Sementara Indonesia sebenarnya tidak memerlukan sosok-sosok tua lagi terkenal untuk menjadi pemimpin dinegeri ini dan Indonesia tidak lantas akan runtuh kalau yang memimpin kaum muda dan tidak terkenal.
Tua, terkenal dan punya harta yang berlimpah boleh jadi memang sudah bagian dari proses rekrutmen pemimpin yang menduduki posisi-posisi penting dinegeri ini, meskipun dibeberapa tempat ada kaum muda yang memimpin. Tetapi keberadaan kaum muda yang menjadi pemimpin dibeberapa daerah masih belum terlepas dari kooptasi pihak tua yang bermain politik tingkat tinggi untuk menjegal setiap “gebrakan” baru yang dibuat, yaitu dengan mempersulit setiap rencana anggaran yang diajukan diparlemen. Sehingga masyarakat melihat kesan bahwa kepemimpinan kaum muda tidak becus.
Sulitnya proses untuk memunculkan pemimpin-pemimpin muda untuk maju menjadi pemimpin bagi negeri ini jelas terkait dengan proses politik yang terjadi dalam setiap partai politik yang ada. Bahwa posisi-posisi strategis dipartai politik dipegang oleh mereka-mereka yang notabene adalah kaum tua berduit dan punya kepopularitasan yang tinggi dimasyarakat menjadi penghalang utamanya. Dibeberapa kasus, popularitas yang dimiliki kaum tua dan kedudukan yang dimiliki saat itu bisa menjadi alat tawar untuk berpindah kendaraan politik. Artinya proses pengkaderan dipartai politik yang terjadi selama ini mandeg disebabkan oleh hal-hal seperti itu. Kalaupun ada kaum muda yang lulus memasuki jenjang-jenjang pengkaderan disebuah partai tidak lebih dari sekedar alat kaum tua dan menjadi penjilat adalah sebuah proses yang harus dilakukan.
Menjadi sangat wajar bila dalam beberapa dasawarsa kita tidak menemukan pemimpin-pemimpin muda, disebabkan karena proses politik dipartai tidak sehat.
Para pemilih pun punya kecenderungan untuk memilih sosok pemimpin yang punya tiga kriteria diatas, yaitu Tua, Populer/Terkenal dan Harta Berlimpah. Sehingga tidak heran kalau kita sering mendengar atau malah pernah disodorkan beberapa lembar uang untuk memilih sosok tua tersebut.
Keengganan untuk melihat program yang ditawarkan, juga keengganan para calon pemimpin untuk menawarkan program riil dan bisa diimplementasikan kepada calon pemilihnya adalah pemandangan yang biasa kita temui. Kalaupun dilakukan pemaparan visi-misi calon pemimpin hanyalah sebuah retorika belaka dan yang menyaksikan pun orang-orang tertentu saja, bukan masyarakat secara keseluruhan.
Mandegnya sistem kaderisasi dipartai politik jelas berpengaruh dalam proses memunculkan pemimpin-pemimpin muda bagi negeri ini, sekaligus menumpulkan kesiapan dan kemampuan partai politik yang memenangkan pertarungan pemilu dan pilpres untuk mendukung program-progam pemimpin negeri ini. Karena program partai politik yang selama ini dilakukan hanyalah program parsial, bukan program yang berkesinambungan ada atau tidak adanya perhelatan pesta demokrasi.
Bila kemudian kaum tua masih saja mendominasi bursa pencalonan di parlemen dan pilpres tahun 2014 kelak, boleh jadi kita hanya berganti kepemimpinan saja. Sedangkan apa yang menjadi harapan besar seluruh rakyat Indonesia untuk hidup sejahtera dan berkeadilan hanyalah menjadi mimpi belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar