Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Rabu, 16 November 2011

Indonesia di Antara Dua Ironi Besar


Dari hari ke hari, kehidupan orang kebanyakan di negeri ini semakin suram saja. Puluhan juta jumlah orang miskin di negeri zamrud katulistiwa ini, sepertinya -bagi penguasa- tak lebih dari sekadar deretan angka dan huruf, tanpa makna.

Banyak orang bertanya, bagaimana mungkin Negara yang memiliki keberlimpahan sumber daya ala mini belum juga keluar dari keterpurukannya? Tidak adakah kolerasi positif antara melimpahnya sumber daya alam itu dengan kesejahteraan rakyat?

Negara Gagal

Selama tahun 2011 ini, ada dua ironi besar bagi eksistensi Indonesia. Pertama, pada awal tahun 2011, Indonesia kembali digoyang oleh fakta yang diungkapkan lembaga The Fund for Peace dan majalah Foreign Policy tentang failed state index (indeks Negara gagal); Indonesia berada di posisi ke 61.

Semakin tinggi peringkat suatu negara dalam indeks itu berarti semakin mendekati negara gagal. Indeks tersebut memasukkan 177 negara ke dalam empat posisi dari segi dekat jauhnya terhadap kategori negara gagal, yaitu posisi waspada (alert), dalam peringatan (warning), sedang (moderate), dan bertahan (sustainable).

Selama periode 2005-2010, Indonesia selalu berada dalam kategori negara ”dalam peringatan”. Posisi itu lebih dekat jaraknya dengan posisi ”waspada” negara gagal ketimbang dengan posisi ”bertahan”. Indonesia bahkan belum masuk di zona negara moderat.

Yang lebih merisaukan, keberhasilan Indonesia untuk menurunkan peringkatnya selama periode 2007-2009—dari urutan ke-55 (2007) menjadi ke-60 (2008) dan ke-62 (2009)—mengalami kenaikan lagi pada tahun pertama periode kedua pemerintahan Presiden SBY. Pada 2010, peringkat Indonesia naik satu tingkat menjadi urutan ke-61.
 
Indikator Kegagalan

Bahwa Indonesia di ambang negara gagal bisa dilihat dari indikator umum dari sifat-sifat negara gagal. Menurut indeks itu, ciri-ciri umumnya, antara lain, negara dengan pemerintah pusat yang lemah atau tidak efektif dalam mengendalikan pemerintah daerah, kelumpuhan pelayanan publik, penyebarluasan korupsi dan kriminalitas, eksodus penduduk ke luar negeri, serta memburuknya kehidupan perekonomian.
Proyeksi failed state itu didasarkan pada faktor sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan faktor itu, secara umum perkembangan Indonesia makin memburuk. Secara sosial, pertumbuhan penduduk dan arus buruh migran tak bisa dikendalikan. Secara ekonomi, kesenjangan ekonomi makin melebar, kemunduran ekonomi membayang dalam melambungnya harga-harga, cadangan pangan menipis, serta kemiskinan dan pengangguran tinggi.

Secara politik, kriminalisasi lembaga negara (semacam Komisi Pemberantasan Korupsi) dan keterlibatan pejabat negara dalam tindak kriminal membuncah. Memburuknya pelayanan publik tecermin dari keterpurukan moda transportasi umum dan sarana publik lain. Sedangkan intervensi asing membayang dalam pilihan kebijakan ekonomi dan politik.

Menurut Peter Burnell dan Vicky Randall (2008), negara gagal dicerminkan pada ketakmampuannya mengorganisasikan aparaturnya secara efektif, yang mengarah pada kekacaubalauan politik (political disorder). Hal itu ditandai dengan ketidakjelasan otoritas politik, ketidakefektifan administrasi publik, dan merajalelanya korupsi. Hukum tidak bisa diterapkan, ketertiban umum tak bisa dipelihara, kohesi sosial membusuk, keamanan sosial (terutama bagi rakyat miskin) menghilang, dan legitimasi pun memudar.

Sementara Noam Chomsky (2006) mengatakan setidaknya ada dua karakter utama yang membuat suatu negara dapat disebut sebagai negara gagal. Pertama, negara yang tidak memiliki kemauan atau kemampuan melindungi warganya dari berbagai bentuk kekerasan, dan bahkan kehancuran. Kedua, tidak dapat menjamin hak-hak warganya, baik di tanah air sendiri maupun di luar negeri; dan tidak mampu menegakkan dan mempertahankan berfungsinya institusi-institusi demokrasi.

Buruknya IPM Indonesia

Kedua, kecenderungan Negara gagal di atas semakin menguat pada awal November 2011. Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) merilis, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada di urutan ke-124 dari 187 negara yang disurvei. IPM Indonesia hanya 0,617, jauh di bawah Malaysia di posisi 61 dunia dengan angka 0,761.

Seperti lazimnya, reaksi langsung muncul. Apalagi, dalam setiap data memang selalu ada celah untuk timbulnya perdebatan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, menyatakan, penurunan IPM Indonesia karena adanya perbedaan penghitungan indeks pendidikan antara UNDP dan kementeriannya. UNDP menggunakan versi rata-rata lama sekolah 5,8 tahun diukur dari penduduk usia 25 tahun ke atas, sementara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memakai data Susenas 2010 Badan Pusat Statistik, yaitu rata-rata lama sekolah 7,9 tahun diukur dari penduduk usia 15 tahun ke atas.

Terlepas dari perbedaan perhitungan tersebut, menurut Max Regus (lampungpost.com, 11/11/2011), ada dua hal yang bisa diungkapkan. Pertama, kecurigaan bahwa politik pembangunan belum berorientasi pada kemanusiaan. Manusia belum menjadi subjek  pembangunan, sehingga hasil pembangunan hanya terakumulasi pada sekelompok orang.

Kedua, otokritik harus berakhir pada evalusasi progresif terhadap segenap politik dan pendekatan pembangunan nasional. Memperbanyak gedung dan kemegahan fisik menjadi tidak bermakna ketika manusia ditelantarkan dalam deru pembangunan. Korelasi negatif antara anggaran pendidikan dan IPM dalam laporan UNDP menegaskan kelalaian politik kekuasan menjaga prioritas pembangunan di negeri ini.

Pembangunan manusia Indonesia bukan saja tidak serius, juga terhimpit di antara kompetisi politik kekuasaan. Rakyat terjebak dalam sirkulasi kekuasaan yang dikendalikan politisi dengan target jangka pendek sehingga pembangunan kehilangan basis kemanusiaan.

Ukuran keberhasilan pembangunan yang bersentuhan kemanusiaan diganti dengan pertimbangan ekonomi yang bisa masuk ke kantong politisi. Oleh sebab itu, politik pembangunan kehilangan salah satu prinsip paling mendasar yaitu keberlanjutan kehidupan. Kemunduran IPM mencederai prinsip fundamental ini. Ada bayangan kelam tentang masa depan manusia Indonesia, terutama ketika kita hendak memproyeksikan bangsa ini dalam ruang globalisasi dan pasar bebas.

Politik Pembangunan

Ketersediaan modal ekonomi dan sumber daya alam yang semakin menipis mengusik orang untuk melihat bagaimana manusia di dalam dirinya sendiri menjadi titik pangkal perintisan sejarah masa depan yang lebih baik.

Giles Atkinson dkk, dalam Handbook of Sustainable Development (2007) secara gamblang menyebutkan sisi-sisi utama aspek keberlanjutan pembangunan. Akumulasi modal ekonomi sekaligus keuntungan harus digeser ke sisi kemanusiaan sebagai orientasi pembangunan. Hitungan tidak lagi terutama pada besaran saldo pembangunan, tapi bagaimana pembangunan memajukan kualitas kemanusiaan.

Penyelenggaraan kekuasaan yang tidak dilandasi keseriusan penegakan hukum di level tertinggi kekuasaan telah menumbuhkan banyak pertanyaan publik. Kelambanan membangun infrastruktur sosial, politik, ekonomi, dan hukum menyebabkan pembangunan nasional ketiadaan basis untuk menegakkan mutu kehidupan manusia Indonesia. Laporan UNDP niscaya melecut kesadaran kita agar mengevaluasi politik pembangunan yang tidak menjawab aspek-aspek kemanusiaan.

Kita bisa memastikan bahwa kemerosotan mutu manusia Indonesia pasti berhubungan dengan sebagian masyarakat yang tidak memiliki akses pada sumber daya dan hasil-hasil pembangunan. Negara dapat saja mengajukkan argumentasi tentang keberpihakan anggaran pembangunan bagi kehidupan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan urusan primer lainnya.

Namun, argumentasi yang sama akan menuai sinisme manakala sebagian besar warga negara seolah menjauh dari pembangunan. Kenyataan seperti ini akan memunculkan—meminjam apa yang ditulis Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005)—keterpojokkan sebagian warga negara dalam sederet ketidakberdayaan sosial, ekonomi, dan politik.

Tanggung Jawab

Bayangan kegagalan lebih mendominasi publik ketimbang optimisme sosial terhadap pengungkapan bahasa pembangunan dalam kebijakan propoor. Kebijakan politik yang mendukung ekologi kehidupan warga miskin semestinya menjadi substansi kurikulum pembangunan nasional. Kurikulum pembangunan nasional niscaya merefleksikan dan menjawab persoalan kerakyatan.

Sesuatu yang harus ditegaskan secara berulang di hadapan negara pada semua level kekuasaan. Bukan saja penumpukan anggaran pembangunan pada aspek-aspek vital kehidupan yang mampu mendongkrak mutu kehidupan manusia Indonesia, melainkan terutama bagaimana negara mempertanggungjawabkan setiap sen dana pembangunan untuk kehidupan rakyat yang paling miskin.

Kelalaian negara mengurus persoalan asasi ini akan menyebabkan pembangunan nasional kehilangan pesona bagi warga bangsa ini. Kita menyaksikan proses degenerasi pembangunan dalam bentuk-bentuk yang semakin parah seperti yang dikisahkan UNDP kepada kita.

Sebagai penutup, bila di antara tantangan utama untuk meningkatkan kualitas pembangunan Indonesia, termasuk manusianya, adalah soal pemerataan, maka kebajikan pemerintah melalui program-program kebijakan pembangunannya jelas menjadi solusi. Sesungguhnya, itulah memang yang dituntut oleh rakyat negeri ini sedari dulu yang entah mengapa rasanya terlalu sulit diwujudkan.

Ahmad Arif
Penulis adalah peminat kajian sosial keagamaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar