Alit Rahmat.SPd.I
Ketua KAPPU Wilayah PBB Provinsi Jawa Barat
Di Indonesia, perilaku pemilih merupakan topik kajian yang relatif baru. Ini disebabkan demokrasi bukanlah gejala yang dominan dalam sejarah politik kita.
Kita memang pernah punya pemilu demokratis pada tahun 1955, tapi studi tentang perilaku pemilih secara sistematis belum berkembang waktu itu. Amerika pun baru memulainya pada 1950-an dan mulai lebih matang pada 1960-an. Tapi, ketika itu demokrasi kita sudah berakhir dan karenanya memahami perilaku pemilih menjadi tidak perlu.
Karena studi perilaku pemilih belum berkembang, studi yang lebih deskriptif lebih menjadi tumpuan. Salah satunya adalah temuan Clifford Geertz tentang politik aliran dan perilaku pemilih Indonesia. Menurut Geertz, aliran abangan cenderung memilih PNI dan PKI, santri memilih partai-partai Islam seperti Masjumi, Partai NU, Perti, dan PSII. Di dalam aliran santri ini ada semacam sub-aliran, yakni santri modernis dan santri tradisionalis. Yang pertama menjadi dasar kultural bagi dukungan terhadap Masjumi, sedangkan yang kedua terhadap Partai NU.
Geertz juga mengaitkan kelas sosial dan perilaku politik pemilih. Kelas sosial bawah dipercaya cenderung mendukung PKI dan Partai NU, menengah mendukung Masjumi, dan atas atau kelas ningrat Jawa mendukung PNI. Dua perspektif ini, aliran dan kelas sosial, adalah warisan intelektual paling purba dalam studi perilaku pemilih, mencerminkan suasana intelektual tahun 1950-an. Bukan saja di negeri ini, tapi juga di Amerika, yang merupakan pusat bumi bagi studi perilaku pemilih. Deskripsi Geertz itu sangat mempengaruhi akademisi dan politisi Indonesia—mungkin—sampai hari ini.
Masihkah tesis Geertz itu berlaku? Pengujian sistematik pertama terhadap dua pendekatan sosiologis ala Geertz pernah saya lakukan bersama William Liddle dan pada 2003. Ketika itu Indonesia kembali memasuki politik demokrasi dengan dilaksanakannya pemilu demokratis tahun 1999.
Studi itu menunjukkan bahwa baik aliran maupun kelas sosial ternyata bukan faktor yang paling menentukan perilaku pemilih Indonesia. Polarisasi aliran ternyata tidak sebesar yang diperkirakan selama ini. Geertz menganggap bahwa mayoritas muslim Jawa adalah abangan: tidak taat beribadah sesuai dengan perintah agama. Mereka menjalankan ritual sendiri yang bertentangan dengan ortodoksi Islam.
Studi saya menunjukkan fakta berbeda. Dalam survei nasional yang dilakukan tahun 1999, terlihat bahwa di atas 70 persen muslim Jawa ataupun Indonesia pada umumnya adalah orang-orang yang memegang ortodoksi Islam: memenuhi rukun Islam yang lima, seperti syahadat, salat, puasa, membayar zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Ortodoksi Islam ini sebelumnya diperkirakan tidak punya nilai bagi kebanyakan masyarakat Jawa.
Dalam studi-studi sistematik selama setahun menjelang pemilu legislatif dan presiden oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), temuan tersebut kembali dikonfirmasi. Karena polarisasi aliran tidak begitu kuat, keberagamaan muslim Indonesia tidak lagi sepenting yang diperkirakan sebelumnya.
Mayoritas muslim pemilih partai sekuler seperti PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat nyatanya taat beribadah. Perubahan orientasi politik kepartaian dari kelompok muslim juga tumbuh dari tradisi santri sendiri. Muslim dari Nahdlatul Ulama membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan dari Muhammadiyah membentuk Partai Amanat Nasional (PAN). Walaupun kedua partai ini secara sosiologis berasal dari komunitas santri, keduanya bukanlah partai yang berasas Islam. Keduanya, bersama-sama dengan partai besar lain, tidak menjadikan syariat Islam sebagai agenda politik utama mereka. Mereka menentang dimasukkannya Piagam Jakarta ke konstitusi kita.
Dalam Pemilu 1999 ada belasan partai yang berasas Islam. Total perolehan suara mereka sekitar 17 persen. Dalam pemilu legislatif 2004, total perolehan suara mereka sedikit naik menjadi sekitar 21 persen. Namun, dibandingkan dengan perolehan suara partai-partai berasas Islam tahun 1950-an, kekuatan mereka turun separuhnya (dari sekitar 44 persen).
Perubahan itu juga terkait dengan kemunculan Partai Golkar. Partai ini sekuler, tapi didukung oleh mayoritas muslim yang taat beragama dan secara proporsional didukung oleh pemeluk agama yang ada di Indonesia. Lebih dari itu, dalam jumlah yang signifikan, elite partai ini di pusat maupun daerah dipenuhi oleh mereka yang berlatar belakang tradisi santri, apakah itu HMI, Muhammadiyah, maupun NU.
Perubahan orientasi politik ini lebih nyata terlihat dalam persaingan merebut jabatan presiden. Di tengah-tengah muslim Indonesia yang taat terhadap agama mereka, tokoh-tokoh yang berasal dari partai Islam (Hamzah Haz) maupun yang berasal dari tradisi santri (Amien Rais) kalah bersaing dengan tokoh-tokoh yang secara tradisional bukan dari kelompok Islam politik: Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati.
Kalaupun perbedaan tradisi politik di antara elite kita ada, perbedaan itu tidak dilihat sebagai sumber konflik dan kontestasi politik. Mereka melihat perbedaan itu sebagai power untuk membangun kekuatan bersama: Megawati menggandeng Hasyim Muzadi yang berlatar belakang santri, dan SBY menggandeng Jusuf Kalla yang juga berlatar belakang santri. Apa yang terjadi kemudian bukanlah kontestasi politik antara santri dan abangan, melainkan antara abangan melawan abangan atau antara santri melawan santri.
Siapa pun yang terpilih jadi presiden, dengan demikian, tidak terkait dengan polarisasi aliran tersebut. Lalu, faktor apa yang berpengaruh? Dulu kelas sosial dipercaya berpengaruh kuat dalam pengelompokan politik masyarakat Indonesia. PKI dipercaya mewakili kepentingan kelas bawah, Masjumi lebih mewakili kelas menengah muslim, PNI dan PSI mewakili kelas menengah-atas. Kelas sosial di sini dilihat dari pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, wilayah tinggal (pedesaan atau perkotaan), ataupun kesadaran kelas dari masyarakat itu sendiri.
Pengelompokan politik atas dasar kelas sosial tidak terlihat dalam platform partai maupun agenda-agenda calon presiden yang sedang bersaing. PDIP dipercaya merupakan kelanjutan dari tradisi politik PNI, yang lebih mencerminkan aspirasi politik kelas aristokrat Jawa. PDIP mengidentikkan diri sebagai partai wong cilik, walaupun tradisi PNI masih terasa kuat di dalamnya.
Ini berarti bahwa PDIP, yang berlatar belakang tradisi kelas aristokrat, mencoba menjangkau sasaran lintas kelas. Ia menjadi semacam catch-all party, partai yang menjangkau semua lapisan. Hal yang kurang-lebih sama juga ditunjukkan oleh Partai Golkar, PPP, dan PKB.
Kalau kelas sosial didefinisikan atas dasar perbedaan tingkat pendidikan, ia sedikit punya arti untuk membedakan PAN, PKS, Partai Demokrat, versus partai-partai besar lainnya. Pendukung partai ini cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang lebih terpelajar dibandingkan dengan pendukung PDIP, Golkar, PPP, dan PKB. Namun, kalau dilihat dari platform ekonomi mereka, semua partai besar itu sama-sama cenderung memilih ekonomi kerakyatan yang nasionalistik, tapi dalam prakteknya sama-sama berorientasi pada ekonomi pasar. Perilaku yang kurang-lebih sama seperti ini jelas mengaburkan signifikansi kelas sosial sebagai dasar pengelompokan partai dan dukungan pemilih.
Gejala yang sama juga terlihat dalam persaingan para calon presiden. Semua kandidat cenderung beretorika untuk memperhatikan rakyat kecil, perlunya subsidi, dan lain-lain.
Kalaupun sentimen kelas sosial ada di masyarakat pemilih kita, perilaku elite seperti itu menutup signifikansi kelas sosial bagi pembentukan sikap dan perilaku pemilih.
Kalaupun sentimen kelas sosial ada di masyarakat pemilih kita, perilaku elite seperti itu menutup signifikansi kelas sosial bagi pembentukan sikap dan perilaku pemilih.
Perilaku pemilih pada Pemilu 1999 dan 2004 jelas tidak dipengaruhi oleh politik aliran dan kelas sosial, tapi faktor psikologis, terutama identifikasi diri dengan partai politik dan kalkulasi rasional pemilih atas partai dan calon presiden. Relatif stabilnya perolehan suara Golkar, PKB, PPP, dan PAN mengindikasikan telah terbentuknya sikap partisan dalam masyarakat. Sementara itu, munculnya Partai Demokrat dan menguatnya Partai Keadilan serta menurunnya dukungan terhadap PDIP dibandingkan dengan pada Pemilu 1999 mencerminkan tumbuhnya evaluasi rasional pemilih atas partai-partai yang ada.
Faktor psikologis yang mempengaruhi pilihan atas calon presiden adalah persepsi tentang kualitas kepribadian calon sebagaimana tersosialisasi oleh media massa dan ditangkap oleh masyarakat pemilih kita. Dalam soal ini, SBY jauh lebih unggul dibandingkan dengan Megawati. SBY dipersepsikan lebih memberikan harapan untuk pemberantasan KKN dan penegakan keamanan.
Dalam hal ekonomi, keduanya mendapatkan penilaian yang hampir sama. Citra personalitas tampaknya paling menentukan. Media massa, terutama televisi, sangat besar sumbangannya bagi pembentukan citra personalitas ini.
Kuatnya pengaruh faktor psikologis dan kalkulasi rasional ini menunjukkan telah terjadinya arah baru perilaku politik masyarakat kita, setidaknya kalau dibandingkan dengan perilaku pemilih kita tahun 50-an. Arah ini merupakan mainstream dalam perilaku pemilih dalam demokrasi di mana pun di dunia. Perilaku pemilih masyarakat kita tidak terisolasi, tapi berada satu arus dengan negara-negara demokratis lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar