Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Jumat, 20 Mei 2011

Perombakan Aturan Parpol yang "Superkilat"


Oleh Anita Yossihara
Mulus. Begitulah situasi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Cukup 10 hari, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah pun sudah mencapai kata sepakat. 
Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perombakan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik itu selesai disusun Badan Legislasi (Baleg) DPR pada 6 Oktober 2010.Mulus. Begitulah situasi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Cukup 10 hari, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah pun sudah mencapai kata sepakat. 
RUU Perombakan UU Parpol itu pun masuk rapat paripurna DPR dan disepakati menjadi RUU inisiatif DPR pada 12 Oktober. Namun, draf RUU Parpol itu baru dibahas satu bulan kemudian lantaran DPR memasuki masa reses.
Pembahasan tingkat pertama oleh DPR dan pemerintah mulai dilakukan pada 25 November. Diawali dengan pengagendaan pembahasan dan pembentukan panitia kerja (panja) yang beranggotakan wakil pemerintah dan anggota Komisi II DPR.
Awalnya masih ada beberapa perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR. Salah satunya soal jumlah pendiri parpol baru. Dalam draf revisi UU Parpol yang disusun Baleg DPR, diusulkan parpol didirikan dan dibentuk dengan akta notaris oleh 1.000 warga negara yang tersebar di 75 persen dari jumlah provinsi di negeri ini.
Sementara itu, pemerintah mengusulkan jumlah pendiri parpol itu paling sedikit 625 orang dari 75 persen jumlah provinsi di negeri ini atau 25 provinsi. Mengapa 625 orang? Sebab, di setiap provinsi diestimasikan ada perwakilan pendiri minimal 25 orang.
Klausul jumlah pendiri yang diatur dalam Pasal 2 draf revisi UU Parpol itu sempat diperdebatkan dalam rapat panja. Beberapa anggota panja dari Komisi II DPR mengusulkan agar jumlah pendiri hanya 50 orang, seperti diatur dalam UU 2/2008. Mereka berdalih, syarat pendirian parpol itu harus dipermudah.
Perbedaan pandangan itu sempat membuat rapat panja pada 1 Desember berlangsung alot. Komisi II DPR merasa perlu menggelar rapat internal untuk menyamakan pendapat. Setiap fraksi diminta untuk mengusulkan angka jumlah pendiri parpol yang akan dituangkan dalam Pasal 2 itu.
Perbedaan pandangan lainnya adalah terkait pengaturan kepemilikan rekening oleh parpol. Awalnya, Baleg DPR mengusulkan, parpol harus memiliki rekening atas nama parpol itu dengan dana simpanan minimal Rp 100 juta. Sementara itu, pemerintah mengusulkan dana simpanan itu sebesar Rp 1 miliar. Dalam pembahasan di tingkat panja juga muncul usulan untuk tidak memberlakukan aturan dana simpanan. Cukup memiliki rekening atas nama parpol itu. Baru sembilan hari pembahasan, pertentangan itu dapat diselesaikan. Dalam rapat pada tanggal 10 Desember panja DPR dan pemerintah sudah bisa mengambil keputusan.
Soal jumlah pendiri parpol, panja DPR dan pemerintah sepakat, parpol didirikan oleh paling sedikit 990 orang yang berasal dari 33 provinsi atau semua provinsi di negeri ini. Dalam Pasal 2 Ayat (1) draf revisi UU Parpol disebutkan, parpol dibentuk dan didirikan oleh paling sedikit 30 warga negara Indonesia dari seluruh provinsi yang ada. Namun, dalam ayat (1a) pasal yang sama diatur, hanya 50 orang yang mewakili pendiri masuk dalam akta notaris.
Soal kepemilikan dana dalam rekening parpol, mereka sepakat untuk menghapus usulan itu. Parpol cukup memiliki rekening atas namanya, seperti diatur dalam UU Parpol sebelumnya.
Bukan hanya itu, DPR dan pemerintah juga satu suara terkait syarat kepengurusan parpol. Dari awal pemerintah menyepakati usulan dari Baleg DPR. Pada saat awal, Baleg DPR mengusulkan parpol harus memiliki kepengurusan minimal di 75 persen provinsi, 50 persen kabupaten/kota di setiap provinsi, dan 50 persen kecamatan di setiap kabupaten/kota. Pemerintah pun menyepakatinya.
Namun, akhirnya kesepakatan yang diambil justru berbeda. Kedua belah pihak sepakat, parpol bisa menjadi badan hukum apabila memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota di setiapprovinsi, dan 50 persen kecamatan di setiap kabupaten/kota. Persentase kepengurusan ini lebih tinggi dibandingkan dengan aturan dalam UU sebelumnya, yang hanya mensyaratkan kepengurusan di 60 persen provinsi, 50 persen kabupaten/kota di setiap provinsi, dan 25 persen kecamatan di setiap kabupaten/kota.
Kesepakatan lain yang diambil adalah terkait kewajiban parpol baru dan parpol lama yang telah berbadan hukum untuk mengikuti verifikasi. Parpol wajib menyesuaikan syarat kependirian dan kepengurusan dengan aturan baru dalam revisi UU Parpol. Butir-butir kesepakatan itu diambil hanya dalam waktu 15 hari. Waktu yang sangat singkat jika dibandingkan dengan penyusunan draf revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang menghabiskan waktu hingga tujuh bulan.
Pembahasan tahap pertama antara panja DPR, yang diwakili Komisi II, dan pemerintah dimulai pada 25 November lalu, dan kesepakatan sudah bisa diambil pada 10 Desember. Tiga hari kemudian, draf revisi UU Parpol disepakati dalam rapat pleno Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Rencananya, RUU Perubahan atas UU Parpol ini akan masuk pembahasan tingkat II dan disahkan pada Rapat Paripurna Dewan pada Kamis atau Jumat ini. Rupanya, pemerintah dan DPR memiliki keinginan dan pandangan sama soal aturan parpol baru. Jika tidak, mungkin pembahasannya berlarut-larut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar