Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 21 September 2011

Ulama dan Politik: Ibarat Dua Sisi Mata Uang

Secara syar'iy, ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah karena kedalaman ilmunya

Siapa sosok ulama itu?. Ulama itu secara bahasa merupakan jamak dari kata alim yang berati orang berilmu. Secara syar'iy, ulama adalah orang-orang yang paling takut kepada Allah karena keda-laman ilmunya. Di antara karakter yang dimiliki ulama adalah, pertama, ulama adalah orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keter-ikatannya terhadap wahyu Allah SWT.

Rasullah SAW bersabda: “Sesungguhnya perum-pamaan Ulama dimuka bumi laksana bintang-bintang yang ada dilangit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR. Ahmad).

Dalam hadis yang lain Beliau SAW bersabda: “Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan diantara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). 

Imam Nawawi Al-Bantani menjelaskan kriteria Ulama. Menurut beliau ulama adalah hamba Allah yang beriman, mengasai ilmu syariat secara mendalam, dan memiliki peabdian yang tinggi semata-semata  karena mencari keridlaan Allah SWT, bukan keridlaan manusia. Dan kemudian dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq, baik dalam masalah ibadat maupun muamalat.

Ciri yang dimilikinya adalah: (a) Memiliki keiman-an yang kokoh, ketaqwaan yang tinggi, berjiwa istiqomah dan konsisten terhadap kebenaran, (b) Memiliki sifat-sifat kerasulan, yaitu jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fatanah), dan me-nyampaikan (tabligh), (c) faqih fi ad-din (paham dalam agama) sampai rasikhun fi al-Ilm' (amat dalam ilmunya), (d) Mengenal situasi dan kondisi masyarkat, dan (e) Mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT. 

Kedua, benar-benar takut kepada Allah SWT baik dalam hati, ucapan maupun perbuatannya dan berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT: "Sessungguhnya mereka yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS. Al-Fathir [35] :28).
 
Ketiga, tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Tegas sekali firman Allah SWt dalam ayat berikut: “Dan janganlah kalian cenderung (la tarkanu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka...” (QS. Hud [11]: 113).  Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata la tarkanu berarti 'jangan cenderung kepadanya'; Qatadah menyebutkan, 'jangan bermesraan dan jangan mentaatinya'; sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti 'jangan meridlai perbuatan-perbua-tannya'.

Terkait masalah ini, Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf Juz II/416 mengutip beberapa pendapat. Di antaranya pendapat Imam Ats-Tsauri yang berkata: “Di nereka jahanam nanti ada suatu lembah yang tidak dihuni orang kecuali para pembaca al-Qur'an yang suka berkunjung kepada para penguasa”. Senada dengan hal ini, Imam Auza'i mengatakan, “Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada para penguasa.” Bahkan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasullullah SAW bersabda : “Siapa yang berdo'a untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya”.

Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa Imam Zuhri bergaul dengan para penguasa yang terkenal tidak memenuhi hak-hak masyarakat serta tidak mening-galkan kebatilan.Terdapat seseorang yang mengiriminya surat nasihat agar menjauhi fitnah. Dalam surat itu antara lain dia menyebut tindakan bergaul rapat dengan penguasa akan menimbulkan konsekuensi berupa dijadikannya perkara tersebut sebagai legitimasi beredarnya kebatilan yang mereka lakukan, peng-akuan atas bencana yang mereka lakukan, dan pembenaran atas penyimpangan mereka. Juga akan menimbulkan kera-guan para ulama serta akan diikuti masyarakat umum. Orang itu lantas menutup suratnya dengan kalimat: “Betapa banyak keuntungan yang mereka ambil dari anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada anda”. Jadi, ulama itu tidak akan pernah menjilat kepada penguasa yang menzhalimi rakyatnya. 

Memaknai Politik
Sebelum berbicara lebih jauh tentang hal tersebut penting dipahami apa yang disebut politik. Memang, politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Tetapi, bagaimanapun ia didefinisikan, satu hal sudah pasti, bahwa politik menyangkut kekuasaan dan cara peng-gunaan kekuasaan. Dalam pengertian sehari-hari, politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintahan suatu negara (Amien Rais, Cakrawala Islam, hal. 27). 

Dalam sistem sekuler, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditullis dalam buku The Prince. Machiavellis mengajarkan bahwa: (1) kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan pengu-asa; (2) penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum); (3) dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas. Karenanya, praktik politik sistem sekuler merupakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah 'Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu' (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie). Fakta politik seperti inilah yang menjadikan sebagian kalangan Muslim tertipu hingga menyimpulkan bahwa politik itu kotor. Karenanya, Islam tidak boleh mencampuri politik, Islam harus dipisahkan dari politik. Dakwah Nabi pun didudukkan sebagai dakwah spiritualitas dan moral belaka, bukan dakwah bersifat politik.

Islam berbeda dengan itu. Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah, artinya mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus al-Muhith, dalam kata kunci sasa). Nabi menggunakan istilah politik (siyasah) dalam hadits:”Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para Nabi (tasusu hum al-anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Muslim).

Jadi, politik artinya adalah mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir atas mereka. Politik Islam karenanya berarti mengurusi urusan masyarakat melalui kekuasaan melarang dan memerintah dengan landasan hukum/syariat Islam.

Bila dilihat dari hubungan antara makna ulama dengan makna politik maka semestinya ulama dan politik Islam tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan. Artinya, ulama harus mengurusi urusan umat atas dasar Islam. 

Aktivitas Politik Ulama
Abu Nu'aim menyatakan bahwa Nabi mengatakan, “Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi, apabila keduanya rusak maka akan rusaklah masyrakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan penguasa."  Karenanya, ulama harus memeran-kan diri dalam rangka kebaikan masya-rakat, termasuk meluruskan penguasa.
Di antara aktivitas politik ulama adalah:
1.Membina umat. Ulama terus mela-kukan pembinaan di tengah-tengah umat sehingga muncul orang-orang yang berkepribadian Islam. Umat dibina perilakunya dengan selalu dikaitkan dengan akidah dan syariah.

2.Membangun kesadaran politik umat (wa'yu siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana mereka memelihara urusannya dengan syariat Islam. Bahkan, boleh jadi ulama menjadi penguasa. Karenanya, ada sebagian ahli tafsir yang memaknai ulil amri dalam surat an-Nisa ayat 59 sebagai ulama.

3.Mengoreksi penguasa. Imam al-Ghazali menyatakan: “Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan men-jaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka meng-ikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas dihati. Namun, seka-rang terdapat penguasa yang zhalim namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk meng-ingatkan  para penguasa dan para pembesar” (Ihya 'Ulumuddin, juz 7, hal. 92). 

Berdasarkan hal di atas jelaslah bahwa ulama menjalankan politik Islam, yaitu mengurus urusan masyarakat dengan Islam. Bukan sebaliknya, melupakan Islam tetapi berpegang pada politik sekuler yang hanya untuk kepentingan pribadi belaka. Wallahu a'lam.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar