Kebijakan masa persiapan (asumsi 5 tahun) daerah otonom baru, akan mengurungkan niat segelintir elit untuk memekarkan daerah.
Sejatinya pemekaran daerah berdampak positif bagi : (1) Demokratisasi; (2) Tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru; (3) Pendekatan pelayanan kepada masyarakat; (4) Kemudahan membangun dan memelihara sarana dan prasarana; (5) Tumbuhnya lapangan kerja baru dan (6) Adanya motivasi pengembangan inovasi dan kreatifitas daerah. Tujuan pemekaran adalah sangat mulia, namun menurut sebagian pihak bahwa pemekaran daerah menimbulkan dampak negatif antara lain (1) Pemekaran daerah hanya untuk kepentingan segelintir “elit” atau kelompok masyarakat yang menginginkan jabatan tertentu, misalnya kepala daerah/wakil gubernur, bupati/walikota, DPRD, kepala dinas, 2). Munculnya Primordialisme putra daerah; (3) Biaya birokrasi yang meningkat tajam; (4) Beberapa hasil pemekaran daerah tidak berdampak positif terhadap pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat ; dan (5) Pemekaran daerah dapat berpotensi mematikan daerah induk di beberapa tempat. Sejak reformasi pemerintahan daerah diluncurkan pada tahun 1999, telah terbentuk 205 DOB yaitu; 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Jumlah daerah otonom saat ini adalah 524 yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. Persyaratan pembentukan daerah telah diatur dalam PP No.129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah selanjutnya diganti dengan PP 78 Tahun 2007 tentang hal yang sama. Persyaratan yang diatur dalam kedua PP ini dengan cukup ketat, namun dalam satu dasawarsa terakhir usulan pemekaran ccenderung tidak tekendali.
Ketika usulan daerah otonom disetujui menjadi undang-undang, seketika itu juga daerah otonom baru melaksanakan urusan pemerintahan daerah yang didesentralisasikan secara penuh, tanpa dilakukan masa persiapan terlebih dahulu. Tidak peduli apakah tersedia sumber daya manusia yang memadai dalam melaksanakan 31 bidang urusan pemerintahan. Misalnya suatu DOB tidak memiliki sumber daya manusia di bidang kehutanan atau pertambangan, namun DOB wajib melaksanakan urusan pertambangan termasuk pemberian ijin di bidang pertambangan dan kehutanan. Bisa dibayangkan dampak negatif dari kebijakan ini terhadap kerusakan lingkungan hidup. Hal yang sama juga terjadi dengan urusan pemerintahan lainnya.
Terdapat 20 RUU pembentukan DOB; (7 provinsi, 12 kabupaten dan 1 kota) yang sudah diajukan, namun belum sempat diselesaikan oleh DPR pada masa lalu. Untuk mengontrol laju pemekaran daerah, Presiden mengeluarkan kebijakan moratorium (penundaan). Sayangnya laju usulan pemekaran daerah seakan-akan bagaikan “air bah” yang tidak terbendung. Saat ini terdapat 13 (tiga belas) usulan yang diajukan melalui DPR RI dan yang diusulkan melalui Kemendagri berjumlah 148 buah; yang terdiri dari 29 provinsi, 108 kabupaten dan 11 kota. Keseluruhan usulan pembentukan DOB saat ini berjumlah 181 daerah. Ada dua pintu pengajuan usulan pembentukan DOB yaitu melalui usul inisiatif DPR RI dan Pemerintah.
Di satu sisi DPR yang mewakili daerah pemilihannya, berkewajiban menyampaikan aspirasi konstituennya terkait dengan usul pemekaran daerah sekaligus memperjuangkannya. Di sisi lain pemerintah harus konsisten dalam melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan terkait dengan persyaratan pemekaran sebagai “filter” sekaligus mengamankan kemampuan keuangan negara untuk membiayai DOB. Kedua lembaga ini memiliki wewenang yang dijamin oleh UU. Semua pihak memiliki argumentasi dan meng-claim pendapatnya benar terkait dengan pemekaran daerah. Misalnya berdasarkan UU, DPR memiliki hak inisiatif dalam mengajukan undang-undang pemekaran daerah, sementara persyaratan pemekaran daerah masih diatur oleh PP. Secara hirarki PP berada dibawah UU. Untuk menghindari friksi antar kedua lembaga tersebut perlu dicarikan “win-win solution” untuk kedua kepentingan tersebut.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua lembaga tersebut yaitu; pertama, harus mendapat persetujuan dari DPRD provinsi induk untuk usul pemekaran provinsi dan DPRD kabupaten/kota induk untuk usul pemekaran daerah kabupaten/kota. kedua, memenuhi syarat teknis mencakup geografi, demografi dan kesisteman. Yang dimaksud dengan kesisteman adalah kemampuan keuangan, sistem pertahanan dan keamanan, sumber daya alam dan manusia. ketiga, memenuhi cakupan wilayah serta batas wilayah yang tegas. keempat, memiliki sarana dan prasana dasar untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan baru. Kelima, posisi calon ibukota harus strategis dan telah disepakati.
Apabila usulan calon daerah otonom memenuhi persyaratan, maka ditetapkan menjadi calon daerah otonom dan diberi masa persiapan (misal lima tahun). Calon daerah otonom akan dipimpin oleh penjabat sementara gubernur/bupati/walikota yang berasal dari PNS dan tidak memiliki DPRD. Pada masa persiapan ini calon daerah otonom diberi kesempatan untuk membenahi kelembagaan, sarana dan prasarana perkantoran/fisik lainnya, ketersediaan sumberdaya manusia, potensi perekonomian dan kemampuan fiskal. Setelah lima tahun akan dilakukan evaluasi untuk menilai kelayakannya. Apabila daerah otonom dipandang layak, maka akan ditetapkan menjadi daerah otonom defenitif dan apabila tidak, akan dikembalikan ke daerah induk.
Dengan adanya masa persiapan lima tahun, maka kepentingan segelintir elit yang ingin jabatan tertentu, kemungkinan besar secara otomatis akan diurungkan, karena tidak ada jaminan menjadi daerah otonom defenitif. Proses pembentukan daerah otonom memerlukan dana besar, biasanya didanai oleh elit tertentu yang memiliki kepentingan pribadi. Dengan kondisi seperti ini dapat dipastikan, hanya daerah potensial dan serius yang akan berjuang, meskipun memerlukan dana besar, tentu saja tanpa interes pribadi.
Untuk mengikat semua pihak baik DPR maupun Pemerintah persyaratan dan masa persiapan diatur dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Sistem Pemerintahan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar