Setiap kali membicarakan masa depan negara ini dari sudut pandang politik, kita seperti dihantui pada hilangnya harapan dan kesempatan. Aura pesimisme sebagian anak bangsa terasa lebih mengemuka dibandingkan tumbuhnya semangat kebangkitan. Mimpi-mimpi akan kemakmuran bersama yang diwasiatkan oleh pendiri negara menjadi utopia di tengah kegersangan moral penguasa. Rakyat menjadi korban tidak berkesudahan oleh para aktor yang kebanyakan memainkan peran politiknya yang tidak elegan.
Politik yang elegan merupakan lawan dari politik acakadut, yakni praktek politik yang berjalan semau dan sesuak hati pemainnya. Politik acakadut adalah politik yang asal jadi, tanpa norma dan etika. Politik acakadut adalah praktek politik yang tidak enak didengar apalagi dipandang oleh mata. Sungguh tidak ada nilai-nilai edukasi yang diperoleh dari politik acakadut ini. Salah satu nama yang menganjurkan budaya politik model ini tersebutlah nama Machiavelli.
Berbicara tentang politik, memang tidak bisa lepas dari nama Machiavelli. Meskipun konsep politiknya bagus, namun nama Machiavelli sudah terlanjur diasosiasikan dengan praktek politik yang buruk. Hal ini karena anjurannya untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Dalam bukunya yang terkenal, Il Principe atau Sang Pangeran, Machiavelli menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seseorang untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Hanya Demi Kekuasaan
Machiavelli mengajarkan seseorang yang ingin berkuasa harus berhasil menarik simpati dan kepercayaan rakyat, sebab dengan itulah kekuasaan dapat diperoleh. Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapatkan kekuasaan adalah perhitungan. Karena itu, orang tersebut dituntut untuk mengerahkan segenap kemampuannya agar bisa menarik simpati rakyat. Ketika bertindak, ia mesti jeli dalam melihat situasi dan kondisi, tidak perlu dipikirkan apakah itu suatu bentuk kepura-puraan belaka. Semua hal yang ditampilkan di hadapan rakyat hanyalah demi meraih satu tujuan: kekuasaan!
Setelah kekuasaan diraih, langkah selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mempertahankannya. Dalam upaya mempertahankan kekuasaan ini Machiavelli mengajarkan bahwa seseorang harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia—tulus, penyayang, baik, pemurah—tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang seperti jahat, licik, bengis, dan kejam. Di satu sisi ia bisa menggunakan sifat-sifat manusia untuk memelihara simpati rakyatnya, sementara di sisi lain ia bisa menggunakan cara binatang, terutama ketika menghadapi lawan-lawannya.
Dikemukakan oleh Machiavelli bahwa seorang penguasa bisa menjadi singa (lion) di satu saat dan rubah (fox) di saat yang lain. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Tetapi, penguasa harus bersikap seperti rubah bila lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Sebab singa tidak mampu mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah sebagai ahlinya.
Lebih jauh lagi, agar kekuasaan dapat diraih dan dipertahankan, Machiavelli meminta seseorang memisahkan agama dari kekuasaan. Menurut Machiavelli ajaran agama digunakan saat dibutuhkan saja. Jika dianggap tidak bermanfaat lagi, agama silahkan dibuang jauh-jauh. Konsekuensi dari semua ini adalah membuat praktik beragama akan tergantung pada selera penguasa. Bahkan, agama dapat digunakan sebagai justifikasi (pembenaran) kebijakan yang sebenarnya tidak bersumber dari agama tersebut.
Dahulukan Etika dan Moral
Siapapun tahu hakikat berpolitik adalah kekuasaan (power). Jadi merupakan sesuatu yang wajar bila orang terlibat dalam politik tujuannya mencari kekuasaan. Hanya saja kekuasaan itu tidak liar dan dijalankan secara serampangan, sebab ia punya koridor. Koridor di sini adalah kepentingan nasional (national interest). Artinya kekuasaan mesti dikelola untuk kepentingan negara, bangsa, dan tanah air. Kepentingan pribadi maupun golongan sebaiknya dipinggirkan. Etika dan moral mesti menjadi patokan dalam berbuat dan bertindak.
Suramnya wajah dunia politik negeri ini karena etika dan moral telah menjadi barang langka. Panggung politik hanya menjadi arena “dagelan” sandiwara semata. Dunia politik tidak lagi menjadi sarana komunikasi yang menempatkan kepentingan semua pihak sebagai poros utamanya. Dunia politik telah berubah menjadi ruang unjuk kebolehan menunjukkan berbagai sifat inkonsistensi, anomali, dan kontradiksi dalam setiap tindakan (Budiman, 2008). Ia telah menjadi ruang tempat para aktor politik berpura-pura dan memainkan peran palsu.
Kekuasaan seharusnya tidak bisa dilepaskan dari etika dan moral. Benarlah bila para filsuf dunia mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika dan moral. Dalam pandangan Aristoteles misalnya, politik mesti dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran etika dan moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Apakah perilaku para aktor sudah sesuai koridor atau belum. Substansinya adalah ibarat dua sisi mata uang, politik sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari etika dan moral.
Praktek politik ala Machiavelli, yang menurut Leo Strauss (1957) mengajarkan kejahatan atau paling tidak immoralism dan amoralism, sudah semestinya ditinggalkan. Praktek politik sejatinya menjunjung tinggi nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan menghindari kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan. Dalam demokrasi pasti ada perbedaan cara pandang dan penilaian. Namun kita harapkan setiap individu dan kelompok agar lebih elegan dalam berpolitik. Tentunya bertujuan untuk memberikan kesejukan suasana dalam berpolitik. Jangan sampai memberikan kekisruhan yang dapat memancing gejolak di masyarakat.
Berpolitik yang Elegan
Politik yang mengedepankan etika dan moral merupakan antitesis konsep politik ala Machiavelli. Setiap orang yang terlibat kekuasaan diharapkan tahu fatsun dan tata cara berpolitik yang benar. Salah besar untuk meraih kekuasaan (kemenangan) dengan memaksakan kehendak dengan cara-cara tidak prosedural. Sebab menang dan kalah adalah sesuatu yang pasti dalam politik. Jangan hanya siap menang, tapi tidak berbesar jiwa untuk kalah. Itu tidak elegan namanya. Maka dahulukanlah moral daripada sekedar syahwat kekuasaan. Dengan prinsip itu, harapan rakyat terhadap politik dan kekuasaan bisa kembali tumbuh.
Sudah saatnya rakyat disuguhkan cara berpolitik yang elegan. Politik elegan adalah politik yang enak dipandang. Boleh terjadi pertarungan, tetapi publik hendaknya disajikan tontonan yang indah dan menarik. Hindari intrik dan cara-cara yang jauh dari etika dan moral, sehingga rakyat secara tidak langsung ikut tercerahkan. Khazanah budaya kita sangat kaya dengan kandungan pesan moral dan etika ini, termasuk etika dalam berpolitik, maka sangatlah tepat apabila kita untuk mempelajari kembali nilai-nilai tersebut agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.***
Politik yang elegan merupakan lawan dari politik acakadut, yakni praktek politik yang berjalan semau dan sesuak hati pemainnya. Politik acakadut adalah politik yang asal jadi, tanpa norma dan etika. Politik acakadut adalah praktek politik yang tidak enak didengar apalagi dipandang oleh mata. Sungguh tidak ada nilai-nilai edukasi yang diperoleh dari politik acakadut ini. Salah satu nama yang menganjurkan budaya politik model ini tersebutlah nama Machiavelli.
Berbicara tentang politik, memang tidak bisa lepas dari nama Machiavelli. Meskipun konsep politiknya bagus, namun nama Machiavelli sudah terlanjur diasosiasikan dengan praktek politik yang buruk. Hal ini karena anjurannya untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Dalam bukunya yang terkenal, Il Principe atau Sang Pangeran, Machiavelli menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seseorang untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Hanya Demi Kekuasaan
Machiavelli mengajarkan seseorang yang ingin berkuasa harus berhasil menarik simpati dan kepercayaan rakyat, sebab dengan itulah kekuasaan dapat diperoleh. Keahlian yang dibutuhkan untuk mendapatkan kekuasaan adalah perhitungan. Karena itu, orang tersebut dituntut untuk mengerahkan segenap kemampuannya agar bisa menarik simpati rakyat. Ketika bertindak, ia mesti jeli dalam melihat situasi dan kondisi, tidak perlu dipikirkan apakah itu suatu bentuk kepura-puraan belaka. Semua hal yang ditampilkan di hadapan rakyat hanyalah demi meraih satu tujuan: kekuasaan!
Setelah kekuasaan diraih, langkah selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mempertahankannya. Dalam upaya mempertahankan kekuasaan ini Machiavelli mengajarkan bahwa seseorang harus memiliki dua sifat, yaitu sifat manusia—tulus, penyayang, baik, pemurah—tetapi juga memiliki sifat-sifat binatang seperti jahat, licik, bengis, dan kejam. Di satu sisi ia bisa menggunakan sifat-sifat manusia untuk memelihara simpati rakyatnya, sementara di sisi lain ia bisa menggunakan cara binatang, terutama ketika menghadapi lawan-lawannya.
Dikemukakan oleh Machiavelli bahwa seorang penguasa bisa menjadi singa (lion) di satu saat dan rubah (fox) di saat yang lain. Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bisa berperangai seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya. Tetapi, penguasa harus bersikap seperti rubah bila lawan yang dihadapinya adalah perangkap-perangkap musuh. Sebab singa tidak mampu mengendus perangkap-perangkap itu, melainkan rubah sebagai ahlinya.
Lebih jauh lagi, agar kekuasaan dapat diraih dan dipertahankan, Machiavelli meminta seseorang memisahkan agama dari kekuasaan. Menurut Machiavelli ajaran agama digunakan saat dibutuhkan saja. Jika dianggap tidak bermanfaat lagi, agama silahkan dibuang jauh-jauh. Konsekuensi dari semua ini adalah membuat praktik beragama akan tergantung pada selera penguasa. Bahkan, agama dapat digunakan sebagai justifikasi (pembenaran) kebijakan yang sebenarnya tidak bersumber dari agama tersebut.
Dahulukan Etika dan Moral
Siapapun tahu hakikat berpolitik adalah kekuasaan (power). Jadi merupakan sesuatu yang wajar bila orang terlibat dalam politik tujuannya mencari kekuasaan. Hanya saja kekuasaan itu tidak liar dan dijalankan secara serampangan, sebab ia punya koridor. Koridor di sini adalah kepentingan nasional (national interest). Artinya kekuasaan mesti dikelola untuk kepentingan negara, bangsa, dan tanah air. Kepentingan pribadi maupun golongan sebaiknya dipinggirkan. Etika dan moral mesti menjadi patokan dalam berbuat dan bertindak.
Suramnya wajah dunia politik negeri ini karena etika dan moral telah menjadi barang langka. Panggung politik hanya menjadi arena “dagelan” sandiwara semata. Dunia politik tidak lagi menjadi sarana komunikasi yang menempatkan kepentingan semua pihak sebagai poros utamanya. Dunia politik telah berubah menjadi ruang unjuk kebolehan menunjukkan berbagai sifat inkonsistensi, anomali, dan kontradiksi dalam setiap tindakan (Budiman, 2008). Ia telah menjadi ruang tempat para aktor politik berpura-pura dan memainkan peran palsu.
Kekuasaan seharusnya tidak bisa dilepaskan dari etika dan moral. Benarlah bila para filsuf dunia mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika dan moral. Dalam pandangan Aristoteles misalnya, politik mesti dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran etika dan moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Apakah perilaku para aktor sudah sesuai koridor atau belum. Substansinya adalah ibarat dua sisi mata uang, politik sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari etika dan moral.
Praktek politik ala Machiavelli, yang menurut Leo Strauss (1957) mengajarkan kejahatan atau paling tidak immoralism dan amoralism, sudah semestinya ditinggalkan. Praktek politik sejatinya menjunjung tinggi nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan menghindari kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan. Dalam demokrasi pasti ada perbedaan cara pandang dan penilaian. Namun kita harapkan setiap individu dan kelompok agar lebih elegan dalam berpolitik. Tentunya bertujuan untuk memberikan kesejukan suasana dalam berpolitik. Jangan sampai memberikan kekisruhan yang dapat memancing gejolak di masyarakat.
Berpolitik yang Elegan
Politik yang mengedepankan etika dan moral merupakan antitesis konsep politik ala Machiavelli. Setiap orang yang terlibat kekuasaan diharapkan tahu fatsun dan tata cara berpolitik yang benar. Salah besar untuk meraih kekuasaan (kemenangan) dengan memaksakan kehendak dengan cara-cara tidak prosedural. Sebab menang dan kalah adalah sesuatu yang pasti dalam politik. Jangan hanya siap menang, tapi tidak berbesar jiwa untuk kalah. Itu tidak elegan namanya. Maka dahulukanlah moral daripada sekedar syahwat kekuasaan. Dengan prinsip itu, harapan rakyat terhadap politik dan kekuasaan bisa kembali tumbuh.
Sudah saatnya rakyat disuguhkan cara berpolitik yang elegan. Politik elegan adalah politik yang enak dipandang. Boleh terjadi pertarungan, tetapi publik hendaknya disajikan tontonan yang indah dan menarik. Hindari intrik dan cara-cara yang jauh dari etika dan moral, sehingga rakyat secara tidak langsung ikut tercerahkan. Khazanah budaya kita sangat kaya dengan kandungan pesan moral dan etika ini, termasuk etika dalam berpolitik, maka sangatlah tepat apabila kita untuk mempelajari kembali nilai-nilai tersebut agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.***
Zulkarnain
Staf Pengajar Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar