, karena memperhatikan kondisi kehidupan pencuri itu. Serta mengambil zakat dan mengembalikan sebagian kepada mereka sebagai keringanan. Khalifar Umar ra juga pernah menangguhkan hukum bagi pencuri karena kemiskinan.
Setelah runtuhnya khilafah islamiyah mulai berkembang perbedaan pandangan diantara ummat islam tentang islam dan politik. Terutama dimulai dengan pandangan seorang ulama Al-Azhar yaitu Ali Abdurraziq, dengan tulisan Islam wa Ushulil Hukmi ( tahun 1925), yang pada pokoknya menyatakan bahwa Islam adalah agama yang tidak memiliki daulah, Negara. Islam adalah risalah rohani semata. Muhammad tidak bermaksud mendirikan Negara dan ini tidak termasuk risalah beliau. Beliau hanyalah seorang rasul yang bertugas melaksanakan dakwah agama secara murni tidak dicampur kecenderungan terhadap kekuasaan dan seruan mendirikan Negara, karena memamng beliau tidak memliki kekuasaan dan pemerintahan. Beliau bukan raja dan bukan pula seorang pendiri daulah serta tidak mengajak kepada pembentukan Negara. (Al-Qardhawy, 1999:29). Pandangan Ali Abdurraziq ini ditentang oleh seluruh ulama Al-Azhar dan putusan dalam pertemuan format Saikh Al-Azhar beserta 24 anggota tetap, dan memutuskan bahwa buku Al Abdurraziq tersebut telah memuat berbagai masalah yang bertentangan dengan agama. Pengarangnya dianggap telah melalui jalan yang sama sekali tidak layak dilakukan seorang muslim, terlebih lagi seorang yang berilmu. Pengarangnya dikelaurkan dari ulama Al-Azhar dan dicabut kepakarannya serta diberhentikan dari jabatannya.
Pandangan yang lebih moderat disampaikan oleh Haikal (Musda Mulia 1997:289-290), bahwa dalam Al-Qur”an dan As-Sunnah tidak ditemukan aturan-aturan yang langsung dan rinci mengenai masalah-masalah yang ada hanyalah seperangkat tatanilai etika yang dapat dijadikan pedoman bagi pengaturan tingkah laku manusia dan kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya yang juga memadai untuk dijadikan landasan bagi pengaturan hidupn kenegaraan. Tuntunan Al-Qur’an mengenai kehidupan bernegara tidaklah menunjuk suatu model tertentu. Karena itu Haikal menyimpulkan bahwa soal Negara dan pemerintahan lebih banyak diserahkan kepada ijtihad ummal Islam. Islam hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dipedomani dalam mengelola Negara. Prinsip-prinsip itu mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam bagi pengelolaan hidup bernasyarakat, yaitu prinsip persaudaraan, persamaan dan kebebasan.
Perbedaan pandangan diantara ummat Islam mengenai hubungan antara Islam dan politik tersebut berkembang hingga saat sekarang ini, dan membawa kepada perbedaan aliran politik yang dianut ummat Islam di seluruh dunia, termasuk yang terjadi di Indonesia.
Partai Politik
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan beradasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil (Miriam Budiarjo, 1991:161). Ia adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dengan kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara yang menghubungkan kekuatan-kekuatandan idilogi-idiologi social dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik didalam masyarakat politik yang lebih luas.( Haryanto 1982:86).
Partai politik sengaja didirikan untuk memperoleh kekuasaan serta memerintah atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Partai Politik adalah alat yang sah yang ditimbulkan dalam masyarakat modern untuk mengelompokkan berbagai kelompok dan kepentingan dalam masyarakat untuk diartikulasikan dalam kebijakan-kebijakan Negara. Partai politik merupakan alat bagi sekelompok orang yang tergabung secara terorganisir yang memiliki landasan idilogis dan cita-cita yang sama tentang sebuah masyarakat dan Negara yang dicita-citakan. Dengan demikian partai politik adalah sarana formal bagi berbagai kelompok masarakat untuk menyalurkan aspirasi dan pandangan politiknya tentang kehidupan masyarakat dan Negara yang dicita-citakan.
Pemebentukan parta politik didasarkan atas kesamaan idiologi, visi serta misinya untuk membangunan dan memecahkan masalah-masalah bangsa dan Negara. Karena itu dilihat dari visi, misi serta idiologi partai maka ada yang disebut partai konservatif dan ada partai liberal. Pada sisi lain ada partai yang berdasarkan agama dan ada yang berlandaskan sosialisme, kerakyatan dan lain-lain. Dalam kenyataannya tidak selalu hanya ada satu partai politik yang menganut idiologi dan dasar yang sama dalam suatu negara. Karena walaupun menganut dasar, prinsip dan visi serta missi yang sama bisa lahir beberapa partai politik. Karena itu pembentukan partai politik juga sangat dipengaruhi oleh pandangan dan kemauan yang lebih personal dari para tokoh atau pimpinan partai politik, hal ini biasanya terjadi perbedaan kecil pada gaya kepemimpinan dari pimpinan partai politik yang bersangkutan.
Menurut Klingermann (Klingermann 1994:432), di Jerman, Belanda, Belgia dan Austria pertentangan partai yang dominan terus berlanjut menjadi lebih bercorak tradisional daripada modern. Dalam hal ini, dari keempat Negara tersebut kelompok yang dinyatakan sebagai partai Kristen tetap mempertahankan peranan yang menonjol hingga saat ini. Perdebatan yang mencul di Negara-negara tersebut adalah kearah moralitas keluarga dan Negara kesejahteraan.
Partai politik memiliki fungsi yang bermacam-macam antara lain dikemukakan oleh Miriam Budiarjo (1991:163) sebagai berikut :
- partai sebagai sarana komunikasi politik;
- partai sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan;
- partai sebagai sarana sosialisasi politik;
- partai sebagai sarana rekruitmen politik;
- partai sarana pembuatan kebijaksanaan; dan
- partai sebagai sarana pengatur konflik.
Memperhatikan berbagai fungsi partai politik tersebut, kududukan dan peran partai politik adalah sangat penting bagi sebuah Negara demokrasi, baik dalam penyusunan berbagai kebijakan yang demokratis maupun sebagai alat yang efektif untuk melakukan sosialisasi politik (kebijakan), rekruitmen politik serta sarana pengatur konflik, walaupun tidak seluruh fungsi ini dapat diperankan oleh partai-partai politik, karena di internal partai politik sendiri bisa terjadi konflik dan tidak mampu melaksanakan sosialisasi dan komunikasi politik dengan baik. Hal ini sangat tergantung pada kwalitas dan kesadaran politik dari para pimpinan yang menggerakkan partai itu.
Dalam teori demokrasi modern, menurut Klingemann ( Klingemann, 1994:392), Partai-partai politik dipandang sebagai sarana kelembagaan yang utama untuk menjembatani hubungan antara masyarakat dengan pemerintah. Partai-partai dianggap memainkan peranan menyeluruh sebelum, selama dan sesudah pemilu. Berbeda dengan kelompok-kelompok kepentingan , partai-partai menjangkau suatu lingkup kepentingan manusia secara luas. Mereka mengidentifikasi, memilah menentukan dan mengarahkan pelbagai kepentingan tersebut menuju cara-cara bertindak yang dapat dipilih oleh para pemilih dan pemerintah. Pemilu merupakan ajang menyampaikan kehendak kebijakan yang disampaikan oleh para pimpinan partai dalam konteks memperebutkan persaingan memperebutkan pemerintahan.
Idealnya partai pemenang akan mengendalikan pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan sesuai dengan program-program partainya. Namun menurut menurut Klingermann (Klingermann 1994:393) Partai yang berkuasa harus juga memperhatikan berbagai tuntutatan yang nyata dalam masyarakat. Karena itu partai pecundang tidak harus kehilangan perannya dalam kehidupan politik modern, karena ternyata penentuan kebijakan public sangat dipengaruhi oleh rangkain proses demokratis dalam proses pengambilan keputusan. Tekanan-tekanan yang disampaikan oleh kelompok fungsional dan partai-partai kecil sangat besar pengaruhnya dalam penentuan kebijakan public. Apalagi kalau tidak ada pemenang mutlak dalam proses pemilu sehingga pengambilan keputusan mengutamakan akomodasi daripada konfrontasi.
Partai Politik di Indonesia
System multi partai pada pemilu tahun 1955, nampak sekali pengelompokon idiologis partai-partai yang ada yang dapat dikelompokkan pada dua kelompok besar yaitu kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Hal ini terlihat pada terbelahnya pandangan terhadap Negara diantara partai-partai politik dalam Konstituante. Pada kelompok nasionalis sekuler terdapat Nasionalis yang tergabung dalam Partai Nasional Indonesia yang memiliki kekuatan sangat besar sebagai hasil pemilu 1955, Kelompok Komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia, kelompok agama non-Islam yaitu Partai Katolik dan Parkindo serta kelompok yang lain dari kelompok fungsional serta kedaerahan. Sedangkan dari kalangan Islam, terdapat Partai Masyumi yang mendapat dukungan dari kalangan Islam modernis, Nahdatul Ulama (NU) dari kalangan Islam tradisional serta dari Partai Syarikat islam.
Sepanjang Orde Baru Partai Komunis dibubarkan dan paham Komunis dihancurkan di Indonesia, sehingga kekuatan politik komunis dalam kancah politik Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan tidak ada. Dengan demikian, tinggal dua kekuatan partai politik yang bertahan yaitu partai politik kelompok Islam dan kelompok Nasionalis. Sepanjang pemerintahan Orde Baru, dilakukan rasionalisasi partai politik dengan hanya ada dua partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia serta Golongan Karya. Karena Golkar merupakan kendaraan politik Pemerintahan Orde Baru yang didukung oleh militer dan birokrasi, maka pemilu selama Orde Baru tidak menunjukkan kekuatan riil aliran-aliran politik yang ada. Pada masa ini muncul ABRI sebagai kekuatan politik yang sangat menentukan dalam penentuan kebijakan-kebijakan Negara.
Pemilu tahun 1999, masih menunjukkan kecenderungan politik aliran yang sama seperti pada pemilu tahun 1955. Seperti dikatakan oleh Paige Johnson (Panduan Parlemen Indonesia 2001:142), ada kesinambungan dari sifat aliran-aliran dari periode terdahulu. Partai dikatakan mempunyai pendukung kebijakan dalam masyarakat. Muslim modernis cenderung mendukung partai politik jenis tertentu, muslim tradisionalis pada pihak lain dan muslim nasionalis abangan (lebih sekuler) dan minoritas mendukung pihak lain. Pendapat ini dalam kenyataannya mengandung kebenaran karena melihat komposisi perolehan suara pada pemilu tahun 1999 yang lalu walaupun ada sedikit pergeseran, karena politik kekuasaan Orde Baru yang sangat kuat.
Partai Politik Islam di Indonesia
Sepanjang sejarahnya setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah melaksanakan 8 kali pemilu. Dari seluruh pemilu tersebut tidak pernah ketinggalan diikuti juga oleh partai-partai Islam.
Pemilu pertama yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan cabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), diikuti oleh 118 peserta dari organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Untuk memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi Konstituante. Dari seluruh peserta pemilu tersebut terdapat 5 partai islam, yaitu Majelis Suro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tharekat Islam Indonesia (PTII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
Hasil Pemilu tahun 1955, partai-partai Islam memperoleh hasil yang cukup baik walaupun masih kalah suara dibanding dengan partai-partai nasionalis sekuler. Masyumi dan PNI memenangkan pemilu DPR dengan memperoleh masing-masing 57 kursi, sedangkan di Konstituante Masyumi memperoleh 112 kursi dan PNI memperoleh 119 kursi. Urutan selanjutnya ditempati oleh NU dengan 45 kursi DPR dan 91 kursi di Kontituante, PKI 39 kursi DPR dan 80 kursi Kontitunate, PSII memperoleh 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante. Total kursi ynag diperoleh partai partai Islam di DPR adalah 116 kursi dari 257 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 45,13 %. Sedangkan di Konstituante memperoleh 230 kursi dari 514 kursi konstituante yang diperebutkan dalam pemilu atau sebesar 44,74 %.
Issu politik yang paling menonjol yang dibawa oleh partai-partai Islam hasil pemilu tahun 1955 dan mereka mempunyai suaru yang sama untuk itu, adalah persoalan idiologi yaitu Islam sebagai dasar negara, berhadapan dengan kelompok lain yang menginginkan Pancasila serta social ekonomi sebagai dasar Negara. Hal itu terjadi karena memang pada saat itu sedang diperdebatkan tentang Konstitusi Indonesia di Konstituante. Namun perdebatan mengenai dasar Negara tidak membuahkan hasil karena kekuatan Islam dan Nasionalis memiliki kekuatan yang seimbang sehingga tidak mencapai jumlah 2/3 yang dibutuhkan (lihat Tabel 1) :
Tiga Faksi Idiologis di Konstituante (Nasution 2001: 32-33)
Nama Faksi Jumlah Kursi
I. Blok Pancasila
1. PNI (Partai Nasional Indonesia) 119
2. PKI (Partai Komunis Indonesia) 60
3. Republik Proklamasi 20
4. Parkindo (Partai Kristen Indonesia) 16
5. Partai Katolik 10
6. PSI (Partai Sosialis Indonesia) 10
7. IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) 8
8. PRN (Partai Rakyat Nasional) 3
9. P3RI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia) 3
10.Partai Persatuan Daya 3
11.GPPS (Gerakan Pembela Pancasila) 2
12.PRI (Partai Rakyat Indonesia) 2
13.Baperki 2
14. PRIM (Partai Republik Indonesia Merdeka) 2
15. PIR (Persatuan Indonesia Raya – Wongsonegoro) 2
16.PIR (Partai Indonesia Raya- Hazairin) 2
17.Gerinda 2
18.PRD (Partai Rakyat Desa) 1
19.R.Soedjono Prawirasoedarso 1
20.Gerakan Banteng Republik Indonesia 1
21.Partai Tani Indonesia 1
22.Raja Kaprabonan 1
23.PIR (Nusa Tenggara Barat – Lombok) 1
24. Permai 1
Jumlah 274
II. Blok Islam
1. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) 112
2. NU (Nahdatul Ulama) 91
3. PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) 16
4. Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) 7
5. AKUI – Madura 1
6. PPTI 1
7. Gerakan Pilihan Sunda 1
8. Pusat Penggerak Pencalonan L.E.Idrus Effendi
Sulawesi Tenggara 1
Jumlah 230
III. Blok Sosial Ekonomi
1. Partai Buruh 5
2. Partai Murba 4
3. Acoma 1
Jumlah 10
Pada saat itu seluruh partai Islam memandang bahwa Islam dan poltik tidak bisa dipisahkan dan politik adalah bagian dari syariat, hal ini nampak jelas dalam rancangan Mukaddimah Undang-Undang Dasar yang disusun oleh kelompok Islam yang berbunyi “ ..Maka untuk memelihara kemerdekaan itu, kami bangsa Indoesia berketetapan hati untuk menyusun Negara Indonesia menjadi Republik berdaulat berdasarkan Islam”. Pikiran-pikiran dan dasar pertimbangan memilih Islam sebagai dasar Negara dapat dilihat dalam pidato-pidato pemimpin-pemimpin faksi Islam pada saat itu, yang pada intinya berkeyakinan bahwa Islam disamping mengatur masalah-masalah aqidah, ibadah dan akhlak juga mengatur hubungan individu dan masayarakat serta negara, disamping alasan demokratis dimana bagian terbesar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam.
Pemilu kedua dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971, pada masa awal Orde Baru. Pemilu kedua ini diikuti oleh sepuluh Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu PSII memperoleh 10 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 26 kursi dan Partai Islam Perti mendapat 2 kursi. Jumlah total perolehan kursi Partai-partai islam adalah 96 kursi dari 362 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 26,5 %. Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 yaitu selama 20 tahun terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia. Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun 1982, memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari 400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi yang diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 16%. (lihat table 2.
Tabel 2: Perolehan Kursi Partai Persatuan Pembangunan sejak 1977
Pemilu Tahun Kursi DPR Preolehan %
Yang diperebutkan kursi
——————————————————————————————-
1977 360 99 27,50
1982 360 94 26,10
1987 400 61 15,25
1992 400 62 15,50
1997 400 64 16.00
Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu memperoleh kursi diatas 62 % sampai 75 % yang merupakan alat politk pemerintah Orde Baru. Karena itu perolehan suaru partai Islam pada masa ini bukan merupakan indikasi sebenarnya atas sikap pemilih yang dilakukan secara terbuka dan demokratis dalam pemilu. Orde Baru memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan Karya, Birokrasi dan ABRI untuk mendukung dan mempertahakan kekuasaannya. Kemenangan Golkar didukung penuh oleh kekuatan birokrasi dan ABRI.
Partai Islam Pada Masa Reformasi
Lahirnya Masa Reformasi ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada taggal 21 Mei 1998, yang disebabkan oleh demonstrasi massa yang sangat besar yang menuntut perubahan dalam segala bidang termasuk bidang kebebasan politik, kebebasan pers serta pemberantasan Korupsi , Kolusi dan Nepotisme. Presiden B.J.Habibie yang menggantikan Soeharto pada masa itu membuka keran demokrasi ini dengan seluas-luasnya yaitu dengan membuka dan menjamin kebebasan pers serta membebaskan berdirinya partai-partai politik yang baru. Era baru ini dasmbut dengan gegap gempita dengan tuntutan perubahan-perubahan radikal dalam politik.
Kebijakan Presiden B.J.Habibie yang membebaskan berdirinya partai politi itu, disambut dengan lahirnya ratusan partai politik baru di Indonesia yaitu paling tidak 181 partai politik, yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pemilu yang dipercepat pada bulan Juni 1999. Dalam pemilu pertama masa reformasi itu, tidak seluruh partai politik yang terdaftar bisa ikut pemuli, karena setelah dilakukan verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum pemilu tersebut hanya diikuti oleh 48 partai Politik. Pemilu ini, dianggap sebagai pemilu paling demakratis yang dilasanakan oleh bangsa Indonesia sepanjang sejarahnya setelah Pemilu pertama pada tahun 1955. Dari seluruh partai politik peserta pemilu tersebut paling tidak terdapat 8 partai politik Islam, sebagaimana yang telah diuraikan dalam bagian awal tulisan ini.
Hasil Pemilu tahun 1999, menunjukkan bahwa ternyata perolehan partai politik Islam sangatlah kecil disbanding dengan perolehan suara partai politik yang tidak berdasarkan Islam. Partai Persatuan Pembangunan yang telah berumur hamper ¼ abad hanya memperoleh 58 kursi DPR yaitu 12,6 % dari 462 kursi yang diperebutkan. Partai Bulan Bintang memperoleh 13 kursi atau 2%, Partai Keadilan memperoleh 7 kursi atau 1,5%, Partai Nahdatul Ummah memperoleh 5 kursi atau 1%, serta 3 partai Islam lain yang meperoleh kursi masing-masing 1 kursi, yaitu Partai Kebangkitan Ummat, Partai Syarikat Islam serta Partai Masyumi sehingga berjumlah 3 kursi atau 0,64 %. (Lihat Tabel 3)
Tabel 3: Perolehan kursi partai Islam Pada Pemilu 1999
Nama Partai Kursi yang diperoleh %
1. Partai Persatuan Pembangunan 58 12,6
2. Partai Bulan Bintang 13 2.0
3. Partai Keadilan 7 1,5
4. Partai Nahdatul Ummat 5 1.0
5. Partai Masyumi 1 0,2
6.Partai Kebangkitan Ummat 1 0,2
7. Partai Syarikat Islam Indonesia 1 0,2
Jumlah 86 18,6
Sementara itu, kedua partai yang berbasiskan massa Islam, memperoleh kursi yang juga tidak begitu besar, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh 51 kursi atau 11% dan Partai Amanat Nasional memperoleh 34 kursi atau 7,36 %. Sehingga total perolehan kursi kedua partai ini adalah 85 kursi atau 18,36%. Jumlah ini seimbang dengan perolehan kursi partai-partai Islam. Sedangkan total perolehan kursi partai Islam dan partai barbasis massa Islam adalah 171 kursi atau 37 %.
Peranan dan kedudukan parlemen hasil pemilu tahun 1999, menemptai posisi yang sangat strategis bagi masa depan Indonesia, karena dalam masa inilah kebijakan-kebijakan strategis dan mendasar bagi masa depan Indonesia di letakkan antara lain dengan adanya perubahan yang sangat besar pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Hal yang menarik diamati bahwa pandangan dan posisi partai-partai Islam dan partai-partai yang berbasikan massa Islam berbeda pandangan dalam prdebatan tentang pasal 29 UUD 1945. Partai-Partai Islam yang dimotori oleh Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan penambahan 7 kata dari Piagam Jakarta dalam pasal 29 ayat 1, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya. Pada sisi lain usulan ini tidak mendapatkan dukungan dari kedua partai yang berbasis massa Islam di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini dipahami karena kedua partai ini menklain dirinya sebagai partai terbuka dan inklusif. Sangat berbeda dengan posisi perdebatan dalam konstiante hasil pemilu tahun 1955, dimana seluruh partai Islam memperjuangan Islam sebagai dasar Negara, baik dari NU yang duduk dalam Konstituante maupun dari basis Muhammadiyah sebagai anggota luar biasa Masyumi. Perkembangan ini mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan dalam cara pandang para politisi Islam mengenai hubungan negara dengan agama (Islam).
Pada sisi lain, jika menyangkut politik praktis dalam hal penentuan dan pemilihan kepemimpinan, partai-partai Islam dan partai yang berbasiskan massa Islam dapat bersatu dan memiliki pandangan yang sama. Hal ini dapat dilihat pada saat terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid pada Sidang Umum MPR tahun 1999. Hal ini juga nampak pada proses politik dan berbagai pengambilan putusan mengenai penentuan pejabat public oleh DPR, hamper dapat dipastikan bahwa partai-partai tersebut dapat bersatu dan emiliki pandangan yang sama. Gejala ini menjukkan adanya sikap pragamtis para politisi Islam di parlemen dalam berpolitik.
Masa Depan Partai Politik Islam di Indonesia
Memperhatikan perbandingan perolehan suara partai Islam dalam pemilu 1955 yaitu 45,13 % dengan pemilu tahun 1999 yaitu 18,6 %, maka dapat disimpulkan bahwa perolehan kursi dan dukungan pemilih terhadap partai partai Islam dalam pemilu demokratis tahun 1999 sangat menurun yaitu kehilangan dukungan sebesar 26,53%. Demikian pula jika dibandingkan perolehan kursi partai-partai Islam dalam pemilu 1955 sebesar 45,13% dengan gabungan partai-partai Islam dan partai-partai yang berbasis massa Islam dalam pemilu tahun 1999 sebesar 37%, juga mengalami penurunan yang signifikan yaitu sekitar 8,13 %.
Kemana suara dukungan terhadap partai Islam yang hilang 8,3% tersebut? Diyakini bahwa sebagian suara untuk Islam itu masuk dalam Partai Golkar, Masih kuatnya pengaruh birokrasi yang memberikan dukungan pada Partai Golkar pada pemilu 1999 yang lalu, disamping banyak tokoh-tokoh dari keluarga Masyumi maupun NU yang masuk dalam Partai Golkar karena system politik yang dikembangkan oleh Orde Baru yang sangat kuat. Hal ini terlihat pada sikap moderat dari para politisi partai Golkar atas tuntutan dan pandangan yang diajukan oleh partai-partai Islam atau partai yang berbasis massa Islam.
Bukanlah hal yang mudah bagi partai-partai Islam untuk kembali menempati posisi seperti yang dihasilkan oleh pemilu tahun 1955. Banyak perubahan dan pergeseran yang terjadi akibat politik Orde Baru. Pemilu tahun 1999, masih terpengaruh oleh suasana kejatuhan Orde Baru dan masa transisi yang masih memberikan harapan kepada partai partai Islam untuk memperoleh suaru yang lebih baik pada pemilu-pemilu berikutnya. Bagaimanapun juga kemenangan besar PDIP pada pemilu 1999 yang lalu adalah karena kuatnya tekanan rezim Soeharto terhadap Megawati dan PDIP, sehingga mendapat simpati rakyat yang sangat kuat. Seperti dikatakan oleh Paide Johnson (Panduan Parlemen Indonesia 2001:144), PDIP adalah partai yang sangat personalistik. Megawati telah mewarisi pengikut ayahnya yang sangat kharismatis. Para pendukung partai mencintai Ibu Mega.
Pada sisi lain, kemenangan Partai Golkar sangat terkait dengan pengaruh birokrasi yang sangat kuat yang sebelumnya merupakan mesin pemenangan bagi Partai Golkar. Hal ini nampak pada kemenangan Golkar yang sangat besar pada daerah-daerah luar Jawa.
Peluang bagi partai-partai Islam adalah adanya pergeseran pilihan pemilih yang sebelumnya memilih PDIP dan Partai Golkar, serta dari para pemilih pemula. Hal itu hanya bisa dicapai dengan kemampuan konsolidasi internal dari partai-partai Islam agar dapat mengorganisir, memobilasi, merumuskan serta menyuarakan kepentingan-kepentingan ummat islam dengan lebih baik. Jargon-jargon politik aliran dan idiologi masih layak untuk disuarakan oleh partai-partai Islam disamping menawarkan program-program yang lebih baik dan menyentuh kepentingan rakyat secara luas.
Daftar Kepustkaan
1. Yusul Al-Qardhawy, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Terjemahan dar Judul Aslinya: As-Siyasah Asy-Syari’yah, oleh Kathur Suhadi, Pustaka Al Kautsar, Cet.I, Jakarta,1999.
2. Musda Mulia, Negara Islam – Pemikiran Politik Husain Haikal, Disertasi Doktor, Program Parca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1997.
3. Klingemann, Hans-Dieter at.al. Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Terjemahan dari Judul Asli : Parties, Policies, and Democracy, oleh Sigit Jatmika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
4. Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Cet.II, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2001.
5. Basalim, Umar, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta 2001.
6. Yayasan API, Panduan Parlemen Indonesia, Cet.I,2001.
7. Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991
8. Haryanto, Sistem Politik – Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar