Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 23 November 2011

Kolaborasi Parpol dan Caleg dalam Pemilu 2014

Partai politik (parpol) sebenarnya memiliki peran besar dalam proses berdemokrasi dalam masyarakat Indonesia. Walau harus diakui, peran parpol paling besar dirasakan ketika terjadi pemilihan umum (pemilu), sebagai pesta demokrasi rutin yang digelar untuk memilih pemimpin negara ataupun daerah, serta wakil rakyat di parlemen.

Besarnya peran parpol dalam proses berdemokrasi ketika pemilu pun kini banyak diperdebatkan. Peran parpol dinilai sangat tergantung dari sistem pemilu yang digunakan. Kini, sistem pemilu di Indonesia masih berkutat pada proporsional tertutup atau terbuka.

Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti menilai sistem proporsional tertutup dengan memilih berdasarkan nomor urut, lebih demokratis untuk digunakan pada Pemilu 2014 mendatang. Sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak yang digunakan pada Pemilu 2009 lalu dinilai telah mengambil peran-peran parpol sebagai peserta pemilu.

"Pemilu anggota DPR dan DPRD tahun 2009 lebih banyak berupa kompetisi antarcalon dari partai yang sama dan di dapil yang sama daripada kompetisi antarparpol," ungkapnya.

Dalam sistem proporsional tertutup, calon terpilih ditentukan sesuai dengan nomor urut yang ditentukan partai. Nomor urut awal lebih mendapat prioritas ketimbang para calon bernomor urut sepatu. Sebaliknya, pada sistem suara terbanyak, setiap caleg didorong untuk berkompetisi meraup suara sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan tiket kursi empuk ke Senayan.

Ramlan mengingatkan, jika sistem suara terbanyak dipertahankan, akan bertentangan dengan semangat melakukan penyederhanaan jumlah parpol. Jumlah partai politik yang masih terlalu banyak ini merugikan pemilih karena suara terpencar ke banyak partai.

"Tidak bisa menjadi satu kekuatan kolektif dan menyebabkan proses penyelenggaraan pemilu semakin kompleks," jelas mantan Wakil Ketua KPU ini.
Penerapan sistem suara terbanyak juga dinilai tidak sejalan dengan model pengambilan keputusan di DPR dan DPRD yang berdasarkan pendapat fraksi sehingga anggota dewan tidak merepresentasikan dirinya, melainkan fraksi.

"Sistem suara terbanyak juga membuka peluang bagi praktik penyimpangan pemilu yang meluas, seperti jual beli suara dan manipulasi hasil," ujar Ramlan.

Campuran

Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti memiliki pendapat berbeda. Menurut Ray, sistem proporsional tertutup dengan memilih nomor urut calon justru memanipulasi kepercayaan publik. Hal ini terjadi karena wakil rakyat yang terpilih kerap tidak sesuai dengan representasi dan keinginan rakyat.

Menurutnya, sistem proporsional tertutup juga akan mengakibatkan kaderisasi di tubuh partai politik menjadi macet.

"Para tetua menguasai dapil-dapil penting dan selalu duduk di nomor urut utama. Mereka yang biasanya kerja keras untuk parpol malah sering kali kecewa karena kursinya diambil orang lain," kata Ray.

Dia menilai sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak dinilai lebih memberi kepastian bahwa calon wakil rakyat yang mendapatkan kursi legislatif sesuai pilihan mereka.

"Bukan parpol yang menentukan, sebab parpol kurang dipercaya dan kurang bertanggung jawab. Sistem suara terbanyak ini menarik pemilih berpartisipasi karena ada harapan calon yang mereka usung supaya menang," tukasnya.

Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay menawarkan gagasan lain. Hadar menyodorkan sistem proporsionalitas campuran (mixed member propotional/MPP). Sistem ini memadukan kelebihan sistem proporsional terbuka dan tertutup.

Ia menjelaskan, dalam sistem ini kursi dewan dipilih melalui dua jalur. Pertama di dapil berwakil tunggal dan dapil berwakil banyak. Penghitungan perolehan kursi parpol dilakukan berdasarkan proporsionalitas, sedangkan penetapan calon terpilih terbagi dua, berdasarkan perolehan suara terbanyak (majority) dan nomor urut (party list).

"Berapa banyak kursi di dewan, ini harus dibagi dua. Berapa banyak yang akan diperebutkan langsung di dapil-dapil, dan berapa banyak yang diperebutkan berdasarkan nomor urut. Kalau kita mau menggunakan pendekatan fifty-fifty (50:50), maka jumlah dapilnya adalah 560 (asumsi jumlah kursi di dewan) dibagi dua, jadi 280 dapil yang kita buat," urainya.

Jumlah suara terbanyak, kata dia, diperoleh berdasarkan hasil kalkulasi perolehan suara di dapil terkait. Caleg yang memperoleh suara terbanyak, akan lebih dahulu mendapatkan kursi. Perolehan kursi berikutnya baru diberikan untuk caleg sesuai nomor urut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar