Oleh Harun Husein
MMP memadukan kelebihan sistem proporsional dengan mayoritas.
“Memilih sis -tem pe milu merupakan keputusan kelembaga -an yang pa -ling pen ting untuk negara demokrasi mana pun. Suatu sistem pemilu dapat membantu merekayasa hasil-hasil tertentu…” Demikian salah satu penekanan da lam buku Standar-standar Inter -nasional Pemilihan Umum; Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hu -kum Pemilu, yang diterbitkan oleh International Institute for Democ ra -cy and Electoral Assistance (IDEA). Merekayasa hasil-hasil tertentu. Inilah pula yang diharapkan dari usulan perubahan sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem mixed member proportional (MMP).
Negara pengguna sistem MMP, umumnya memadukan dua sistem besar, yaitu proporsional dan mayoritas/ pluralitas. Umumnya varian proporsional daftar (list PR) dengan varian first past the post (FPTP). Sistem proporsional terbuka (open list) seperti yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 2004, masih termasuk dalam varian proporsional daftar.
Varian lainnya, sistem proporsional tertutup (closed list), dite -rap kan di Indonesia selama delapan kali pemilu, sejak 1955 hingga 1999. Tapi, untuk Indonesia, Cetro, meng usulkan yang dipadukan proporsional tertutup dengan FPTP. Proporsional tertutup dan FPTP merupakan varian yang paling sederhana dan paling mudah dipahami dalam sistem proporsional dan mayoritas/pluralitas.
Proporsional tertutup dan FPTP mempunyai kekurangan. Propor -sional tertutup me la hirkan oligarki. Hubungan wakil rakyat dengan rakyat juga jauh. Ke kurang an FPTP, antara lain mem buat banyak suara yang hangus.
Di nega ra penganut dua partai seperti Amerika, FPTP banyak meng hangus kan suara, apalagi di negara penganut multipartai seperti Indonesia! Lahirnya sistem pemilu campuran (mixed, hybrid), baik parallel mau -pun MMP, adalah ikhtiar mengambil sisi-sisi positif dari ke dua sistem ini, dengan saling menutupi kekurang -an nya. Yang dikejar dari PR list adalah derajat keterwakilan, sedangkan dari FPTP, akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya.
Kelebihan lainnya, lewat daftar tertutup, sistem ini tak hanya memungkinkan caleg populer yang terpilih, seperti artis, yang belum tentu memiliki kemampuan teknis. Partai bisa mengajukan caleg mumpuni —yang tak popular— lewat jalur daftar.
Lebih sederhana
Lantas, apakah MMP akan lebih sederhana bila diterapkan di Indo -nesia? Paling tidak, soal itu bisa dili -hat dari format suara suara (lihat gam bar di hlm 24-25). Jika peserta pemilunya 14, maka di surat hanya akan ada 14 tan da gambar partai dan 14 nama dan foto ca leg. Tentu jauh lebih simpel dibanding surat suara Pemilu 2004 dan 2009. Pada setiap surat suara itu, pe -milih kelak mencontreng dua: tanda gambar dan nama caleg.
Bila mencontreng tanda gambar, suara jatuh kepada caleg dalam daftar yang ditentukan partai. Bila men con treng nama/foto caleg, maka suaranya jatuh kepada caleg bersangkutan. Dari sisi cara pemilihan, ada sedikit kemiripan dengan sistem proporsional terbuka. Hanya saja, kare -na dalam proporsional terbuka, tanda gambar partai dan seluruh nama caleg harus dimasukkan ke surat suara, maka bentuknya menjadi sangat besar, sebesar lembaran koran. Kisaran nama calegnya 150-550 per daerah pemilihan.
Karena ada kemiripan itulah, Cet -ro yakin sistem ini tak akan asing ba -gi pemilih di Indonesia. Bahkan, akan lebih simple karena surat suara nya kemungkinan hanya sebesar kertas kuarto. Sesuatu yang berimplikasi pada pengurangan logistik pemilu, seperti kertas suara dan surat suara. “Kita sesungguhnya kita sudah memilih sistem campuran sejak 2004 hingga 2009. Hanya sistem (proporsional terbuka) rumit, sedangkan MMP jauh lebih sederhana. Kon -tinuitas itu penting,” kata peneliti Cetro, Refly Harun.
280 dapil
Cetro sendiri merancang distrik atau dapilnya diperkecil. Bila pada Pemilu 2009 lalu ada 77 dapil untuk pemilihan DPR, maka lewat MMP hanya akan ada 280 dapil. Dengan jumlah anggota DPR yang terpilih kelak, tetap 560. Sebanyak 280 anggota DPR di -nomi naskan lewat FPTP. Setiap partai mengusulkan satu calon untuk setiap dapil (single member district). Jika ada 14 partai, hanya ada 14 ca -lon yang bertarung di dapil tersebut. Pe menang di dapil adalah calon peraih suara terbanyak, be rapapun suaranya (asas pluralitas).
Sementara itu, lewat proporsional tertutupnya, setiap partai mengajukan calon sebanyak 50 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan dari seluruh dapil di provinsi tersebut. Jika di provinsi tersebut ada 20 kursi yang diperebutkan, setiap partai berhak mengajukan 10 calon. Sekadar catatan, umumnya ne -gara-negara penganut MMP seperti Jerman, seluruh suara sah ditarik ke tingkat nasional, kemudia dihitung persentasenya. Jika partai meraih suara 10 persen dan total kursi DPR 560, maka partai tersebut menda -patkan 56 kursi.
Selanjutnya, ke-56 kursi itu dis -tri busikan ke daerah pemilihan di mana calon-calon dari partai itu me -nang lewat FPTP. Jika hanya 30 kur -si yang dimenangkan calon partai itu lewat FPTP, maka 26 kursi lain nya dibagikan kepada calon-calon partai itu yang ada dalam daftar partai, secara urut kacang. Sementara untuk Indonesia, Cetro mengusulkan suaranya cukup dita ik keprovinsi.
Alhasil, misalnya di provinsi itu dialokasikan 20 kursi, maka jika sebuah partai meraih 20 persen suara, partai tersebut mendapatkan empat kursi. Selanjutnya, keempat kursi tersebut didistribusikan ke dapil di mana calon dari partai tersebut menang lewat FPTP. Jika hanya dua kursi yang dimenangkan calon partai itu lewat FPTP, maka dua kur si lainnya dibagikan kepada calon-calon partai itu yang ada dalam daftar partai.
Dua suara
Dalam sistem MMP, setiap pemilih mempunyai dua hak suara. Satu suara untuk partai, dan satu suara untuk calon. Pemilih bisa mencontreng Partai A dan caleg dari Partai A, bisa pula mencontreng Partai A dan caleg dari Partai B. Tapi, karena konstitusi menya -takan peserta pemilu adalah partai politik, maka peraih suara terbanyak di dapil, tak otomatis terpilih jika da lam penghitungan di provinsi, par tainya tak mendapatkan kursi atau tak lolos ambang batas parle -men (parliamentary threshold). Se -bab, suara diberikan kepada partai. Sehingga, bisa terjadi, caleg Par -tai A yang diajukan lewat FPTP tak ada yang menang di dapil, tapi partainya mendapatkan kursi. Maka, kursi tersebut diberikan kepada caleg di daftar partai. “Ini memang untuk memperkuat partai. Karena itu, saat kampanye, caleg jangan hanya berkampanye agar dia dipilih, tapi juga agar partainya dipilih. Sebab, percuma saja dia meraih suara terbanyak di dapil, kalau partainya tak dapat kursi,” kata Direktur Eksekutif Cetro, Hadar Nafis Gumay.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar