Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.
Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.
***
Beberapa Pemahaman Politik Islam
Perlu disebutkan di sini ialah bahwa Imam Hasan Al-Banna terbukti mampu melahirkan pemahaman-pemahaman politik Islam terkait beberapa terminonogi (istilah) politi yang berkembang di Mesir, negeri-negeri Aran dan juga Dunia Islam lainnya. Di antara terminologi tersebut adalah Al-Qaumiyyah (Nasionalisme) serta Al-Wathaniyyah (Cinta Tanah Air). Tentang masalah ini, Imam Hasan Al-Banna mengemukakan istilah-istilah baru terkait dengan prinsip nasionalisme serta menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap prinsip tersebut:
a. Nasionalisme Kebanggaan
Hasan Al-Banna rahimahullahm menyebutkan jika ada pihak yang berbangga dengan prinsip nasionalisme dengan maksud ialah kewajiban bagi generasi penerus untuk mengikuti jejak para nenek moyang mereka yang beriman kepada Allah sebagai tuhan mereka yang disembah dan ditaati, dan Islam sebagai sistem hidup, serta nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul, lalu mereka menyebarkan Islam sebagai akidah, syariat dan pandangan hidup, menerapkan hukum dengan keadilan Islam serta menyinari pola pikir manusia dengan cahaya keimanan, maka ini adalah cita-cita mulia, yang sangat relevan dengan prinsip Islam, bahkan Islam memotivasi tindakan-tindakan seperti itu.
Islam memerintahkan umatnya untuk mengikuti jejak Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM dan para Khulafaurrasyidin yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi terhadap perkembangan dakwah Islam. Di samping Islam juga memerintahkan umatnya untuk mengikuti para pendahulu yang telah mempersembahkan karya-karya terbaik mereka demi agama yang mereka anut dan eksplorasi dari pemahaman intisari Al-Qur`an, sunnah, dan ijma’ kaum Muslimin.
b. Nasionalisme Kebangsaan
Jika yang dimaksud dari istilah tersebut, bahwa umatnya harus lebih baik (utama) dengan kebaikan, harta dan segala upaya yang dilakukan sendiri, maka spirit ini seirama dengan prinsip yang dijunjung oleh Islam. Buktinya, infak terhadap karib kerabat bernilai ganda, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturrahmi dengan kerabat . Inilah yang ditetapkan Allah Ta’ala dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 215:
(يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ) [البقرة: 215]
Artinya: mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.
Hal ini juga ditegaskan juga dalam sabda Rasulullah terhadap Abi Thalhah ra, tatkala ia ingin menyedekahkan kebun kurma yang merupakan aset kekayaan yang paling ia cintai, Rasulullah bersabda: Menurutku hendaklah kamu sedekahkan kebun kurma itu pada kerabatmu. Kemudian Thalhah membagikan kebun kurma tersebut pada karib kerabat dan para anak pamannya. (Hadits Muttafaqun ‘Alaih. Lihat Riyadhush-shalihin hadis No 320).
c. Nasionalisme Jahiliyyah
Imam Hasan Al-Banna memberikan warning tegas terhadap prinsip nasionalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah, karena yang dimaksud oleh para penyeru nasionalisme semacam ini adalah upaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain, kendati mereka Muslim, menyerukan kembali kepada nilai-nilai jahiliyyah dan sebagai ganti dari nilai-nilai keimanan dan etika-etika Islam yang mulia. Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini berusaha dihidupkan kembali oleh partai-partai sekuler yang yang menuduh Islam terbelakang (kuno) sehingga harus dikikis dari realitas kehidupan. Dengan dmikian pemikiran sekuler atau komunisme tersebar luas di tengah masyarakat.
Menyikapi masalah itu Imam Hasan Al-Banna pernah mengeluarkan pernyataan: “Nasionalisme seperti ini amat terscela dan berakibat buruk, akan meruntuhkan nila-nilai kemuliaan serta menyebabkan kehilangan watak-watak terpuji. Perlu diketahui pemikiran seperti ini tidak akan merusak dan merugikan agama Allah (Islam) sedukitpun. Firman Allah dalam Qur’an surah Muhammad ayat 38:
(وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ) [محمد: 38]
Artinya: Dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.
d. Nasionalisme Permusuhan
Nasionalisme ini sesuai labelnya, berlandaskan pada semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Spirit ini telah berkembang semenjak era jahiliyah dengan segala macam jenisnya. Hal ini dapat ditangkap dari makna syair yang sangat populer di era jahiliyyah:
وَمَنْ لاَ يَظْلِم النَّاسَ يُظْلَم
Artinya: Siapa yang tidak menzhalimi orang lain, maka dia yang akan dizhalimi.
Bahkan dalam komunitas masyarakat jahiliyyah, perbuatan aniaya dan kezhaliman merupakan keutamaan, sementara orang yang tidak berbuat zhalim berhak dicemooh dan dicela. In merupakan makna perkataan penyair yang mencaci Bani ‘Ajlan: “Mereka tidak sanggup menzhalimi orang lain kendati sebesar biji sawi”.
Tipologi nasionalisme ini sangat bertentangan dengan prinsip Islam dan perikemanusiaan, karena hanya akan berakibat pada perselisihan dan pertikaian yang tak berujung antar umat manusia, sehingga terjebak dalam permasalahan yang tidak ada kebaikan di dalamnya.
Setelah Imam Hasan Al-Banna mengetengahkan beragam nasionalisme yang tak relevan dengan konsep Islam, kemudian Beliau mengatakan: “Ikhwanul Muslimin tidak memahami nasionalisme dalam implikasi di atas, sehingga jamaah Ikhwan tidak mengakui keberadaan istilah Fira’unisme, Arabisme, Pinokioisme, syryanisme dan sebagainya. Isme-isme di atas tidak berarti sama sekali dalam Islam. Tapi Ikhwanul Muslimin meyakini sabda Rasulullah yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نخوةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِاْلآباَءِ، النَّاسُ ِلآدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ، لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.
Artinya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menghapuskan arogansi jahiliyyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, karena sesungguhnya manusia berasal dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah, sehingga orang Arab tidak lebih baik dibanding orang a’jam (non Arab) kecuali dengan taqwa mereka.
e. Nasionalisme Islam
Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa prinsip nasionalisme Islam berlandaskan pada ikatan aqidah. Setiap yang beriman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang disembah, Islam sebagai agama (sistem hidup), Muhammad sebagai Nabi dan Rasul maka –dalam pandangan Ikhwanul Muslimin- ia termasuk dalam elemen umat Islam, sehingga Muslim lain berkewajiban membantu, menolong, bersedia berkorban nyawa dan harta demi melindungi saudaranya tersebut.
Ketika menulis risalah “Akan kemanakah kita dakwahi manusia” dengan judul “Nasionalisme Kita, Apa Landasannya?” Beliau mengutip ayat-ayat yang memberikan sinyalemen seputar wala’ (loyalitas) terhadap Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Beliau juga menjelaskn posisi para pendahulu kita dari kalangan orang-orang shalih yang selalu menisbatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala, sehingga mereka senantiasa berpegang teguh pada agama Islam yang kokoh dan menjadi saudara yang saling mencintai karena Allah, meskipun berbeda kelompok, suku bangsa, dan kondisi. Sampai-sampai mereka hanya bangga dengan penisbatan diri terhadap Islam. Salah seorang di antara mereka ditanya: Anda dari suku mana? Anda orang Tamim ataukah orang Qais? Lantas dia menjawab: “Bapak saya “Islam” dan saya tidak punya bapak selain Islam.” Beliau mengungkapkan hal tersebut dikala orang-orang malah berbangga-bangga dengan suku Qais atau Tamim.
Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa nasionalisme Islam adalah nasionalisme kemanusiaan yang menyerap dan menampung seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, negara asal manapun. Karena menurut Beliau, ikatan dan hubungan aqidah lebih kokoh dibanding ikatan darah, keluarga, kepentingan dan wilayah geografis tertentu. Hal itu bisa terjadi karena hubungan aqidah memberikan kesempatan bagi semua jenis bangsa manusia tergabung dalam satu ikatan “Umat Islam” yang sangat manusiawi.
f. Kebangsaan
Imam Hasan Al-Banna menguraikan dalam “risalah Dakwatuna Fi Thaurin Jadi” bahwa disana-sini muncul beragam propaganda yang santer terdengar pada zaman ini yang ditimbang dengan timbangan Islam. Yang seiring dengan prinsip Islam kita terima, sementara yang bertentangan dengan prinsip Islam kita berlepas diri darinya (tolak).
Bertolak dari cara pandang ini, Imam Hasan Al-Banna melakukan analisa dan pengkajian khusus terhadap rasa cinta tanah air (patriotism) bila ditinjau dari aspek-aspek negatif dan positifnya. Dan akhirnya Beliau menyimpulkan bagaimana konsep politik Islam terhadap implikasi dari kebangsaan atau cinta tanah air tersebut.
Beliau menegaskan bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk mencintai negeri dan tumpah darah mereka, serta melakukan tindakan bela negara dan tanah air mereka di saat kondisi menuntut demikian. Bahkan hampir di seluruh buku fiqih Islam ditemukan pembahasan mengenai bab tindakan bela negara yang diberi judul dengan “Bab Jihad”. Karena jihad adalah upaya bela negara dan tanah air, warga negara, harta dan kehormatan.
Beliau beristidlal (mengambil dalil) dari pemahaman akan kecintaan dan kerinduan Rasulullah terhadap kota Makkah. Disebutkan dalam shahih Bukhari, Rasulullah bersabda:
وَاللهِ إِنَّكَ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللهِ إِلَيَّ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ أُخْرَجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
Artinya: Demi Allah, engkau adalah negeri Allah yang paling istimewa, engkau adalah negeri Allah yang paling kucinta, jikalau bukan karena aku diusir dari negeri ini, mungkin aku tidak akan keluar -dari kota ini (Makkah)-.
Bilal bin Rabbah yang tidak memiliki sejengkal lahan pun di Makkah, namun karena pernah lama hidup di sana sehingga kecintaan hatinya telah melekat terhadap kota Makkah, bahkan Beliau tak sanggup membendung tangisannya ketika bernostalgia dengan kota ini. Bilal pernah bersenandung:
ألا ليت شعري هل أبيتن ليلة
بواد وحولي إذخر وجليل
وهل أريدن يوما مياه مجنة
وهل يبدون لي شامة وطفيل
بواد وحولي إذخر وجليل
وهل أريدن يوما مياه مجنة
وهل يبدون لي شامة وطفيل
Andai: kiranya diri ini masih sempat melewati indahnya keheningan malam, kendati satu malam
di sebuah lembah yang dikelilingi rerumputan dan orang-orang mulia,
akankah di suatu waktu nanti diri ini masih sempat meneguk segarnya mata air itu
masihkah aku dapat mengenal Syammah dan Thufail?
di sebuah lembah yang dikelilingi rerumputan dan orang-orang mulia,
akankah di suatu waktu nanti diri ini masih sempat meneguk segarnya mata air itu
masihkah aku dapat mengenal Syammah dan Thufail?
Begitulah Bilal merindukan tidur du salah satu lembah kota Makkah, melihat tumbuh-tumbuhan kecil yang memiliki aroma yang harum, meiminum dan dan membasahi matanya dengan air Makkah serta melihat du gunungnya yangbernama Syammah dan Thufail.
Imam Hasan Al-Banna menjelaskan sesungguhnya pengukuhan ikatan antara individu-individu yang hidup pada suatu wilayah tertentu atas dasar taqwa dan perwujudan cita-cita hidup dunia dan akhirat merupakan satu kewajiban dalam Islam. Hujjah Beliau adalah sabda Rasul SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM:
وَكُوْنُوْا عِبَادَ الله إِخْوَانًا
Artinya: dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Dan firman Allah dalam Qur’an surah Ali Imran 118:
(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ) [آل عمران: 118]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Pemekaran wilayah kekuasaan Islam serta penaklukkan wilayah-wilayah baru dengan sarana jihad fi sabilillah. Ini juga termasuk dalam kategori kewajiban Islam. Dalil Beliau adalah firman Allah dalamn Qur’an Surah Al-Baqarah 193:
(وَقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنةٌ وَيَكُوْنَ الدِّيْنُ ِللهِ) [البقرة: 193]
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
g. Kebangsaan sempit
Imam Hasan Al-Banna menjelaskan kebangsaan sempit tertolak dalam prinsip Islam dan bathil, karena berlandaskan pada semangat dan spirit pertikaian, perpecahan, persaingan (tidak sehat), kastaisasi bangsa ke dalam beberapa kelompok yang saling bercatur dan saling dengki satu sama lain, saling tuduh dan tuding, sebagian melakukan konspirasi terhadap sbagaian yang lain, puas dengan hukum ciptaan manusia yang dilandaskan hawa nafsu dan dibentuk oleh tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan berdasarkan maslahat pribadi.
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, sehingga mereka tak perlu berusaha ekstra dan tinggal mengeksploitir permusuhan-permusuhan tersebut demi perwujudan kepentingan dan misi mereka. Bahkan, di satu waktu musuh Islam malah makin menyulut api perpecahan sehingga permasalahan tersebut akan tetap menjadi sumber malapetaka bagi umat dan negeri-negeri mereka.
Menilai kebangsaan sempit tersebut, Imam Hasan Al-Banna berkata: “Itu adalah bentuk kebangsaan palsu yang tak akan mendatangkan faidah bagi para penyerunya dan tidak pula bagi umat manusia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar