Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Kamis, 29 September 2011

Kegiatan DPP PBB : Islam Miliki Persamaan dan Perbedaaan dengan Demokrasi

akarta (SI ONLINE) - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Nazaruddin Syamsuddin berpendapat, Islam selalu identik dengan demokrasi. Sedangkan mantan Presiden AS Jimmy Carter pernah menyatakan Islam tidak bertentangan dengan demokrasi.

Menurut Nazaruddin Syamsuddin, demokrasi tidak mampu tumbuh di Indonesia ketika rezim Orde Baru berkuasa disebabkan selama 30 tahun Indonesia dikuasai faham Abangan yang dikenal feodal dan anti demokrasi. Padahal sebelumnya ketika Partai Masyumi berkuasa dan dilaksanakan pemilu 1955 yang dikenal sangat demokratis, menunjukkan partai Islam mampu melaksanakan demokrasi dengan baik.   

Namun pendapat Nazaruddin maupun Jimmy Carter tersebut dibantah Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al Khathath. Hal itu disampaikannya ketika menjadi pembicara bersama Nazaruddin Syamsuddin dan pakar politik dari AS, M Steven Fish di Kantor Pusat DPP PBB, Pasar Minggu, Jaksel (Sabtu (24/9). Seminar dibuka Ketua Umum DPP PBB, HMS Ka’ban.

Menurut Al Khathath, Islam dan demokrasi memang memiliki persamaan tetapi ada juga perbedaannya. Persamaannya pada metode untuk mencapai siapa yang berkuasa, dimana dalam Islam melalui pilihan rakyat, perwakilan atau dipilih oleh syekh Islam; sedangkan dalam demokrasi melalui pemilu.

“Dalam Islam, kekuasaan ditangan rakyat sehingga pemerintah hanya mewakili rakyat saja. Dalam Islam kekayaan alam menjadi milik rakyat, bukan milik pemerintah, sehingga tidak bisa seenaknya dijual ke asing ,” ungkap Sekjen FUI tersebut.

Sedangkan perbedaannya, kata Al Khathath, dalam soal kedaulatan untuk membuat hukum. Dalam demokrasi, kedaulatan ada ditangan rakyat sehingga hukum dibuat oleh wakil rakyat. Sehingga baik buruk halal haram ada di tangan rakyat. Sedangkan dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah, sehingga rakyat dan pemerintah harus tunduk dan taat pada hukum Allah.

Muhammad Al Khathath mencontohkan kasus perzinahan Cut Tari dengan Ariel Peterpan. Karena Indonesia menggunakan hukum KUHP, meski Cut Tari sudah mengakui perbuatannya, tetapi karena adanya kerelaan dan tidak ada pengaduan dari suaminya, maka tidak terkena sangsi pidana. Padahal dalam hukum Islam, kalau sudah ada pengakuan atau ada 4 saksi laki-laki yang melihatnya, maka sudah terkena hukuman rajam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar