Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 23 November 2011

Syariah Melindungi Minoritas

Faktanya, ketika minoritas non-Muslim hidup di wilayah Islam mereka terlindungi dan bebas menjalankan agamanya. Sebaliknya, ketika umat Islam yang minoritas jika tidak dimurtadkan atau diusir, mereka pasti dibantai.

Syariat Islam diturunkan Allah Swt kepada Rasulullah Saw sebagai rahmat bagi seluruh alam termasuk di dalamnya umat manusia, apapun warna kulit, agama ras, dan segala latar belakang mereka. “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya [21]: 107). Menurut syariat Islam, warga negara yang mendiami wilayah yang didalamnya diterapkan syariat Islam secara sempurna dibagi menjadi dua, yaitu Muslim dan non-Muslim. Warga negara non-Muslim disebut sebagai dzimmi (Ahlu Dzimmah), yang berarti orang yang berada dalam perlindungan.

Ada dua kategori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan kategori kedua adalah umat-umat agama lainnya. Menurut Imam Al Mawardi dalam kitab Al Ahkam As Sulthaniyah, yang termasuk dalam kategori Ahli Kitab, yakni  orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan memakan binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat agama lainnya, seperti Majusi, ash-Shabiah, dan orang kafir lain (penyembah berhala, Hindu, Budha, Kong Huchu, dll),  memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab, namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam, dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim.

Kedudukan Ahlu Dzimmah


Syariat Islam menempatkan semua orang yang tinggal di Negara Islam sebagai warganegara dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi jiwa, keyakinan, kebebasan beribadah, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.

Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)

Imam Qarafi ketika menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah, beliau mengatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”

Hubungan antara Negara Islam dengan ahlu dzimmah diatur dalam perjanjian yang disebut dengan ‘aqd adz-dzimmah. Orang-orang non-Muslim dijamin untuk tetap dalam agama mereka, dengan syarat cukup membayar jizyah dan terikat dengan hukum yang berlaku. Akad tersebut merupakan akad selama hidup, yang menjamin non-Muslim mendapatkan keamanan, perlindungan dan kehormatan. Dengan akad tersebut mereka menjadi warga Negara Islam.

Jaminan Kebebasan Beragama

Islam menjamin hak-hak ahlu dzimmah, dan memberikan keistimewaan kepada mereka, termasuk jaminan kebebasan beragama. Mereka dijamin untuk tetap memeluk agamanya, dan tidak boleh dipaksa masuk Islam. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.(QS. al-Baqarah [02]: 256).

Kebijakan ini juga tampak dengan jelas dalam surat Rasulullah saw kepada Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani Yaman yang diserukan untuk memeluk Islam: “Siapa saja orang Yahudi atau Nasrani yang telah memeluk Islam, maka dia merupakan orang Mukmin. Dia berhak mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan orang Mukmin. Dan siapa saja yang tetap dengan ke-Yahudian atau ke-Nasraniannya, maka dia tidak boleh dihasut untuk meninggalkannya.” (Lihat, Abu ‘Ubaid, al-Amwal, hal. 28; Ibnu Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz II/588)

Karena itu, mereka diberikan kebebasan untuk memeluk agamanya; beribadah dengan tatacara agamanya; makan dan minum sesuai dengan ketentuan agamanya; kawin dan cerai mengikuti agamanya. Mereka diperbolehkan untuk makan babi dan minum khamer, serta mengenakan pakaian sesuai dengan ketentuan agamanya. Semuanya ini merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Islam kepada mereka.

Sementara untuk pendirian tempat-tempat ibadah, seperti Gereja dan Sinagog, persoalan ini dikembalikan pada status wilayah tersebut. Menurut Abu ‘Ubaid dan Ibnul Qayyim seperti dikutip Dr. Kamal Sa’id Habib dalam bukunya, al-Aqalliyat wa as-Siyasah fi al-Khubratil al-Islamiyah, jika daerah tersebut merupakan daerah hasil penaklukan maka diperbolehkan orang-orang non-Muslim untuk merenovasi dan membangun tempat ibadah mereka setelah mendapat persetujuan dari Imam (kepala negara). Sedangkan daerah-daerah yang sejak semula ditempati oleh umat Islam, maka tidak diperbolehkan berdiri tempat-tempat beribadah orang-orang non-Muslim.

Tidak Boleh Dizhalimi

Sebagai warga Negara Islam, hak-hak orang non-Muslim dijamin oleh Islam. Bahkan Islam mengancam siapa saja yang melakukan kezaliman kepada mereka, atau menciderai hak-hak mereka. Nabi saw bersabda: “Siapa saja yang berbuat zalim kepada orang Kafir Mu’ahad, mengurangi haknya, membebaninya melebihi kemampuannya, atau mengambil hak miliknya tanpa seizin mereka, maka aku akan menjadi pembelanya pada Hari Kiamat.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Sahal bin Abi Hatmah menuturkan, bahwa ada beberapa orang dari kaum Anshar bertolak ke Khaibar. Mereka berpencar, tiba-tiba mereka mendapati salah seorang di antara mereka terbunuh. Mereka mengatakan kepada orang-orang yang temukan: “Kalian telah membunuh teman kami.” Mereka menjawab: “Kami tidak membunuh, dan kami tidak tahu, siapa pembunuhnya?” Mereka pun bertolak kepada Nabi, seraya berkata: “Ya Rasulullah, kami berangkat ke Khaibar, lalu kami menemukan salah seorang di antara kami terbunuh.” Nabi bersabda kepada mereka: “Yang paling tua, majulah! Yang paling tua, majulah!” Nabi bertanya lagi kepada mereka: “Kalian bisa mendatangkan bukti, siapa yang membunuhnya?” Mereka menjawab: “Kami tidak mempunyai bukti.” Nabi bersabda: “Kalau begitu, mereka harus bersumpah.” Orang-orang Anshar itu berkata: “Kami tidak bisa menerima sumpah orang-orang Yahudi.” Rasul pun enggan menyia-nyiakan darahnya, maka Baginda Saw membayar diyat orang tersebut dengan 100 onta sedekah (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari sini tampak, bahwa Rasulullah Saw telah melakukan apa yang tidak terbayangkan oleh siapapun. Bahkan, Beliau telah membayarkan sendiri diyat-nya dari harta kaum Muslim agar bisa meredam kemarahan kaum Anshar, dan tidak menzalimi orang-orang Yahudi. Dalam kondisi seperti ini, Negara Islamlah yang justru mengambil alih tanggung jawab tersebut, sehingga tidak ada satu sanksi (jinayah) yang diterapkan kepada orang Yahudi tersebut sementara di dalamnya masih terdapat syubhat.

Hartanya Terlindungi

Islam benar-benar menjamin harta non-Muslim. Harta mereka diharamkan diambil atau dikuasai dengan cara yang batil, baik dicuri, dirampas, dirampok atau bentuk-bentuk kezaliman yang lain. Secara nyata, kebijakan tersebut tampak pada zaman Nabi Saw kepada penduduk Najran: “Penduduk Najran dan keluarga mereka berhak mendapatkan perlindungan Allah, dan jaminan Muhammad utusan Allah, baik harta, agama maupun jual-beli mereka, serta apa saja yang ada dalam kekuasaan mereka, baik kecil maupun besar.” (HR. al-Baihaqi)

Bahkan, di antara kebijakan yang sangat menakjubkan terhadap hak minoritas non-Muslim yang dijamin oleh Negara Islam dari Baitul Mal, ketika kondisi mereka lemah, tua atau miskin. Abu ‘Ubaid dalam kitab Al Amwal menuliskan bahwa Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab, dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah memberikan sedekah untuk keluarga orang Yahudi, yang dikirimkan kepada mereka.”

Fakta Sebaliknya

Sejarah telah membuktikan kehidupan non-Muslim dibawah naungan Syariat Islam. Mereka hidup dengan tenang, aman, makmur dan sejahtera. Karena itulah tak mengherankan bila orang-orang Kristen justru membantu penaklukan Mesir. ‘Amr bin ‘Ash membiarkan penganut Kristen Koptik (Qibti) dengan agama mereka. Karena itulah di kemudian hari ada Sekjen PBB bernama Boutros Boutros Ghali yang berasal dari Mesir dan beragama Kristen Koptik. Jika saat penaklukan, orang-orang Kristen Koptik dibantai oleh pasukan Amr tentu tidak akan pernah dikenal nama Boutros Botros Ghali.

Sementara penaklukan Spanyol oleh Panglima Thariq bin Ziyad juga atas ‘undangan’ dari  Akhila –putra mahkota di Semenanjung Iberia- agar Thariq menyerang Spanyol dan mengalahkan Raja Roderick.

Pada masa kekhalifahan Turki Utsmani orang-orang Yahudi yang terusir di Barat, berbondong-bondong masuk ke wilayah Islam. Mereka datang dari Polandia, Austria, Jerman dan Italia. Kepindahan mereka mencapai puncaknya saat terjadi pengusiran Yahudi dari Spanyol pada 1492. Negara Islam menyambut mereka dengan toleransi yang tinggi, hingga hampir di setiap pelosok terdapat imigran Yahudi. Di Salonika lebih dari 60% penduduknya Yahudi.

Fakta ini berkebalikan dengan kondisi ketika umat Islam minoritas. Saat Spanyol kembali jatuh ke tangan orang-orang Kristen, umat Islam dimurtadkan, diusir bahkan dibantai melalui Pengadilan Inkuisisi. Saat ini di Indonesia, di daerah-daerah yang non-Muslimnya mayoritas atau bahkan fifty-fity sekalipun, umat Islam  juga menerima perlakukan yang tidak adil. Di Ambon dan Poso, hingga kini umat Islam terus dibayang-bayangi serangan dari non-Muslim. Jangan-jangan nanti akan ada istilah Muslim Dzimmi?.

Shodiq Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar