SHUTTERSTOCK Ilustrasi penangkapan
JAKARTA, KOMPAS.com — Seolah tidak ada habisnya, oknum kejaksaan kembali dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua hari lalu atau Senin (21/11/2011), jaksa Kejaksaan Negeri Cibinong, Jawa Barat, Sistoyo, tertangkap tangan sesaat setelah diduga menerima suap Rp 99,9 juta dari pengusaha bernama Erdward dan Anton. Ironinya, Sistoyo ditangkap saat akan meninggalkan halaman kantor Kejaksaan Negeri Cibinong (Kejari Cibinong) setelah mengantongi uang Rp 99,9 juta.
Belakangan diketahui, pada hari penangkapan itu, Sistoyo baru selesai mengikuti pendidikan dalam rangka promosi jabatan. Jaksa eselon IV tersebut juga menduduki jabatan di Kejari Cibinong sebagai Kepala Subbagian Pembinaan Kejari Cibinong. Sebelumnya, dia menjabat Kepala Seksi Intelijen Kejari Pamekasan, Madura. Jabatan struktural di Kejari Cibinong yang diemban Sistoyo seolah tidak mampu menahannya untuk bekerja tanpa "main-main".
Lebih jauh dari itu, Sistoyo bukanlah satu-satunya anggota "korps Adhyaksa" yang ditangkap KPK. Sebelumnya, KPK menangkap tangan dua anggota "korps Adhyaksa", yakni Jaksa Urip Tri Gunawan dan Jaksa Dwi Seno Widjanarko. Urip ditangkap pada Februari 2008 karena diduga menerima suap Rp 6 miliar dari pengusaha Artalyta Suryani. Uang sebesar itu diduga berkaitan dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang tengah ditangani Urip.
Pada 4 September 2008, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis bersalah atas Urip sehingga dia harus menjalani hukuman penjara 15 tahun. Sementara itu, Jaksa Dwi Seno Widjanarko divonis 1,5 tahun karena dianggap terbukti melakukan upaya pemerasan terhadap pegawai Bank Rakyat Indonesia Unit Juanda, Agus Suharto. Jaksa Kejaksaan Negeri Tangerang itu ditangkap pada 11 Februari tahun lalu.
Terkait masih adanya jaksa yang tertangkap tangan KPK ini, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menilai adanya masalah yang kompleks di tubuh Kejaksaan, mulai dari proses seleksi jaksa, hingga pengawasan internal. "Bukan karena kurang duit saja, melainkan juga masalah seleksi, masalah rekruitmen," kata Adnan saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/11/2011).
Proses seleksi jaksa di Kejaksaan, katanya, kental terhadap praktik nepotisme. Akibatnya, sulit menemukan jaksa yang profesional, berintegritas, dan berkredibilitas tinggi. "Seleksi kalau dari tubuh penegak hukum sendiri, jaksa, polisi, sebagian besar dari dalam, ada hubungan persaudaraan satu sama lain, kronisme-nya cukup kuat, nepotisme-nya cukup kuat," ungkap Adnan.
Kondisi tersebut diperparah dengan pengawasan internal Kejaksaan yang belum berjalan dengan baik. Sistem kontrol Jaksa Agung ke daerah-daerah sulit dibentuk dengan baik. "Pasalnya, itu sebenarnya tanggung jawab kajati (kepala kejaksaan tinggi) dan kajari (kepala kejaksaan negeri)," kata Adnan. Namun, sayangnya, kajati dan kajari saat ini cenderung tidak mampu membangun sistem pengawasan internal yang baik.
Menurut Adnan, sistem pengawasan internal yang baik dapat dibentuk, misalnya dengan pembaruan mekanisme promosi dan mutasi jaksa. Mekanisme promosi jabatan para jaksa seharusnya dilakukan dengan memerhatikan prestasi. "Publik kan selama ini curiga mekanisme promosi ini hanya bicara soal setoran, duit, bukan prestasi," ungkapnya.
Dia menambahkan, rendahnya gaji bukanlah masalah yang membuka peluang seorang jaksa melakukan korupsi. "Korupsi akan terus terjadi meskipun gaji itu sudah diperbaiki. Ini karena tanpa ada risiko melakukan korupsi, dia akan tetap melakukannya," ucap Adnan.
"Kalau orang masih bepikir, 'ah, korupsi susah ketahuan, ah kalau ketahuan paling-paling cuma ditegur, dikasih catatan', tidak akan menimbulkan efek jera untuk tidak korupsi," tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar