Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 16 November 2011

Reformasi Terancam


Hiruk-pikuk reshuffle kabinet telah berlalu. Sementara itu, pusaran perubahan lingkungan global dan domestik terus berlanjut. Kemungkinan besar dampak banjir Thailand akan memberi berkah untuk Indonesia.

Namun, krisis Eropa menjadi tantangan. Persoalan Papua jelas tidak sepele, harus menjadi agenda penting ke depan pemerintahan SBY pascareshuffle, begitu pula budaya dan kelambanan birokrasi yang ajek dan akhirnya masalah korupsi yang masih bergelayut seiring dengan masalah kualitas pelayanan publik yang merosot di beberapa instansi pusat dan daerah.

Dalam analisis para pakar hanya sebagian kecil saja yang menyatakan optimistis, selebihnya pesimistis. Jelas ini menjadi tantangan buat kabinet baru hasil reshuffleyang lalu.Dari sudut disiplin administrasi negara, sebetulnya tindakan-tindakan pemerintah apa pun harus diukur apakah berdampak pada kemajuan (reformis) atau malah kemunduran (inefisien atau inefektif) alias anti-reform?

Reshuffle yang lalu membawa sejumlah menteri dengan muka baru terpasang.Sejumlah menteri yang menduduki pos baru dari pos lama juga telah ditetapkan.Yang tidak kalah menarik adalah kedudukan wakil menteri yang kian banyak dengan muka baru. Martani Huseini dan Yusril Ihza Mahendra (SINDO/31 Oktober dan 1 November) telah mengupas panjang soal wakil menteri ini. Namun keduanya belum mengupasnya dari sudut reformasi.

Pisau Tumpul?

Reformasi politik bangsa Indonesia menghasilkan sistem presidensial yang agak lemah yang bisa disebabkan oleh mekanisme pilpres secara langsung. Lemah karena penyusunan kabinet tidak dilakukan sendiri oleh pasangan pemenang pilpres, melainkan melalui koalisi. Efek reformasi politik Indonesia tersebut tidak diantisipasi dengan baik, malah sekarang sedang diperbaiki melalui angka threshold.

Sebetulnya yang terpenting adalah kedudukan atau hubungan antara eksekutif dan parlemen dalam sistem multipartai dan sistem presidensial yang dipertahankan seperti apa. Akibat selanjutnya adalah hubungan kerja antara parlemen dan eksekutif terpasung oleh politik saling sandera.

Seterusnya beban eksekutif seolah-olah meningkat dalam matra politik.Jadilah adanya kedudukan wakil menteri agar dapat mengamankan politik internal atau politik eksternal birokrasi. Wakil menteri ada karena sematamata kepentingan politik praktis birokrasi-eksekutif, sementara perangkat hukum untuk kedudukan ini tidak disiapkan dengan baik.

Dari sisi hukum, wakil menteri tidak memiliki kekuasaan mengatur (regulation power). Kita tahu proses reshuffle di Indonesia dilakukan sendiri langsung oleh Presiden, termasuk pengisian jabatan wakil menteri ini. Di mata bangsa Indonesia kedudukannya sangat prestisius, bahkan di mata birokrasi kementriannya, termasuk oleh menterinya.

Namun, apakah sang menteri dapat melakukan pembagian tugas kepada wakilnya tersebut? Efek diangkat oleh Presiden secara langsung dan dilakukan semacam fit and proper test dari kediaman Presiden secara langsung dapat berdampak pada hubungan antara menteri dan wakil menterinya, kecuali di bawah tangan ada mekanisme usulan dari menterinya tersebut.

Dapat diprediksi gaya kepemimpinan kedua orang,baik menteri maupun wakil menterinya, dapat berpengaruh terhadap baik kinerja masingmasing maupun kinerja kementeriannya secara keseluruhan. Gaya kepemimpinan yang lembek dari sangwakil akan menghasilkan naiknya beban kementeriannya karena secara normatif kedudukan wakil menteri tidak memiliki kekuasaan yang berarti.

Sebaliknya, gaya kepemimpinan yang kuat akan menghasilkan pisau bermata dua yang dapat merusak pula kinerja kementeriannya jika berbeda pendapat. Gaya yang kuat ini dimulai dengan inovasi usulan agar tanggung jawabnya diperbesar dengan pengaturan dari sang menterinya.Begitu diperbesar, dapat saja berefek positif ke arah perbaikan, tetapi sangat mungkin dapat merusak kinerja kementeriannya.

Sang wakil dapat mengubah kebijakan yang sudah tersusun rapi, termasuk mengubah anggaran yang telah tersusun. Kemungkinan negatif ini harus diimbangi dengan gaya kepemimpinan yang kuat dari menterinya.Namun, akibat mekanisme reshuffle yang lalu,dapat saja timbul persepsi bahwa kedudukan wakil menteri sama prestisius dengan menterinya. Inilah yang menyulitkan dalam manajemen kementerian.

Nasib Reformasi

Potensi ancaman nasional untuk manajemen pemerintahan SBY-Boediono yang besar dalam hal ini adalah nasib reformasi. Adanya pos baru eksekutif dalam kementerian akan berimplikasi pada pembengkakan struktur organisasi. Pembengkakan struktur ini akan berakibat pada pembengkakan birokrasi yang ada di dalam kementerian.

Bagaimana mungkin akan terjaga efisiensi di tubuh kementerian dengan jabatan eksekutif baru yang diperbanyak? Secara kasatmata dengan hitung-hitungan akal sehat akan menghasilkan jawaban pembengkakan biaya. Jikapun digenjot kinerjanya, dalam waktu kepemimpinan SBY sudah separuh waktu, apa yang dapat diharapkan? Kesalahan ini akibat konsep reformasi di Indonesia hanya sebatas reformasi birokrasi.

Konsep birokrasi kita tahu hanya sebatas menteri ke bawah. Padahal sebetulnya dalam literatur yang benar adalah reformasi administrasi. Jadi langkah reshuffle juga harus diperhitungkan dari sudut ukuran reformasi tersebut. Langkah Presiden mengangkat wakil menteri jelas berlawanan dengan ukuran reformasi administrasi.Dari sudut reformasi birokrasi pun kita terancam.

Birokrasi kita bakal membengkak. Jika Presiden hendak dinilai reformis, harus ada perubahan ke arah yang lebih baik. Kata kuncinya adalah output dan outcome harus dievaluasi dan direspons terus oleh Presiden sendiri. Presiden jangan lepas tangan dalam hal ini, langsung dari dirinya memantau 24 jam sehari bila perlu.

IRFAN RIDWAN MAKSUM
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara-Universitas Indonesia, Ketua Program MIA-SPs-UMJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar