Bahwa leader yang baik akan bisa mendidik dan menciptakan banyak future leader(s). Jika saja faham seperti ini dijalankan di banyak organisasi termasuk saat mengelola negara, kekurangan calon pemimpin tak akan terjadi. (’dee-daunilalang)
Negeri yang berpenduduk 200 juta lebih ini sebenarnya banyak menyimpan calon-calon pemimpin handal, tetapi sistem yang ada belum memungkinkan calon-calon pemimpin tersebut muncul kepermukaan.
Suksesi kepemimpinan dinegeri ini lebih sering menampilkan suksesi yang dipaksakan. Lihatlah pergantian kepemimpinan dari presiden Soekarno ke tangan Soeharto, Soeharto ke BJ. Habibie, Habibie ke Gusdur, Gusdur ke Megawati, Megawati ke SBY.
Kenapa pergantian Megawati ke SBY juga termasuk dalam suksesi kepemimpinan yang dipaksakan?. Kalau masih ingat dengan melodrama yang dipertontonkan kepada rakyat diseantero negeri, bahwa seorang SBY yang didepak dari kursi menteri dikabinet Megawati yang kemudian dijadikan bahan pencitraan bahwa ia kemudian menjadi pihak yang terdzholimi dan sukses meraih simpati. Bukankah itu termasuk dengan suksesi yang dipaksakan?. Rakyat dipaksa untuk mendapatkan pilihan seorang pemimpin buah dari permainan politik yang tidak elegan.
Bahwa pemimpin yang kemudian tampil adalah model pemimpin yang tidak alamiah. Proses yang dilalui pun penuh dengan kegaduhan dan intrik yang bermacam-macam.
Kita belum terbiasa dengan suksesi yang wajar dan kita masih menganggap bahwa kepemimpinan seseorang itu harus menjadi pemimpin yang superman dan melupakan superteam. Kharisma pemimpin masih terlalu dielu-elukan.
Seharusnya pergantian pemimpin bagi negeri ini bisa disikapi sebagai suatu hal yang biasa-biasa saja dan terus menerus terjadi proses penyegaran. Tidak menampilkan muka yang itu-itu saja dengan sejumlah ambisi pribadi dan kelompok yang menyertai. Juga pemimpin tidak harusnya jadi titik tumpu yang berlebihan sehingga memandegkan bahkan mematikan proses tumbuhnya calon pemimpin-pemimpin baru yang lebih baik dan lebih energik.
Tak banyak memang organisasi apalagi partai politik yang melakukan suksesi kepemimpinannya dengan alamiah dan tanpa gontok-gontokan. Organisasi dan partai politik yang sedikit itu mampu mengolah suksesi kepemimpinan didalam tubuhnya sebagai sebuah penyegaran atas program-program yang telah dan akan terus dilakukan, bukan karena suka atau tidak suka atau karena paksaan.
Lalu kapan negeri ini bisa melakukan suksesi kepemimpinan tanpa kegaduhan dan paksaan?
Ketika kita tak lagi disibukkan dengan memilih kharisma seorang pemimpin dan memberikan tumpuan yang teramat besar dipundaknya dan ketika pemimpin yang ada mampu menghasilkan calon-calon pemimpin yang semakin banyak dibawah kepemimpinannya. Bila hal tersebut menjadi sebuah pemandangan yang biasa maka muncullah kelegawaan untuk menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya kepada calon-calon pemimpin yang baru bagi negeri ini. Pemimpin yang sukses tentunya bukan karena ia bisa berlama-lama dikursi kekuasaannya, tetapi karena ia telah mampu mengadirkan banyak calon pemimpin yang bisa menggantikan posisinya kelak dengan kemampuan yang setara bahkan lebih baik dari dirinya, begitu seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar