Kamis, 29 September 2011
Oleh: Muhammad Rahmani
LAYAR kaca kita kembali ‘dihiasi’ dengan pemberitaan media atas kasus terorisme. Kali ini bom bunuh diri terjadi di Gereja Kepunton Solo. Malam harinya Presiden langsung melakukan jumpa pers di Cirebon dan mengatakan hasil penyelidikan sementara menunjukkan bahwa aksi terorisme tersebut, terkait dengan jaringan teroris Cirebon (Antaranews.com, 25/09/2011).
LAYAR kaca kita kembali ‘dihiasi’ dengan pemberitaan media atas kasus terorisme. Kali ini bom bunuh diri terjadi di Gereja Kepunton Solo. Malam harinya Presiden langsung melakukan jumpa pers di Cirebon dan mengatakan hasil penyelidikan sementara menunjukkan bahwa aksi terorisme tersebut, terkait dengan jaringan teroris Cirebon (Antaranews.com, 25/09/2011).
Tragedi ini bisa menjadi alasan kuat untuk melegalkan RUU Intelijen. Selama ini intelijen Indonesia dianggap kurang bertenaga bila dihadapkan dengan kasus-kasus terorisme. Kurang bertenaganya institusi intelijen, dinilai karena akibat terbatasnya kewenangan, sebab tidak memiliki kekuasaan untuk menangkap, memeriksa, dan menahan orang yang dicurigai merencanakan atau pun pelaku terror.
Ini makin memperkuat animo masyarakat bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen sangat dibutuhkan untuk memberangus terorisme di Indonesia. Namun menilik draft RUU Intelijen yang dibahas dalam rapat paripurna DPR 27 September hari selasa ini, bukan tanpa masalah.
Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menegaskan, RUU Intelijen yang digodok DPR dan pemerintah masih mengandung 19 pasal bermasalah (Kompas.com, 18/9/2011). Sedangkan analisis politik dari Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia menyebutkan ada 11 hal yang mesti dikritisi dari RUU Intelijen (Hizbut-Tahrir.or.id/RUU Intelijen=Lahirnya Rezim Represif.htm, 21/09/11).
Bahkan gabungan tokoh-tokoh seperti, Dr. Adnan Buyung Nasution, Prof. Dr A Syafii Maarif, Prof Dr Jimly Asshidiqie, para cendekiawan, LSM-LSM, wartawan dan elemen-elemen lainnya, sebelumnya telah sepakat dalam sebuah forum komunike bersama menolak pengesahan RUU Injelijen (rimanews.com, 10/07/11).
Beberapa isi pasal per pasal yang termuat dalam RUU intelijen rentan menjadi alat kekuasaan pemerintah. Pada pasal 1 misalnya, dikatakan bahwa Intelijen Negara adalah penyelenggara intelijen. Walau terjadi perubahan dalam draft sebelumnya yang menyatakan bahwa Intelijen Negara sebagai lembaga pemerintah. Tapi perubahan redaksi ini tidak merubah secara esensial isi pasal tersebut. Karena kita ketahui bersama bahwa penyelenggara intelijen Negara berada di bawah pemerintah. Adapula isi pasal 35 yang juga dipermasalahkan. Sebuah kata ‘pendalaman’ yang termaktub dalam pasal tersebut dapat memberikan kesan bahwa Intelijen dapat melakukan pemeriksaan intensif dalam hal ini mencakup penangkapan dan penahanan.
Dalam penjelasan pasal tersebut bahkan disebutkan “Ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya terakhir untuk mendalami informasi sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya, antara lain melalui pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan, pemeriksaan aliran dana atau penyadapan.“
Masih ada beberapa lagi pasal yang dianggap memberikan kesan represif oleh pihak intelijen untuk melakukan proses hukum. Jika RUU tersebut disahkan, dikhawatirkan rezim new orde baru akan lahir. Saat dimana jiwa-jiwa kritis yang apabila pemerintah menganggap hal itu merupakan ancaman nasional, maka itu dapat diproses secara hukum ‘ala’ operasi intelijen. Bukankah ini keluar dari semangat reformasi yang dielu-elukan selama ini.
Sekulerisme-lah ancaman Nasional
Dalam draft RUU Intelijen, tertera sebuah frasa ’ancaman nasional’ juga menjadi salah satu poin yang menuai kritikan karena tak terdefenisikan jelas apa dan siapa yang dimaksud. Tapi menarik bila kita melihat masalah-masalah negeri kita sekarang dengan mengaitkannya dengan frasa tersebut. Bila kita menganalisis lebih dalam lagi, sekulerisme-lah sebenarnya menjadi ancaman Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda salah seorang tokoh politiknya Snouck Hurgronye pernah menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama melainkan "Islam Politik" (Aqib Suminto, Op. Cit). Dalam praktiknya Belanda memberangus institusi pemerintahan/kesultanan Islam (Al wa’ie, agustus 2008).
Bukankah ini bentuk sekulerisasi ! Sekulerisme telah menjauhkan Indonesia dari fitrahnya sebagai manusia. Aturan-aturan Sang Pencipta (baca: Islam) yang semestinya diterapkan dalam aspek-aspek kehidupan, malah dicampakkan. Sekulerisme dalam bidang Pemerintahan berupa sistem demokrasinya, telah melahirkan politik yang permisif dan pragmatis. Dan lihatlah apa yang terjadi dalam politik kita sekarang. Sekulerisme di bidang hukum, melahirkan para mafia-mafia peradilan dan keadilan hanya sebuah jargon saja.
Sekulerisme dalam kehidupan sosial, membuat masyarakat makin individualistis. Wajarlah ’bibit-bibit teroris’ muncul karena masyarakat kita sudah tidak memiliki kepekaan sosial.
Sekulerisme dalam ekonomi yakni kapitalisme dengan asas ekonomi neoliberalismenya serta konsep privatisasi atas sumber daya alam malah membuat rakyat makin miskin dan sengsara.
Sekulerisme yang merambat dalam aspek budaya, telah menghancurkan sendi-sendi moral bangsa terutama bagi generasi-generasinya. Hal-hal ini merupakan ancaman serius bangsa ini.
Ataukah para penguasa tidak melihat hal itu sebagai ancaman? Atau siapakah yang dimaksud ancaman dalam RUU Intelijen tersebut? Jangan sampai suara-suara kritis rakyat atas masalah-masalah bangsa yang disebabkan oleh sekulerisme tadi, terbungkam seperti yang terjadi pada masa orde baru. Karena mungkin saja ancaman yang dimaksud adalah hal yang berseberangan dengan kepentingan penguasa. Wallahu ’alam
Dalam penjelasan pasal tersebut bahkan disebutkan “Ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya terakhir untuk mendalami informasi sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh sebelumnya, antara lain melalui pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan, pemeriksaan aliran dana atau penyadapan.“
Masih ada beberapa lagi pasal yang dianggap memberikan kesan represif oleh pihak intelijen untuk melakukan proses hukum. Jika RUU tersebut disahkan, dikhawatirkan rezim new orde baru akan lahir. Saat dimana jiwa-jiwa kritis yang apabila pemerintah menganggap hal itu merupakan ancaman nasional, maka itu dapat diproses secara hukum ‘ala’ operasi intelijen. Bukankah ini keluar dari semangat reformasi yang dielu-elukan selama ini.
Sekulerisme-lah ancaman Nasional
Dalam draft RUU Intelijen, tertera sebuah frasa ’ancaman nasional’ juga menjadi salah satu poin yang menuai kritikan karena tak terdefenisikan jelas apa dan siapa yang dimaksud. Tapi menarik bila kita melihat masalah-masalah negeri kita sekarang dengan mengaitkannya dengan frasa tersebut. Bila kita menganalisis lebih dalam lagi, sekulerisme-lah sebenarnya menjadi ancaman Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda salah seorang tokoh politiknya Snouck Hurgronye pernah menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama melainkan "Islam Politik" (Aqib Suminto, Op. Cit). Dalam praktiknya Belanda memberangus institusi pemerintahan/kesultanan Islam (Al wa’ie, agustus 2008).
Bukankah ini bentuk sekulerisasi ! Sekulerisme telah menjauhkan Indonesia dari fitrahnya sebagai manusia. Aturan-aturan Sang Pencipta (baca: Islam) yang semestinya diterapkan dalam aspek-aspek kehidupan, malah dicampakkan. Sekulerisme dalam bidang Pemerintahan berupa sistem demokrasinya, telah melahirkan politik yang permisif dan pragmatis. Dan lihatlah apa yang terjadi dalam politik kita sekarang. Sekulerisme di bidang hukum, melahirkan para mafia-mafia peradilan dan keadilan hanya sebuah jargon saja.
Sekulerisme dalam kehidupan sosial, membuat masyarakat makin individualistis. Wajarlah ’bibit-bibit teroris’ muncul karena masyarakat kita sudah tidak memiliki kepekaan sosial.
Sekulerisme dalam ekonomi yakni kapitalisme dengan asas ekonomi neoliberalismenya serta konsep privatisasi atas sumber daya alam malah membuat rakyat makin miskin dan sengsara.
Sekulerisme yang merambat dalam aspek budaya, telah menghancurkan sendi-sendi moral bangsa terutama bagi generasi-generasinya. Hal-hal ini merupakan ancaman serius bangsa ini.
Ataukah para penguasa tidak melihat hal itu sebagai ancaman? Atau siapakah yang dimaksud ancaman dalam RUU Intelijen tersebut? Jangan sampai suara-suara kritis rakyat atas masalah-masalah bangsa yang disebabkan oleh sekulerisme tadi, terbungkam seperti yang terjadi pada masa orde baru. Karena mungkin saja ancaman yang dimaksud adalah hal yang berseberangan dengan kepentingan penguasa. Wallahu ’alam
Penulis adalah , Sekjen Gerakan Mahasiswa’GEMA’ Pembebasan SULSEL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar