Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Jumat, 12 April 2013

AKSI KORUPSI DAN REAKSI KORUPSI DI ANTARA EGOISME DAN NORMA KEMANUSIAAN

Oleh: Amsal Ilindamon
       Setiap hari kita menyaksikan terhadap berbagai penyimpangan moral yang terjadi dikalangan pemerintahan, mulai dari pejabat pusat sampai ke pemerintahan desa, kasus korupsi seolah-olah sebagai gaya hidup yang menjadi membudaya, gaya hidup yang tidak beraturan, korupsi berjamaah, penegakan hukum yang tidak adil, hal ini menjadi contoh kehancuran moral dikalangan generasi muda kedepan. Dikalangan pejabat pemerintah, praktek korupsi masih merupakan persoalan yang sangat mengerikan di Indonesia, masyarakat umum pada akhirnya kehilangan keteladanan sehingga krisis moral semakin luas.
       Dalam arana berpolitik, kerap kali kita memperhatikan pola permainan halus yang ditampilkan oleh para pemain koruptor untuk mengambil uang negara. Hal ini terlihat dari perilaku para koruptor yang menampilkan aksinya untuk mengambil uang negara dengan triliunan rupiah, baik secara langsung maupun secara tak langsung dengan menggunakan perantara, maupun dengan menggunakan simbol-simbol kekuasaannya yang dimilikinya, hal ini menunjukkan Efek yang sangat memalukan, dramastis, demonstratif, diluar logika sehat serta tidak sesuai dengan etika moral dan nurani manusia. Seringkali memunculkan suatu kesimpulan bahwa korupsi kotor dan kejam.
    Politik korupsi seringkali muncul sebagai reaksi daripada keinginan individu dan kelompok. Politik korupsi juga sering muncul sebagai reaksi atas suatu keputusan final dalam rangka memutuskan program dan cita-cita politik, yang mana bukan merupakan reaksi atas suatu tindakan korupsi yang dialami para koruptor, yang mana hal ini umumnya dilakukan oleh penguasa terhadap yang dikuasai. Sikap egoism yang ditampilkan oleh para koruptor ini pada akhirnya kehilangan keteladanan sehingga krisis moral semakin meluas.
      Ada dua motivasi dasar yang mendorong dan merasang para koruptor melakukan tindak korupsi yaitu keuntungan dan kehormatan. Dimana para koruptor memiliki napsu dan keinginan yang kuat untuk meraih keuntungan dan kehormatan dalam setiap kesempatan. Bahakan semua cara akan dilakukan untuk memuaskan napsunya itu seolah-olah etika moralitasnya hancur.
       Menurut hemat saya timbulnya niat untuk korupsi ada tiga faktor, pertama kondisi manusia itu sendiri. Kondisi manusia ini lebih ditujukan pada kondisi sosial dan psikologis yang merupakan keinginan untuk melakukan tindak korupsi. Kondisi kedua itu muncul dari dalam diri manusia itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan mental manusia itu sendiri. Kondisi yang ketiga adalah kondisi politik yang tidak sehat itu, yakni mencakup keuntungan, penghargaan atau penghormatan, perlakukan yang tidak pantas. Hal ini ada kaitannya dengan perilaku manusia (para koruptor) dimana ruang politik terbuka dan disana dia mendapat kesempatan untuk melakukan aksi korupsinya. Seperti janji-janji politik untuk pemberantasan korupsi, namun hal ini tidak pernah direalisasikan justeru yang terjadi adalah sebaliknya, hal ini terjadi karena kekurangwaspadaan terhadap perubahan perilaku para calon pejabat oleh publik, sehingga perubahan-perubahan perilaku yang tak dapat dipahami juga muncul disana.
     Akibat daripada itu muncul perasaan sikap kecewa terhadap para pejabat publik dan terhadap suatu sistem pemerintahan yang korup, dan pada akhirnya muncul rasa ketidak adilan dalam masyarakat. Akibat dari tindakan korupsi itu memungkinkan ada aksi dan reaksi. Politik korupsi muncul karena adanya sistem politik yang tidak sehat dalam mengelolah pemerintahan. Dimana proses ini (aksi-reaksi) dapat terjadi baik dalam konteks benda mati maupun hidup (termasuk manusia). Perbedaannya manusia dalam proses ini, tergantung pada suatu pilihan/kehendak bebas untuk menggunakan hanya akal atau akal budi pekerti.
    Beragam aksi yang ditampilkan para koruptor misalnya sikap penoalkan terhadap dirinya sebagai tersangka, hal ini menunjukkan reaksi daripada si koruptor tersebut bahwa dirinya tidak bersalah, selain itu juga reaksi lain yang ditampilkan adalah ketika dinyatakan oleh para penegak hukum bahwa si oknum tersebut melakukan tindak korupsi, mala pura-pura sakit, melarikan diri ke luar negeri, kasihan karena ada anak dan istri dan banyak alasan yang dikemukakan oleh para koruptor.
   Dari paparan ini terdapat dua poin, yakni aksi korupsi dan reaksi korupsi, hal ini terjadi karena mental manusia. Manusia sebagai aktor dalam politik korupsi. dimana aksi korusi dan reaksi korupsi ini terjadi karena manusia memiliki kebebasan untuk memilih akan yang didukung sikap egoisme dan dibatasi oleh budi pekerti (nurani serta norma-norma kemanusiaan (moral).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar