Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 27 September 2011

Akar dan Buah Sinisme Publik



“Fenomena ‘kreatifitas’ satir dan kritik di ruang publik terjadi karena saat ini bangsa Indonesia sedang berada di era tiga C, yakni Consumerism, Celebritisasi, orang suka narsis, merasa paling benar sendiri, dan ingin menjadi tokoh, serta Cynisme: Orang melarikan diri dari kenyataan yang ada dengan bersinisme,” Effendi Gazali.

Survei memang diklaim sebagai cara tercepat di tengah semakin padatnya ruang napas di bumi ini. Semakin banyak manusia memang menyulitkan demokrasi untuk diterapkan seperti zaman Aristoteles dulu. Pada akhirnya, survei dipilih sebagai alternatif akademis untuk mengatasi banyaknya biaya yang dibutuhkan untuk meminta pendapat publik luas.

Baru-baru ini, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) periode 5-10 September 2011 merilis hasil survei mereka yang menyatakan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja kabinet yang dipimpin SBY-Boediono selama dua tahun terakhir melorot drastis. Tingkat kepuasan hanya mencapai 37,7% atau melorot sekira 15% dalam dua tahun terakhir.

Wajar, mengingat kasus korupsi yang menggurita di kedua kementerian, Kemenakertrans serta Kemenpora, menjadi buah bibir khalayak ramai. Seperti biasanya kedua kasus itu juga menyeret banyak orang, serta petinggi-petingginya. Kini Muhaimin Iskandar yang tersandung. Seperti biasa pula, Presiden SBY pandai sekali menjaga citra, rupanya selain kuliah di IPB dan lulus memuaskan sebagai doktor di bidang pertanian, beliau ini kuliah di jurusan komunikasi politik, mungkin saja kita tak tahu, atau memang kemampuan itu merupakan bakat semata. Meskipun salah langkah, serta sering mendapat cibiran, toh ‘ilmu’ komunikasi politik itu selalu dipakai. Makanya, sekarang untuk menjaga citra inilah, ancaman reshuffle dikeluarkan oleh beliau terhadap menteri-menterinya yang wanprestasi.

Alhasil, pergulatan politik kembali seru. Sidik-menyidik oleh KPK kembali terganjal seperti biasanya. Buru-buru KPK kembali dituding dilemahkan, istilahnya corruptor fight back. Koruptor kembali menyerang. Lalu siapa koruptornya? Kok serangannya sudah tahu. Hebat bukan buatan kalau begitu. Entah pakai senjata apa sehingga orang menyerang, tapi tak diketahui serangan itu dilancarkan dari mana dan oleh siapa. Namun yang jelas, kisruh ini membuat rasa keadilan semakin memudar. Masyarakat semakin apatis terhadap proses hukum yang sedang terjadi, apabila proses itu melibatkan petinggi-petinggi di negeri ini. Saya juga akan berpikir pasti ujung-ujungnya tak tuntas, seperti yang sudah-sudah.

Tiga C

Saya masih teringat sebuah artikel yang mengutip pendapat pakar komunikasi politik dari Univeritas Indonesia, Effendi Ghazali. Dia mengatakan bahwa masyarakat kita ini mengalami tiga penyakit akut, yakni pertama Consumerism, yang berarti masyarakat cenderung konsumtif. Kita bisa tahu, di satu sisi data menunjukkan bahwa Indonesia punya rakyat miskin sebanyak 30,2 juta atau sekira 12 persen dari total jumlah penduduk. Namun ‘konsumsi’ Facebook kita terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Indonesia punya pengguna Blackberry tiga juta orang, meski Research In Motion (RIM) lebih memilih Malaysia untuk membuat server, padahal negeri jiran ini hanya punya 400 ribuan pengguna.

Gambaran di atas baru dari sisi gaya hidup di bidang teknologi informasi. Sekarang mari menebak, kenapa pasar modern, meski saya tak suka menyebutnya seperti itu, menjamur hingga setiap desa di pulau Jawa hampir ada. Jumlah yang baru tercatat untuk mini-market ini mencapai 6.552 kios. Jawabannya karena kebutuhan masyarakat kita terhadap barang-barang ‘sekunder’ sangat tinggi.

Huruf C yang kedua merujuk pada kata Celebrity. Menurut Doktor lulusan Amerika itu, selebritisasi juga melanda masyarakat kita. Dianggap perilaku negatif karena perilaku ini seringkali menunjukkan sikap ingin menjadi tokoh yang berimbas pada suka menang sendiri, dan paling merasa benar.

Terakhir yang ingin kita bahas adalah ketiga: Cynism. Sikap sinisme diartikan sebagai bentuk sikap yang melayangkan kritik atas semua fenomena, terutama politik, yang terjadi. Orang melarikan diri dengan bersikap sinis. Kritik, sindiran, antipati, merupakan bentuk sikap sinis. Kalau contoh yang lebih kongkrit, bisa ditemukan beragam bentuk karikatur, foto yang diedit, maupun kalimat-kalimat ‘nakal’ yang menyindir dan mengekspresikan peristiwa yang terjadi di ruang publik sekarang. Hanya itu? Disini negatifnya.

Sinisme lahir dari peristiwa panjang yang terjadi secara berulang-ulang. Ringkasnya ini merupakan bentuk kepasrahan publik, ketidakmampuan masyarakat, ketakberdayaan rakyat atas hegemoni kekuasaan yang sekarang berlaku, atas apapun. Ruang peradilan yang menyayat kaum kecil, namun tumpul untuk mereka yang punya kuasa dan harta, terjadi berulang-ulang. Sehingga atas kejadian yang sekarang ramai, sikap publik hanya menggeleng kepala, mencibir, berdoa, mengumpat, serta berbuat sesuatu dalam bentuk yang disebutkan diatas terhadap pelakunya dan semua yang terlibat.
Sikap sinisme ini didukung dengan semakin canggihnya tekhnologi informasi, semisal facebook, twitter, maupun blog. Status, kicauan, maupun posting yang mencibir, mengkritik, serta mencela lewat tulisan dan gambar semakin marak. Juga semakin ramai gerakan di dunia maya yang menggalang dukungan untuk revolusi, gerakan anti-pemerintah, dan sebagainya. Sayang semuanya nihil. Artinya, sebagian besar hanya berupa curahan hati, yang semakin menjelaskan people powerless itu. Apalagi kita bisa berlindung dibalik kecanggihan teknologi dengan membuat identitas palsu untuk membuat ‘gerakan’ itu!

Hanya saja Indonesia tak butuh itu. Indonesia butuh gerakan yang kongkrit, sekecil apapun. Bukan seorang warga negara yang setelah melakukan sinisme lalu lari dari masalahnya. Bukan hanya rakyat yang hilang resahnya setelah berkicau di twitter, atau menulis status di akun Facebook-nya, lantas kembali beraktivitas seolah tak terjadi apa-apa. Parahnya, lambat laun, banyak yang melegalkan perilaku yang sempat dikritiknya.

Terlepas dari efektifitas ‘gerakan’ sinis itu, baik lewat dunia maya maupun dunia nyata, sinis tetaplah sinis. Ia akan menjauhkan masalah yang terjadi dengan kita. Pada akhirnya, secara nyata gerakan kongkrit untuk merubah Indonesia yang lebih baik semakin menjauh. Ironisnya, justru gerakan ‘sinis’ ini semakin berkembang. Kalau begini, ancaman bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat semakin nyata. Setelah ‘partai’ golput menang di Pemilu terakhir, sepertinya kenyataan ini akan bertahan di Pemilu selanjutnya. Pekerjaan besar untuk institusi demokrasi, yakni partai politik, birokrat serta institusi pencetak pemimpin bangsa, agar menjaga kadernya untuk tidak merusak bangsa dengan menjadi koruptor.

Duljani, pegiat sosial, tinggal di Indramayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar