BAGI kebanyakan orang, hidup hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dasar. Adapun yang disebut dasar itu adalah kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta kebutuhan pendidikan dan kesehatan diri dan anggota keluarga. Karena itu, orang bekerja mati-matian memenuhi kebutuhan yang disebut di atas. Setelah kebutuhan dasar tersebut terpenuhi, biasanya orang tidak puas hanya sampai di situ. Secara naluriah, muncullah kebutuhan-kebutuhan lain seperti bersenang-senang dan bergaya. Karena itu, orang pun lantas menebus kebutuhan untuk berlibur, meninjau tempat-tempat yang menyenangkan, dan juga memakai barang-barang yang tidak lagi berdasarkan fungsinya, tapi sudah bergeser menjadi berdasarkan estetik dan gengsinya.
Demikianlah orang membeli baju yang mewah, rumah yang besar dan mewah dan juga kendaraan yang serba mewah. Itulah sifat asli kebanyakan manusia. Walhasil manusiapun larut memperturutkan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya.
Pada titik itu, manusia jatuh menjadi subjek seperti yang disinggung oleh Allah: al-hâkumu al-takâtsur. (1). Hattâ zurtumu al-maqâbir (2) (Bermegah-megahan (dalam hal jumlah anak, harta, pengikut dan kemuliaan dunia) telah melalaikan kamu. Hingga kamu masuk ke dalam kubur.) Ya, memang pada akhirnya manusia kebanyakan hanya sibuk mengumpulkan harta yang pada awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi lama kelamaan bergeser mengumpulkan harta untuk penumpukan harta itu sendiri hingga manusia larut dan lupa diri.
Lupa diri dalam menumpuk harta itu hanya akan berhenti manakala manusia telah masuk ke liang kubur. Tatkala sudah berada di liang kubur, harta yang menumpuk tak ada artinya lagi bagi dirinya yang tengah menghadapi persoalan hukum dengan Tuhan. Saat seperti itu, penyesalan sudah sangat terlambat. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disinyalir Tuhan pada surah Al-Takâtsur di atas.
Tentulah agar kita terhindar dari kecaman Tuhan tersebut, sebaiknya kita mesti memiliki sikap yang jelas terhadap harta.
Pertama, kita harus menyadari bahwa harta adalah milik Allah. Karena itu, tidak tepat menganggap harta yang kita peroleh meskipun dengan mengerahkan segenap pikiran dan keringat kita adalah milik kita pribadi.
Anggapan semacam inilah yang menjadi pangkal timbulnya kerusakan sosial di tengah-tengah masyarakat. Anggapan semacam ini pulalah yang menimbulkan aktivitas penumpukan harta dan keengganan untuk membagi kepada sesama yang kemudian pada akhirnya menimbulkan keirian dan kedengkian di pihak lain dan keangkuhan di pihak yang punya harta.
Sayangnya, paham liberalisme dan individualisme yang berkembang kuat di zaman ini mengafirmasi sikap keliru terhadap harta tersebut. Karena itu jangan heran, bila kerusakan sosial begitu parah terjadi di dalam masyarakat.
Kedua, karena harta tidak untuk ditumpuk, maka hendaknya dibelanjakan kepada yang dianjurkan oleh Tuhan supaya harta dapat beredar dan menimbulkan kesejahteraan bersama. Inilah rahasia larangan Tuhan untuk menumpuk harta dan anjuran-Nya yang kuat agar harta diinfakkan (disalurkan atau dibelanjakan) kepada objek-objek yang tepat.
Adalah tidak tepat apabila kita membelanjakan harta terhadap hal-hal yang diharamkan-Nya. Sebab hal itu sama dengan penghianatan terhadap Allah si Pemilik Harta sesungguhnya.
Jika saja kedua sikap di atas benar-benar diamalkan minimal oleh orang Muslim saja—tidak harus seluruh manusia—, sudah barang tentu kerusakan sosial dapat diminimalisir dan jangkauan kesejahteraan dapat diperluas di tengah-tengah masyarakat.*
Lupa diri dalam menumpuk harta itu hanya akan berhenti manakala manusia telah masuk ke liang kubur. Tatkala sudah berada di liang kubur, harta yang menumpuk tak ada artinya lagi bagi dirinya yang tengah menghadapi persoalan hukum dengan Tuhan. Saat seperti itu, penyesalan sudah sangat terlambat. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang disinyalir Tuhan pada surah Al-Takâtsur di atas.
Tentulah agar kita terhindar dari kecaman Tuhan tersebut, sebaiknya kita mesti memiliki sikap yang jelas terhadap harta.
Pertama, kita harus menyadari bahwa harta adalah milik Allah. Karena itu, tidak tepat menganggap harta yang kita peroleh meskipun dengan mengerahkan segenap pikiran dan keringat kita adalah milik kita pribadi.
Anggapan semacam inilah yang menjadi pangkal timbulnya kerusakan sosial di tengah-tengah masyarakat. Anggapan semacam ini pulalah yang menimbulkan aktivitas penumpukan harta dan keengganan untuk membagi kepada sesama yang kemudian pada akhirnya menimbulkan keirian dan kedengkian di pihak lain dan keangkuhan di pihak yang punya harta.
Sayangnya, paham liberalisme dan individualisme yang berkembang kuat di zaman ini mengafirmasi sikap keliru terhadap harta tersebut. Karena itu jangan heran, bila kerusakan sosial begitu parah terjadi di dalam masyarakat.
Kedua, karena harta tidak untuk ditumpuk, maka hendaknya dibelanjakan kepada yang dianjurkan oleh Tuhan supaya harta dapat beredar dan menimbulkan kesejahteraan bersama. Inilah rahasia larangan Tuhan untuk menumpuk harta dan anjuran-Nya yang kuat agar harta diinfakkan (disalurkan atau dibelanjakan) kepada objek-objek yang tepat.
Adalah tidak tepat apabila kita membelanjakan harta terhadap hal-hal yang diharamkan-Nya. Sebab hal itu sama dengan penghianatan terhadap Allah si Pemilik Harta sesungguhnya.
Jika saja kedua sikap di atas benar-benar diamalkan minimal oleh orang Muslim saja—tidak harus seluruh manusia—, sudah barang tentu kerusakan sosial dapat diminimalisir dan jangkauan kesejahteraan dapat diperluas di tengah-tengah masyarakat.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar