Kuota caleg perempuan sudah sejak 2003 diatur, masih dimasalahkan
VIVAnews - Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 tinggal satu
tahun lagi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun telah membuka tahap
penyerahan Daftar Caleg Sementara (DCS) sejak 9 April 2013 kemarin.
Meskipun pemilu kian dekat, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto melihat setidaknya tiga kondisi yang ironis dari partai politik (parpol) peserta pemilu. Pertama, Didik mengkritik partai-partai yang membuka pengumuman dan pendaftaran caleg secara besar-besaran baik melalui televisi, Facebook, ataupun Twitter dengan dalih untuk kepentingan masa depan bangsa.
"Di satu sisi ada yang baik karena menunjukkan keterbukaan partai. Tapi saya justru melihat ini ironi karena partai tidak perlu mencari kader. Mestinya sudah siap, dan itu orang-orang terbaik mereka," kata Didik dalam sebuah diskusi di Gedung The Indonesian Institute, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis 11 April 2013.
Didik mengemukakan salah satu fungsi partai adalah melakukan kaderisasi, dan pendidikan politik. Dan untuk menjalankan tugas tersebut, negara pun memberikan bantuan keuangan kepada mereka. "Kenapa menjelang pemilu mereka kesulitan mencari kader? Apakah selama ini pengkaderan mereka omong kosong?"
Ironi yang kedua, lanjut Didik, adalah mengenai kinerja parpol di DPR baik tingkat kota/ kabupaten, provinsi maupun pusat yang sangat buruk tercermin dari banyaknya anggota yang tersangkut korupsi. Meskipun tersangkut masalah, seorang anggota DPR tetap dicalonkan lagi oleh partainya dalam pemilu mendatang.
"Semua partai, Golkar, Demokrat, PDIP mengambil kebijakan, semua anggota silakan mencalonkan kembali di daerah masing-masing," katanya.
Didik mengakui bahwa tidak semua anggota DPR terlibat korupsi, dan hanya sebagian yang menjadi terpidana, terdakwa dan tersangka. Namun, ujarnya, yang tersangkut banyak sekali. "Misalkan Banggar, siapa yang tidak curiga kepada anggota Banggar? Sudah jelas mereka tersangkut," tuturnya.
Ironi ketiga, jelas Didik, adalah soal aturan calon perempuan. Menurutnya, kebijakan keterwakilan perempuan sudah mengemuka sejak tahun 2003. Jika pemilu 2014 ini masih ada yang komplain, maka Didik mempertanyakan komitmen parpol meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
"Selama 11 tahun ngapain? Bukannya kita sudah punya komitmen sejak tahun 2003," katanya. (eh)
Meskipun pemilu kian dekat, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto melihat setidaknya tiga kondisi yang ironis dari partai politik (parpol) peserta pemilu. Pertama, Didik mengkritik partai-partai yang membuka pengumuman dan pendaftaran caleg secara besar-besaran baik melalui televisi, Facebook, ataupun Twitter dengan dalih untuk kepentingan masa depan bangsa.
"Di satu sisi ada yang baik karena menunjukkan keterbukaan partai. Tapi saya justru melihat ini ironi karena partai tidak perlu mencari kader. Mestinya sudah siap, dan itu orang-orang terbaik mereka," kata Didik dalam sebuah diskusi di Gedung The Indonesian Institute, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis 11 April 2013.
Didik mengemukakan salah satu fungsi partai adalah melakukan kaderisasi, dan pendidikan politik. Dan untuk menjalankan tugas tersebut, negara pun memberikan bantuan keuangan kepada mereka. "Kenapa menjelang pemilu mereka kesulitan mencari kader? Apakah selama ini pengkaderan mereka omong kosong?"
Ironi yang kedua, lanjut Didik, adalah mengenai kinerja parpol di DPR baik tingkat kota/ kabupaten, provinsi maupun pusat yang sangat buruk tercermin dari banyaknya anggota yang tersangkut korupsi. Meskipun tersangkut masalah, seorang anggota DPR tetap dicalonkan lagi oleh partainya dalam pemilu mendatang.
"Semua partai, Golkar, Demokrat, PDIP mengambil kebijakan, semua anggota silakan mencalonkan kembali di daerah masing-masing," katanya.
Didik mengakui bahwa tidak semua anggota DPR terlibat korupsi, dan hanya sebagian yang menjadi terpidana, terdakwa dan tersangka. Namun, ujarnya, yang tersangkut banyak sekali. "Misalkan Banggar, siapa yang tidak curiga kepada anggota Banggar? Sudah jelas mereka tersangkut," tuturnya.
Ironi ketiga, jelas Didik, adalah soal aturan calon perempuan. Menurutnya, kebijakan keterwakilan perempuan sudah mengemuka sejak tahun 2003. Jika pemilu 2014 ini masih ada yang komplain, maka Didik mempertanyakan komitmen parpol meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.
"Selama 11 tahun ngapain? Bukannya kita sudah punya komitmen sejak tahun 2003," katanya. (eh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar