“Sistem mengubah orang”. Demi kianlah salah satu ungkapan lama. Bagaimana bila diterap kan dalam sistem pemilu? Peneliti Cetro, Refly Harun, meyakini sistem pemilu dapat mengubah anggota DPR. Bagaimana itu terjadi? Berikut wawancara Refly dengan wartawan Republika, Harun Husein, pekan lalu:
Kenapa Cetro menawarkan sistem MMP. Apakah karena sistem proporsional terbuka sudah gagal?
Sebenarnya sistem itu tidak bisa dibilang gagal. Tapi, complicated. Terlalu rumit, dan memunculkan banyak persoalan. Misalnya, yang tidak bisa diselesaikan walau berapa kali pemilu pun, adalah persaingan internal partai politik yang cenderung tidak sehat.
Mereka rela mencurangi temannya untuk mendapat -kan suara terbanyak. Dan, di sini kontrolnya hampir tidak ada. Karena, partaipartai lain tidak berkepentingan. Sebab, ini kan tidak mengubah perolehan kursi. Kalau pemilunya sudah curang, dia kan kehilangan integritas. Masak calon yang terpilih sebagian besar bukan orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Kompleksitas lain dari sistem ini, sulit menentukan mana wakil rakyat di daerah pemilihan.
Kita ini kan lucu sebenarnya. Kita menggunakan sistem proporsional di satu sisi, tapi ada dapil (daerah pemilihan). Se harusnya, sistem proporsional itu tidak ada dapil. Nasional saja (menjadi dapilnya). Kita kan negara besar. Makanya, negara-negara besar seperti Amerika dan India, umumnya menggunakan sistem distrik. Jarang dia menggunakan sistem proporsional. Tapi, kita menganggap sistem distrik tidak cocok untuk kita yang plural. Maka, kemudian, kita memerlukan sistem lain. Kita menganggap bahwa sistem yang lain itu adalah sistem campuran yang memadukan sistem mayoritas atau distrik dengan sistem proporsional. Sistem proporsionalnya untuk pemba -ngunan partai politik, sistem distriknya untuk akuntabilitas atau mende katkan wakil rakyat dengan konstituen.
Kenapa memilih MMP?
Tapi, kalau MMP ini diterapkan jauh lebih sederhana. Kedua, keterwakilannya lebih jelas.
Bagaimana MMP menciptakan akuntabilitas itu?
Yaa, kalau anggota DPR-nya tidak komitmen, susah juga. Tetapi, sebuah sistem kan paling tidak secara struktural dia mampu, katakanlah, membuat orang yang jelek menjadi baik. Atau, orang yang tadinya tidak ingin akuntabel, menjadi ingin akuntabel. Dengan sistem MMP, karena dapil menjadi kecil, maka dia (wakil rakyat) lebih mudah terlihat oleh konstituen. Apalagi, masing-masing dapil hanya diwakili oleh dua orang. Satu dari jalur dapil, dan satu dari jalur proporsionalnya.
Sehingga, mereka lebih mudah terlihat. Dan, by theory, mereka ingin terlihat punya kinerja baik di masya rakat, agar kemudian pada pemilu berikutnya, kalau dicalonkan, akan terpilih lagi. Ini termasuk mereka yang ditugaskan dari jalur proporsional. Karena, walaupun mereka mewakili dapil karena penugasan partai, tapi paling tidak mereka juga akan dipaksa menjadi lebih akun -tabel kepada masyarakat, agar kinerja mereka juga dipandang baik. Sehingga, kalau pada pemilu berikutnya mereka dicalonkan melalui jalur distrik, maka mereka sudah siap. Jadi, intinya sistem ini akan lebih menekan anggota DPR untuk lebih akuntabel.
Di negara-negara yang pernah menerapkan MMP terbukti akuntabilitasnya?
Kalau di negara-negara besar, bicara akuntabilitasnya kan banyak faktor. Sistem politik dan sosialnya sudah mapan, partipasi masyarakat, tingkat pendididikan, dan lain-lain. Saya kira banyak faktor. Mereka misalnya bisa melakukan petisi tidak percaya (kepada wakil rakyat). Di kita kan tidak begitu. Tetapi, dengan wakil rakyat yang lebih jelas, satu dapil hanya satu atau maksimal dua calon, barangkali akan menjadi triggerbagi masyarakat untuk lebih me -ngontrol dan mengkritisi wakil-wakil rak -yatnya. Sekarang kan kita bingung. Siapa yang mau kita kritisi kalau dia (wakil rakyat) tidak bekerja di dapil? Karena, dapil bisa diwakili 10 orang.
Apakah dapat dikatakan sistem inidapat memperbaiki kinerja DPR?
Anggota DPR punya fungsi kelembagaan, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Tetapi, ada fungsi personal, yaitu fungsi representasi. Nah, fungsi representasi itu tidak pernah terperhatikan selama ini. Karena, anggota DPR tidak merasa bahwa dia harus memperhatikan konstituennya secara langsung. Karena, keterpilihan mereka tidak ditentukan oleh konstituen. Walaupun terakhir-terakhir ini [calon terpilih] ditentukan suara terbanyak. Tapi, suara terbanyak itu kan banyak masalahnya.
Artinya kinerja personal yang buruk bisa berkurang?
Akan berkurang. Karena mereka akan terlihat. Karena, kalau kita kaitkan dengan fungsi representasi, anggota DPR kan tidak hanya menghasilkan UU. Kalau pembuatan UU tidak ada efek langsung kepada masyarakat secara instan. Lalu, fungsi pengawasan juga mungkin tidak terlalu ada direct effectnya. Tapi, untuk fungsi representasi, bisa ada direct effect-nya. Misalnya, kalau saya sebagai konstituen, dipersulit pengurusan KTP, pe -ngurusan ini-itu, atau saya dirampas tanahnya, kan saya bisa mengadu kepada wakil rakyat. Nah, ini yang kita tidak biasa, gitu lho.
Jalur menagih janji kampanye lebih jelas?
Lebih jelas, lebih jelas. Tidak hanya menagih janji, tapi juga kita mengadukan masalah-masalah kita yang terkait de -ngan pelayanan publik yang tidak benar, pungutan-pungutan liar, perbuatan menyimpang aparat kepolisian dan kejaksaan. Selama ini, baik masyarakat dan DPR menganggap itu bukan tugas mereka. Kan kacau. Padahal, sesungguhnya, kalau kita bicara wakil rakyat, dia mewakili kepentingan kita. Kalau ada perbuatan menyimpang aparat negara, kita bisa mengadukan masalah itu kepada wakil rakyat. Jadi, case by case itu bisa kita adukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar