Ilustrasi. Foto: Corbis
Lehman Brothers, lembaga keuangan berusia 158 tahun yang selama ini menjadi simbol dari optimisme sistem pasar bebas, ternyata keropos. Jantung dan pusat saraf kapitalisme ternyata mengandung virus yang sangat merusak.
Demonstrasi Occupy Wall Street (OWS) yang dimulai bulan lalu (17/9) dan selama beberapa pekan meluas ke berbagai penjuru dunia, menandakan bertumbuhnya kesadaran dan aspirasi kolektif bahwa globalisasi dan sistem ekonomi dunia tidak dapat dibangun di atas pelembagaan kerakusan atau ketamakan.
Keunggulan kapitalisme, mengutip Obama (20/2/2009), adalah ”Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched.” Kebebasan luar biasa untuk mengakumulasi kekayaan material ini telah melahirkan abad keserakahan (Martin Jacques, 2004), sehingga melahirkan kultur baru seolah-olah keserakahan adalah anugerah (selfishness as a virtue).
Benar, keserakahan adalah bahan bakar akumulasi kekayaan material. Namun keserakahan merupakan antitesis bagi etika berbagi (ethics of share and care) yang menjadi dasar kokoh ikatan sosial suatu masyarakat.
Dengan demikian, pada lapisan terdalam, protes terhadap Wall Street adalah protes terhadap budaya kerakusan atau ketamakan yang terus menyebar seperti wabah.
Pada lapisan berikut, protes terhadap Wall Street adalah protes terhadap ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi. Globalisasi keuangan telah menimbulkan fenomena yang dikotomik, yaitu pasar finansial yang superaktif di satu pihak; sektor ekonomi riil yang cenderung stagnan di pihak lain.
Ketimpangan dan ketidakadilan tersebut terjadi baik pada tingkat global maupun tingkat nasional. Pergerakan harga komoditas, surat berharga, nilai mata uang, dan pasar properti ditentukan oleh permainan para spekulan di pusat-pusat keuangan dunia. Ada mafia, oligarki, atau gurita kekuatan yang mengatur fluktuasi harga dan arus investasi global.
Kekayaan di tingkat dunia maupun tingkat nasional terakumulasi pada segelintir kaum elite. Pada lapisan yang lebih teknis, krisis terjadi karena laju keborosan masyarakat negara maju lebih besar dari laju produktivitasnya.
Teori ekonomi dasar menyatakan, standar hidup masyarakat ditentukan antara lain oleh kegemaran menabung (propensity to save) dan tingkat produktivitas (level of productivity).
Masyarakat dengan produktivitas menurun tapi tetap mempertahankan konsumsi berlebih, cepat atau lambat akan terjebak pada kebiasaan berutang. Ledakan utang ini mengawali krisis 2008 lalu, saat banyak kredit yang mengalir ke sektor properti tak tertagih.
Pada lapisan yang juga teknis, krisis kali ini selalu dikaitkan dengan utang pemerintah sejumlah negara yang sudah terlalu besar, sehingga hampir dipastikan akan gagal bayar (default) saat jatuh tempo. Gagal bayar suatu negara akan menimbulkan siklus kepanikan di negara lain dengan keterkaitan ekonomi yang tinggi, sehingga pada akhirnya menimbulkan krisis berantai.
Transmisi krisis terjadi melalui jalur keuangan dan jalur perdagangan. Pada tingkat operasional, berbagai kebijakan yang diambil untuk mengatasi krisis dinilai kurang efektif. Kebijakan menambah uang beredar (quantitative easing) yang diambil Obama telah mendorong kenaikan harga-harga komoditi dan meningkatkan inflasi.
Josepth Stiglitz dan Paul Krugman berkali-kali menulis bahwa kebijakan yang ditempuh selama ini hanya menghasilkan pemulihan semu. Angka pengangguran tetap tinggi dan daya beli riil masyarakat luas terus menurun. Solusi yang sifatnya lebih mendasar belum diambil.
Tuntutan sejumlah ekonom agar Dana Moneter Internasional (IMF) menerapkan pajak untuk meredam spekulasi di pasar keuangan, yang dikenal sebagai Pajak Tobin, sampai hari ini hanya sebatas wacana.
Forum Davos 2009 juga hanya memberi kesempatan sepintas kepada Vladimir Putin dan Wen Jiabao untuk ikut mengingatkan pelaku bisnis global terhadap risiko krisis ekonomi.
Desakan negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) untuk menciptakan arsitektur perekonomian global yang baru, untuk menindaklanjuti pertemuan Kelompok G-20 di London (April,2009), juga disambut kurang antusias oleh Amerika dan Inggris.
Yang menarik, Perdana Menteri Inggris David Cameron mengakui bahwa masyarakat Inggris sedang mengalami demoralisasi. Demonstrasi disertai kekerasan dan penjarahan yang terjadi di sejumlah kota di Inggris (Agustus 2011) sedikit banyak menegaskan kekhawatiran Cameron.
Demonstrasi menentang Wall Street dilakukan bukan oleh orang-orang yang secara fisik miskin, lapar, atau tunawisma. Banyak kalangan kelas menengah yang terlibat. Ini menunjukkan adanya ketidakpuasan psikologis masyarakat terhadap keseriusan para politisi untuk membatasi perilaku korporat dan para eksekutifnya yang dinilai telah melanggar batas-batas kepatutan sosial.
Kapitalisme telah berkalikali mengalami krisis, dan berkali-kali pula mampu mencari jalan keluarnya. Sebagaimana dinyatakan para filsuf kapitalisme seperti Von Hayek dan Milton Friedman, keunggulan kapitalisme terletak pada kebebasan yang memungkinkan ekspansi talenta dan kapasitas untuk menemukan pengalaman dan jalan keluar baru.
Sejumlah varian baru sistem ekonomi pasar yang belakangan populer, seperti sistem ekonomi pasar sosial, neososialisme, sistem ekonomi pasar terencana, akan memperkaya evolusi kelembagaan sistem kapitalisme. Adakah krisis kali ini akan menggenapi ramalan Marx bahwa pada akhirnya kapitalisme akan bermetamorfosis menuju sosialisme? Sejarah yang akan menjawabnya.
PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PHD
Pengamat Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar