Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 27 September 2011

Reshuffle Menteri-Menteri "Asing" di Kabinet Indonesia Bersatu II

Ardi Winangun

Terkait dugaan korupsi, perselingkuhan, kinerja yang tidak memuaskan, dan ada yang sakit, di jajaran menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu II, memunculkan wacana dan keseriusan akan reshuffle. Reshuffle yang dilakukan tentu sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan meningkatkan kinerja pemerintahan SBY.

Me-reshuffle para menteri yang melakukan tindakan yang melanggar hukum dan tidak bisa bekerja, karena sakit atau tidak profesional, merupakan sebuah tindakan yang tepat. Dengan mengganti mereka seolah-olah pemerintah ini mendapat energi yang baru. Namun ada lagi menteri yang harus di-reshuffle, yakni menteri kepanjangan tangan kepentingan asing di Indonesia. Menteri-menteri itu pantas di-reshuffle sebab juga sama-sama merugikan kepentingan pemerintah dan rakyat Indonesia.

Meski pendiri Wikileaks, Julian Assange, telah diburu dan ditahan oleh interpol, namun bocoran-bocoran berita Wikileaks tetap terus mengalir. Berita terakhir yang kita dengar, ada sekitar 1.860 dokumen kawat diplomatik yang bocor ke publik, diantaranya tentang sikap dan arah kebijakan para menteri di Kabinet Indonesia Bersatu.

Seperti biasanya bocoran dari Wikileaks itu sesuatu yang tidak mengenakan serta membuka aib orang. Bila bocoran sebelumnya, menyebut Ibu Negara Ani Yudhoyono turut menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Bahkan, Ibu Negara disebut broker dan melakukan bisnis dengan sejumlah pengusaha Indonesia. Bocoran yang muncul sekarang adalah banyaknya menteri yang pro terhadap kepentingan Amerika Serikat. Menteri-menteri yang pro Amerika Serikat itu seperti Hatta Rajasa, Endang Rahayu Sedyaningsih, Sri Mulyani, Mari Elka Pangestu, Marty Muliana Natalegawa, Djoko Suyanto, dan MS Hidayat.

Dengan bocoran tersebut maka membuka mata kita bahwa selama ini arah dan kebijakan pembangunan kita disetir oleh Amerika Serikat. Tentu hal ini merugikan kita karena kita tidak bebas menentukan arah pembangunan. Toh kalau pembangunan itu sukses, keuntungannya bukan untuk rakyat namun untuk Amerika Serikat.

Mengapa menteri-menteri itu mau menjadi boneka Amerika Serikat? Ini disebabkan karena ketidakmandirian ekonomi Indonesia sehingga semuanya tergantung kepada Amerika Serikat atau negara asing lainnya. Dominasi Amerika Serikat selama beberapa dekade membuat banyak negara, termasuk Indonesia, secara tidak sadar terperangkap dan tersedot menjadi bagian dari kepentingan ekonomi Amerika Serikat dengan posisi sebagai pasar. Banyaknya bantuan Amerika Serikat kepada Indonesia, dari berbagai hal, membuat kita merasa tidak enak bila tidak menuruti kata-kata kepentingan Amerika Serikat.

Ketika tidak ada keseimbangan kekuatan dunia, maka hegemoni kepentingan Amerika Serikat menjadi-jadi sehingga tidak hanya menteri saja yang bisa disetir namun presidennya pun bisa diatur dan disetir. Banyak negara-negara di dunia, khususnya di Timur Tengah,  Amerika Serikat dengan kesewenang-wenangnya mengatur negara lain.

Meski dikatakan dominasi Amerika Serikat akan berakhir dan kemungkinan Indonesia tidak tergantung lagi, itu suatu hal yang tidak tepat. Sebab posisi itu akan diganti oleh negara lain. Dan peluang itu ada pada China. Buktinya Indonesia tidak bisa berbuat banyak ketika dipaksa membeli pesawat MA-60 buatan Xi'an Aircraft Industry China. Lagi-lagi pembelian pesawat itu juga terkait dengan menteri yang mempunyai hubungan khusus dengan China. Disebut Indonesia membeli 15 pesawat dengan nilai USD161 juta. Pembelian ini hasil pinjaman dari Bank Of China. Pesawat berkapasitas 56 penumpang ini dihargai sekira USD11 juta per unit.

Untuk menghadapi agar pemerintahan kita tidak dikendalikan atau menjadi negara boneka dari Amerika Serikat dan negara asing lainnya, maka kiat yang ditempuh adalah menumbuhkan sikap berani mengatakan tidak bagi kepentingan asing yang tidak sesuai dengan arah pembangunan. Salah satu bocoran dari Wikileaks itu adalah Amerika Serikat tidak suka dengan Menteri Pertanian dalam Kabinet Indonesia I, Anton Apriyantono. Anton Apriyantono tidak disukai oleh negeri Paman Sam itu karena berani berkata tidak terhadap kepentingan Amerika Serikat di Indonesia yang merugikan dunia pertanian. Sikap demikianlah yang seharusnya layak untuk dilakukan.

Selain berani bersikap tegas perlunya membangun kemandirian bangsa dari segala hal. Potensi itu ada, namun karena sudah masuk perangkap negara lain, mau enaknya saja, dan ketergantungan kepada negara lain memberikan keuntungan bagi oknum-oknum tertentu, maka potensi itu menjadi hilang.

Sebagai negara yang besar dan kaya dengan berbagai sumber alam sebenarnya Indonesia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, namun karena faktor seperti diungkapkan di atas, yakni sudah masuk perangkap negara lain, mau enaknya saja, dan ketergantungan kepada negara lain memberikan keuntungan bagi oknum-oknum tertentu, maka semua yang ada menjadi percuma.

Sangat naif kalau dikatakan Indonesia tidak bisa berdiri di kaki sendiri untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kita lihat Cuba dan Korea Utara saja, meski dengan keterbatasannya mereka mampu menjadi negara yang mandiri dan lepas dari oknum-oknum asing di negaranya. Cuba yang sejak tahun 1960-an diembargo Amerika Serikat namun Presiden Cuba Fidel Castro tetap mampu membangun negaranya. Di tengah embargo itu, Cuba mampu membuat rakyatnya sehat. Buktinya dari data Unicef tahun 2008, Cuba berhasil menurunkan angka kematian bayi (setiap 1000 kelahiran) dari 37 pada tahun 1960 menjadi 4,7 pada tahun 2008. Bandingkan angka ini dengan Kanada (5), AS (6), México (29), Argentina (14), Haiti (60), Brasil (19), Colombia (17). Demikian pula Korea Utara, dengan ideologi juche atau berdiri di kaki sendiri mampu menjadi sebuah negara yang mempunyai kekuatan militer yang tangguh.

Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan jumlah kekayaan alam yang melimpah sebenarnya faktor itu bisa digunakan untuk bargaining dengan pihak-pihak asing. Iran misalnya, dengan minyak yang dimilikinya bisa mendikte negara-negara lain. Melimpahnya para tenaga kerja dari Indonesia ke Malaysia, dan negara-negara Arab, faktor ini bisa digunakan untuk tawar menawar. Buktinya Malaysia dan negara-negara Arab sempat kelimpungan ketika pengiriman jasa tenaga kerja hendak dihentikan. Hal-hal demikianlah yang seharusnya dikedepankan oleh Indonesia daripada sekadar menuruti apa maunya kepentingan asing yang tidak memberi banyak manfaat bagi rakyat Indonesia.

Ardi Winangun
Pengurus Presidium Masika ICMI
dan Siswa Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa-Megawati Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar