Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Selasa, 08 November 2011

Moratorium Remisi Diskriminatif



image
SM/dok
Denny Indrayana

JAKARTA- Kebijakan moratorium atau pembekuan sementara remisi tanpa mengubah UU Nomor 12 Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Remisi dan Pembebasan Bersyarat, dinilai menggambarkan dengan jelas rendahnya kualifikasi penggagas kebijakan tersebut.
Selain itu, moratorium remisi juga diskriminatif karena tidak diberlakukan sama terhadap para pelaku korupsi. Ada koruptor yang bisa mendapatkan pembebasan bersyarat, sementara pelaku lain ditolak.
“Sikap tidak bertanggung jawab dan menyederhanakan persoalan yang diperlihatkan (wakil menteri hukum dan HAM) Denny Indrayana itu memprihatinkan. Cara Wamenkumham mengatasi persoalan dengan sekadar meralat kata moratorium menjadi pembatasan, sama sekali tidak mencerminkan sikap penuh tanggung jawab seorang pejabat tinggi negara,” kritik anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo.
Selain dinilai tidak layak, sikap tersebut juga tidak pada tempatnya. Sebab, seorang pejabat publik tidak boleh bertindak suka-suka seperti itu.
Politikus Partai Golkar itu juga mengungkapkan, ada diskriminasi dalam pemberlakuan remisi. Dia mencontohkan, permohonan bebas bersyarat Paskah Suzetta yang sudah disetujui pada 12 Oktober, ditangguhkan oleh Menkumham Amir Syamsuddin.
Namun permohonan serupa yang diajukan Daniel Tandjung pada 28 Oktober dikabulkan.
Paskah dan Daniel adalah terpidana kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom pada 2004. Keduanya sama-sama divonis 1,5 tahun penjara dan sudah menjalani 2/3 masa hukumannya. Bedanya, Paskah orang Golkar, Daniel dari PPP.
“Wamenkumham memanfaatkan jabatannya untuk mendiskreditkan kekuatan-kekuatan politik tertentu dan berupaya mendulang pencitraan,” tambah Bambang.
Kekhawatiran moratorium remisi diselewengkan juga dilontarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW Donal Fariz, Selasa (8/11), menjelaskan, moratorium remisi adalah langkah yang sangat bagus untuk membuat jera koruptor. Namun tanpa aturan tertulis yang jelas, kebijakan semacam itu berpotensi diselewengkan.
’’Kami mendukung pengetatan remisi karena pada praktiknya selalu ada obral remisi tiap tahun,’’ ujar Donal.
Donal menduga, obral remisi dan pembebasan bersyarat yang terjadi selama ini pun akibat penyimpangan pelaksanaan peraturan.
Jika yang diatur secara tertulis saja diselewengkan, apalagi jika aturan bersifat lisan.
Namun Donal berpendapat, harus ada dasar hukum yang jelas terkait pengetatan tersebut. ’’Peraturan soal remisi dan pembebasan bersyarat harus direvisi,’’ katanya.
Sebelumnya, Denny Indrayana mengakui bahwa kebijakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi adalah pencitraan.
“Kalau ada tudingan bahwa saya melakukan pencitraan dengan mengusulkan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi, itu benar,” kata Denny, Sabtu (5/11) lalu.
Namun, pencitraan yang dilakukannya adalah pencitraan bagi penegakan hukum Indonesia. Dia ingin penjara menjadi neraka bagi koruptor, bukannya surga.
Dia juga menegaskan bahwa Kemenkumham akan memberlakukan pengetatan pemberian remisi terhadap terpidana korupsi tanpa pandang bulu.
Menurut Denny, pengetatan remisi tidak menghapuskan sama sekali pemberian remisi. Tetap ada pemberian remisi dengan persyaratan yang diperketat. (J13,K22,H28-43)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar