Jakarta - Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud Md terkait praktik jual beli pasal di DPR, bukan isapan jempol semata. Seorang mantan anggota DPR menuturkan, jual beli pasal ini dilakukan sendirian oleh anggota parlemen atau melalui fraksi saat proses pembahasan RUU berlangsung.
"Bisa lewat fraksi masing-masing, atau ada juga main sendiri," kata seorang bekas anggota DPR yang enggan disebutkan namanya kepada detikcom, Rabu (16/11/2011).
Politisi yang pernah bermasalah dengan hukum gara-gara suap pembahasan pasal di DPR ini menjelaskan, jalur fraksi lebih banyak dipilih mereka yang berkepentingan dengan undang-undang. Alasannya, jalur fraksi bisa lebih efektif untuk memperjuangkan 'pesanan' daripada lewat individu.
"Kalau sendiri nggak bisa. Perdebatan satu titik koma, kata-kata diputar, kesempatannya untuk berbicara menanggapi pasal-pasal. Yang dibutuhkan hanya bisa lewat fraksi," tuturnya.
Nah, dia juga menambahkan, tarik-menarik kepentingan akan muncul ketika membahas Daftar Isian Masalah (DIM) dalam RUU. Masing-masing fraksi akan beradu argumen untuk memperjuangkan kepentingannya, entah itu kepentingan rakyat atau orang yang memesan pasal.
"Sejak era Reformasi, banyak UU yang diprotes oleh MK karena dibuat emosional, membawa kepentingan kita tidak tahu, karena dalam proses berjam-jam atau berhari-hari," jelasnya.
"Karena dibuat secara emosional bahasanya juga kurang canggih. Makanya selalu bersayap, kepentingan itu bisa masuk dan (jual-beli) bisa terjadi," tambahnya.
Sayangnya, anggota DPR yang pernah membidangi keuangan ini enggan membeberkan berapa tarif pasal yang dijualbelikan di DPR. Saat kasus itu bergulir, dia mengaku hanya menjalankan perintah fraksi.
"Saya nggak tahu, hanya dapat arahan fraksi kita memperjuangkan begini," tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md mengatakan, sejak tahun 2003 ada 406 kali uji materi terhadap berbagai produk UU. Sementara yang dikabulkan oleh MK ada 97 buah. Ada tiga hal yang melatarbelakangi buruknya produk legislasi di DPR tersebut. Salah satunya karena ada praktik jual beli pasal.
"Ketiga, ada lembaga di luar yang menyediakan uang besar untuk menggolkan isi UU," terangnya kepada detikcom.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar