Selasa, 26 Februari 2013 | 14:54:30
KASUS dugaan korupsi yang melibatkan banyak
pengurus Partai Demokrat (PD) sebelum mereka mundur dari jabatannya,
seperti mantan Bendahara Umum partai Demokrat Nazarudin, mantan wakil
Sekjen partai Demokrat Angelina Sondakh, mantan sekretaris Dewan Pembina
partai Demokrat Andi Mallarangeng, mantan anggota Dewan Pembina partai
Demokrat Hartati Murdaya Poo dan terakhir Ketua umum partai Demokrat
Anas Urbaningrum, sebetulnya, membuka peluang partai Demokrat untuk
dibubarkan.
Menurut peraturan perundang-undangan, partai politik (parpol) bisa
dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kewenangan MK itu sebagaimana
diatur pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Salah satu alasan parpol dapat dibubarkan oleh MK adalah apabila
kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau akibat yang
ditimbulkannya bertentangan dengan UUD 1945. Aturan itu merujuk Pasal 68
ayat (2) UU No.24/2003 tentang MK jo. Pasal 2 huruf b Peraturan MK
No.12/2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
Pada UU No.2/2008 tentang Partai politik sebagaimana diubah terakhir
dengan UU No.2/2011 pun diatur larangan itu.
Jadi, karena kegiatan korupsi di lingkungan partai Demokrat dilakukan
oleh para pengurus inti partai, maka hal itu bisa dikualifikasikan
sebagai kegiatan korupsi yang dilakukan oleh parpol secara kelembagaan.
Itu tidak bisa lagi disebut sebagai kegiatan korupsi oleh individu atau
oknum parpol.
Sejarah mencatat, sejumlah parpol pernah dibubarkan akibat ulah
pengurus dan anggotanya. Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia
(PSI), misalnya, dibubarkan karena pemimpin-pemimpinnya dianggap turut
serta dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Begitu pula dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang dibubarkan karena pengurus dan anggotanya
dituduh ingin merobohkan pemerintahan yang sah melalui jalan kekerasan.
Artinya, pembubaran parpol selalu terkait dengan kegiatan yang
dilakukan oleh para pengurus dan anggota parpol bersangkutan merong-rong
negara. Sehingga, ketika pengurus inti partai Demokrat terlibat dalam
sejumlah kasus korupsi, maka partai tersebut sesungguhnya layak
dibubarkan.
Namun, terdapat kendala untuk membubarkan partai Demokrat. Sebab,
menurut Pasal 68 ayat (1) UU MK, permohonan pembubaran parpol hanya bisa
diajukan oleh Pemerintah. Dialah menurut peraturan perundang-undangan
yang memiliki legal standing sebagai pemohon tunggal pembubaran parpol.
Pertanyaannya adalah, apakah sebagai kepala pemerintahan Susilo
Bambang Yudhotno (SBY) mau menjadi pemohon untuk membubarkan partainya
sendiri? Disitulah masalahnya.
Kalau saja hal itu bisa direalisasikan, saya yakin tidak akan ada
lagi pengurus dan anggota parpol yang berani melakukan korupsi. Mereka
akan berpikir sejuta kali sebelum melakukan kegiatan korupsi dan
betul-betul belajar dari kasus PD. Hal inilah yang pada gilirannya
diharapkan dapat memberikan pengaruh positif dan signifikan pada proses
perbaikan sistem kepartaian dan kualitas demokrasi kita.
Oleh karena itu, saya kira sudah saatnya Undang-undang Parpol dan UU
MK, khususnya yang mengatur tentang pembubaran parpol harus direvisi dan
dibuat lebih tegas lagi. Apabila pengurus parpol melakukan kegiatan
korupsi, terutama dari jajaran KSB (Ketua umum, Sekretaris jenderal, dan
Bendahara umum), anggota DPR/DPRD, Kepala Pemerintahan/ Kepala Daerah,
termasuk yang memegang jabatan publik lainnya melakukan korupsi, maka
parpol bersangkutan wajib dimajukan ke MK untuk dibubarkan.
Pemohon pembubaran parpol ke MK pun sebaiknya tidak tunggal
Pemerintah. Harus juga dibuka ruang bagi masyarakat untuk menjadi
Pemohon. Sebab, korupsi adalah extra ordinary crime yang dampaknya
paling besar dirasakan langsung oleh masyarakat.
PEMBUBARAN PARPOL KORUP PERCEPAT PENYEDERHANAAN PARTAI
Praktik korupsi yang dilakukan oleh kader partai politik kini sudah
pada taraf yang kronis. Jika sebelumnya hanya melibatkan anggota dan
pengurus yang posisinya dalam kepengurusan parpol tidak strategis,
tetapi kini dua Ketua Umum parpol malah sudah dijadikan tersangka kasus
korupsi oleh KPK.
Kondisi ini seolah menyempurnakan bukti gagalnya sistem rekrutmen dan
kaderisasi kepemimpinan diinternal parpol. Seleksi caleg yang di klaim
dilakukan secara ketat oleh parpol melalui serangkai tes lengkap dengan
penandatangan pakta integritas ternyata hanya omong kosong belaka.
Melihat trend korupsi oleh anggota dan pengurus parpol semakin
meningkat, maka sudah saatnya diatur mekanisme pengenaan sanksi yang
lebih tegas kepada partai politik yang anggota dan pengurusnya yang
terlibat kegiatan korupsi.
Selain dimaksudkan agar parpol mau benar-benar berubah dan menjauh
dari budaya koruptif, pengenaan sanksi juga bertujuan untuk
mengefektifkan konsep penyederhanaan partai politik dalam rangka
penguatan sistem Presidential.
Jadi, penyederhanaan partai politik ke depan bukan lagi menekankan
pada soal kemampuan parpol membentuk kepengurusan di banyak daerah dan
memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold), tetapi akan
ditentukan oleh seberapa bersih parpol dari praktik korupsi. Jika kader
melakukan korupsi, maka parpolnya harus dibubarkan.
Menurut saya ada 3 (tiga) tingkatan sanksi yang bisa diberikan kepada parpol dengan kategori ringan, sedang dan berat.
Apabila anggota parpol melakukan korupsi, maka parpol bersangkutan
dikenakan sanksi. Sanksi dimaksud bisa saja dibuat secara bertingkat.
Semakin tinggi jabatan dan posisi yang diemban oleh anggota, maka
sanksi yang diberikan semakin berat. Misal, dibuat 3 (tiga) tingkatan
sanksi yang kategorinya ringan, sedang dan berat.
Apabila korupsi dilakukan oleh anggota parpol yang menjabat sebagai kepala daerah, anggota DPRD, direksi dan komisaris BUMD, serta oleh pengurus yang menjabat sebagai Ketua, Sekretaris, dan Bendahara parpol tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, misalnya, maka dikenakan sanksi pembekuan kepengurusan parpol selama 5 tahun di daerah bersangkutan.
Apabila korupsi dilakukan oleh anggota parpol yang menjabat sebagai kepala daerah, anggota DPRD, direksi dan komisaris BUMD, serta oleh pengurus yang menjabat sebagai Ketua, Sekretaris, dan Bendahara parpol tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, misalnya, maka dikenakan sanksi pembekuan kepengurusan parpol selama 5 tahun di daerah bersangkutan.
Apabila korupsi dilakukan oleh anggota parpol yang menjabat sebagai
anggota DPR, anggota DPD, Menteri, direksi dan komisaris BUMN, serta
oleh pengurus parpol tingkat pusat, maka wajar jika dikenakan sanksi
larangan kepada parpol bersangkutan untuk menjadi peserta Pemilu
berikutnya.
Apabila korupsi dilakukan oleh anggota parpol yang menjabat sebagai
Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan MPR, Pimpinan DPR, Pimpinan DPD, dan
Ketua, Sekretaris dan Bendahara parpol tingkat pusat, maka dikenakan
sanksinya adalah yang terberat, yakni pembubaran parpol secara nasional.
Penulis adalah Said Salahudin Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar