JAKARTA (Arrahmah.com) – Berdasarkan hasil survei Lembaga Survey Indonesia mengenai isu ‘radikalisme’ dan ‘terorisme’ menunjukkan indeks ‘radikalisme’ Indonesia pada setahun terakhir mengalami penurunan, tapi belum dalam batas aman.
Indeks kerentanan radikalisme di Indonesia pada 2011 adalah 43,6 atau turun 1,44 dibanding tahun 2010 (45,4). Sedangkan level aman adalah 33,3.
Ketua Lazuardi Birru Dhyah Madya Ruth menjelaskan, indeks radikalisme diperoleh dari hasil penelitian kerentanan radikalisme terhadap 33 provinsi di Indonesia. Dalam survey tersebut diklaim ada 3 daerah yang dinilai paling rentan atau rawan tindakan ‘radikalisme’ yakni Aceh dengan indeks kerentanan 56,8, Jawa Barat (46,6), dan Banten (46,6).
Secara nasional, dipaparkan, tren radikalisme menunjukkan adanya penurunan sejumlah komponen indeks kerentanan radikalisme, yaitu sebagai akibat berkurangnya jumlah partisipasi dan dukungan dari masyarakat terhadap aksi-aksi radikal.
Hal tersebut diklaim sebagai ‘jerih payah’ upaya kontra radikalisme dan deradikalisasi yang intensif dilakukan pemerintah, media, dan civil society.
“Untuk mencapai titik aman di level 33,3, tentu saja masih perlu waktu, intensitas, dan konsistensi dalam menjalankan berbagai program terkait kontra-radikalisasi dan deradikalisasi,” kata Dhyah di Jakarta, Rabu (5/10/2011).
Diuraikan, komponen indeks kerentanan radikalisme terdiri dari tindakan radikal, sikap radikal, jihadisme, agenda Islamis, dan dukungan terhadap organisasi radikal. Selain itu, keanggotaan organisasi radikal, alienasi, deprivasi, intoleransi terhadap non-Muslim, perasaan tidak aman, serta perasaan terancam.
Dhyah menyampaikan, jika dibandingkan dengan data tahun 2010 maka pada tahun 2011 terlihat adanya penurunan 7 komponen indeks. Namun, Lazuardi Birru mencatat, 3 indeks yang turun secara signifikan adalah indeks tindakan radikal, indeks dukungan terhadap organisasi radikal, dan indeks jihadisme.
Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, survei dilakukan terhadap WNI yang punya hak pilih dalam pemilu, yakni berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika dilakukan survei, serta dilakukan dengan teknik multistage random sampling. Dengan jumlah sampel 1.240 responden, serta over sampel dilakukan di 9 provinsi yang masing-masing sebanyak 400 responden, sehingga total sampel adalah 4.840 orang.
Margin of error diperkirakan sekitar 2,8 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden diwawancara melalui tatap muka yang dilakukan pada Juni-Juli 2011. Survei dilakukan bekerja sama antara Lazuardi Birru dan LSI.
Sayangnya tidak disebutkan agama, latar belakang pendidikan dan kualitas pemahaman agama para peserta responden yang diikut sertakan. karena ketika kita mengambil sampel dari responden yang pemahaman agamanya ‘tidak jelas’ maka wajar saja jika mereka ‘nurut’ saja apa yang diopinikan oleh pemerintah dan media. Wallohua’lam. (sp/arrahmah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar