Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 28 September 2011

Sambutan Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang Pada Seminar Nasional " Islam Demokrasi dan Restorasi Kebangsaan "

24-25 September 2011 :
Seminar Nasional :
1. Islam-Demokrasi dan Resorasi Bangsa
2. Partai Islam Dalam Sistem General Election
Assalamu'alaikum, wr, wb
Apresiasi kami kepada Prof. M Steven Fish Profesor Ilmu Politik dari Universitas California-Berkeley dan Penulis Are Muslim Distinctive? A Look at the Evidence ( Oxford University Press, 2011 ). Yang berkenan memenuhi undangan kami dan kini telah berada ditengah-tengah kita dalam seminar dan workshop yang mengangkat tema : Islam - Demokrasi dan Restorasi Bangsa.

Secara khusus Partai Bulan Bintang sebagai partai Islam yang komit berjuang secara konstitusional dalam sistem demokrasi Indonesia, dan juga keinginan itu sama ada pada mayoritas ummat Islam di negeri ini. Merasa perlu banyak mendengar dan belajar dari apa yang ditemukan dari hasil studi dan research Prof. M. Steven Fish- tentang dinamika praktik demokrasi dibanyak bangsa-bangsa muslim di dunia.

Ketika Prof. Steven mengurai krisis yang melanda negara-negara muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah, beliau menulis tentang " Paradok Praktik Demokrasi di Negara Muslim", antara lain beliau mengatakan :

" Sungguh dramatis! Kejatuhan pemimpin tangan besi yang berkuasa sangat lama, Zine al- Abidine Ben Ali, malah memicu kecemasan dibandingkan antusiasme para pemimpin dunia.

Diseluruh dunia, banyak pemimpin menganggap Ben Ali sebagai benteng utama melawan kaum Islam ekstrem. Ben Ali seperti halnya para otokrat di negara-negara Muslim, merasa bangga dalam menggulirkan klaim bahwa kaum fanatik agama hanyalah alternatif bagi pemerintahan dirinya atau rakyatnya.

Apabila kaum fanatik ini dipercaya untuk mengontrol negara, mereka hanya akan mengganggu pekerjaan yang selama ini sudah tertata, yakni administrasi sekuler.

Klaim dari para otokrat dan kelemahan dari dukungan Barat terhadap proses demokrasi di negeri Muslim berbasis pada sepasang asumsi. Pertama bahwa kaum Muslim cenderung untuk menyatukan otoritas agama dengan politik.

Berangkat dari logika tersebut, apabila kalangan Muslim ( baca konservatif ) mendapatkan ruang untuk mengontrol takdir politik mereka melalui kotak suara, mayoritas suara akan mendukung para kandidat yang menolak pluralisme. Selanjutnya, mereka akan mengajukan berbagai bentuk aturan eksklusif yang berdasarkan atas kebenaran absolut agama mereka.
Asumsi kedua adalah kaum Muslim cenderung pada politik kekerasan massa. Oleh karena itu, tangan besi dibutuhkan untuk menjaga agar tidak terjadi kerusuhan berdarah.

Peserta Seminar dan Workshop yang kami banggakan !

Asumsi- asumsi diatas menciptakan ekspektasi tentang " Paradoks demokrasi", yaitu ketika demokrasi justru akan menghancurkan  fondasi dasar demokrasi. Rakyat yang menggunakan kebebasannya bisa menjadi sumber untuk menghancurkan kebebasan politik dan perdamaian sipil.

Jika kaum Muslim cenderung menyatukan antara negara dan otoritas politik serta secara khusus tertarik untuk terlibat dalam politik kekerasan berskala besar, tentu saja kita akan memprediksikan bahwa mereka akan memilih memperjuangkan surga diatas bumi dan membangkitkan neraka dijalan-jalan. kita memiliki alasan yang kuat untuk menerka bahaya paradoks demokrasi yang parah, terutama dikalangan masyarakat Muslim.

Namun, apakah pemikiran seperti ini dilandasi oleh fakta yang kuat? Saya akan menguraikan studi statistik mutakhir yang menunjukkan keraguan terhadap asumsi yang mendukung paradoks demokrasi ini.

Untuk menjelaskan apakah masyarakat Muslim mendukung gagasan kesatuan antara agama dan otoritas politisi, saya melakukan analisis berdasarkan indikator dari World Values Survey yang memiliki sumber data dunia paling komprehensif terkait perilaku masyarakat.

Beberapa pertanyaan memperlihatkan opini tentang hubungan anatara agama dan politik. saya menggunakan data indipidu-level dari 72 negara dengan menggunakan sampel 90,000 orang. lebih kurang 20.000 responden adalah muslim, sementara 49.000 lainya kristen.

Negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim diseluruh dunia, termasuk indonesia, pakistan, banglades, mesir, turki, dan iran, seperti halnya negara-negara dengan penduduk mayoritas keristen, termasuk Amerika serikat, brasil, rusia, meksiko, pilipina, aprika selatan, dan negara besar erofa lainya, terhimpun dalam studi ini.

Satu pernyataan didalamnya adalah apakah para responden sepakat dengan pernyataan bahwa "Para pemimpin agama harus tidak memengaruhi bagaimana rakyat memilih" ?. Hasilnya 66% responden muslim berbanding 71% responden kristen setuju dengan pernyataan diatas. Pertanyaan kedua terkait tentang apakah " Pemimpin agama tidak harus memengaruhi pemerintahan " ?. hasilnya ternyata identik. sekali lagi hanya sedikit perbedaan antara masyarakat kristen dan muslim.

Jika kaum muslim mendukung penghapusan perbedaan antara kekuasaan sakral dan duniawi, kita akan menduga mereka akan mendorong keterlibatan pemimpin agama dalam kehidupan politik. <eski demikian, data yang ada tak menunjukan tendesi tersebut.

Kekerasan Politik.
Marilah sekarang menguji apakah masyarakat muslim secara tak lajim cenderung pada kekeran politik massa sehingga dengan demikian membutuhkan pemimpin bertangan besi ? Argumen ini tampak jelas dalam karya Samuel Huntington yang sangat berpengaruh, Decllas of civilizations and the remaking of word order.. Untuk menguji hipotesis diatas, saya memeriksa prekuensi dan intensittas dari kekerasan politik massa di dalam negara sepanjang 1946-2007. Diseluruh dunia terjadi 235 episode yang masing-masing menciptakan lebih dari 500 korban manusia. jumlah korban dalam seluruh episode secara total berjumlah 21 juta jiwa.

Ternyata bukan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang berada pada wilayah episode kematian yang tidak wajar dan bukan pula negara-negara itu penyebab jumlah kematian yang besar. Di 43 negara dengan mayoritas penduduk muslim hanya 0, 65% dari rata-rata populasi meninggal pada episode-episode utama kekerasan politik negara. Di 128 negara bukan berpenduduk mayoritas muslim, 0,72% penduduk tewas pada episode-episode kekerasan tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan, tidak ada korelasi antara presentasi populasi muslim di negara dengan resiko kekerasan politik massa dan kematian sebagai dampaknya.

Jika kalangan muslim tak berusaha mengombinasikan antara agama dan otoritas politik dan tidak bertendesi pada kekerasan politik dalam skla besar, logika tentang keunikan paradoks demokrasi muslim sebenarnya hanyalah ilusi.

Oleh karena itu, kita tidak boleh bersikap naif akan prospek demokrasi di tunisia atau di negara-negara dimana peristiwa seperti di tnisia bergema. rakyat tunisia hanya menikmati sedikit pengalaman tentang pemerintahan yang otonom dan demokratis. Mereka berada pada kesunyian dan termanipulasi oleh kebijakan rezim Ben Ali selama seperempat abad. Demikian pula kita tidak harus takut dengan proses demkratisasi di Tunisia dan tetangganya atau menjadi sekutu dari despotik moderat ( Anti Islamis) dan ikut menghambat upaya tersebut.

Asumsi tentang Islam yang cenderung pada kekerasan sebagai alternatif satu-satunya dari diktator anti islam telah diyakini para pengambil kebijakan di dunia barat selama beberapa dekade. Hal itu mengarahkan mereka untuk tidak saja menjadi mitra dari Ben Ali, tetapi juga pemerintahan saudi yang memberikan tempat bagi pengasingannya, rezim Husni Mubarok di Mesir, Ali abdullah Di yaman, monarki Yordania, serta rezim diktator iliter dio pakistan Perrves Musharraf.

Teroris Dinegeri Diktator.
Penting untuk dicatat, sarang dari para teroris islam dunia adalah dinegeri-negeri para diktator tersebut. sementara hanya sedikit sekali para teroris yang berasal dan berbasis dinegara-negara muslim demokratis, seperti Indonesia, Turki, dan negara-negara aprika barat seperti, Sinegal dan Mali.

Adalah benar bahwa demokrasi bukanlah obat mujarab bagi persoalan terorisme, tetapi rezim-rezim yang menolak cara-cara damai dalam perubahan pemerintahan dan membenrangus ekpresi politk anti kekerasan lebih cendrung menciptakan teroris dibandingkan negara-negara yang berdemokrasi. 

Hanya sangat sedikit sekali bukti bahwa di negeri muslim-jika mereka memberdayakan pemerintahan mereka sendiri-akan memilih musuh dari pluralisme atau tak sabar untuk mendorong kekerasan politk massa. Demikian pula hanya adassedikit bukti akan rezim-rezim demokratis, ketika mereka meraih kekuasaan di negara-negara muslim, menciptakan lebih banyak lahan basah bagi tumbuhnya terorisme dibandingkan negara yang dipimpin para diktator.

Jatuhnya Tirani di Tunisia munglkin tidak secara otomatis mengarah pada pase demokrasi. tetapi rakyat tunisia memiliki kesempatan dan menyediakan ruang pertaruhan bagi kemnungkinan proses demokrasi dan keamanan global dibandingkan apa yang telah dialakukan para diktator pro barat. 

Di upuk Drama Politik yang terhampar ditunisia dan negara-negara tetangganya, dunia memilki harapan yang ebih baik dibandingkan skenario ketakutan.

Hasil studi Prof. M. Steven Fish menjadi menarik dan aktual untuk menjadi bahan kaji proses demokrasi di Indonesia. Terlebih Indonesia kini menjadi sorotan dunia sekan menjadi ladang subur politik kekerasan ( Radikalisme) yang kemudian tudingan itu diarahkan kepada " Masyarakat Muslim Konserfatif sebagai tempat persemaian. asumsi ini menjadi paradoks dengan temuan Prof Steven. Oleh karenanya berkepentingan bagi Partai Bulan Bintang menyelenggarakan seminar Nasional ini sebagai media pelurusan opini yang terlanjur berkembang disetiap benak rakyat indonesia.

Pelurusan pokok persoalan untuk menempatkan secara proporsional, antara peran Islam sebagai sumber nilai, demokrasi sebagai pilar kebangsaan dan mengakhiri keduanya dalam sikap yang antagonistis akan menjadi kekuatan baru untuk merestorasi bangsa indonesia yang lebih beradab dan berkemajuan.

Jakarta, 24 September 2011

DR. H. MS. Kaban. SE.MSi           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar