POLITIKUS adalah semacam kutu loncat yang melompat dari satu partai ke partai lain. Ada juga yang membahasakannya sebagai orang kos, yang pindah dari satu tempat kos ke tempat kos lain yang lebih nyaman dan menjanjikan.
Contohnya Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf berpindah partai dari Partai Amanat Nasional (PAN) ke Partai Demokrat, pekan lalu, karena ingin mencalonkan diri sebagai gubernur pada periode mendatang.
Adakah yang salah? Tidak. Semua itu boleh dan sah-sah saja dilakukan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sedang menjabat karena tidak ada peraturan yang dilanggar. Partai yang ditinggalkan pun paling hanya bisa mengomel sampai tua.
Fenomena kepala daerah/wakil kepala daerah berpindah partai sesungguhnya bukan fenomena baru. Sebelum Dede Yusuf, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang berpindah dari PDIP juga ke Partai Demokrat. Bedanya, Sarundajang melakukannya saat periode jabatannya telah berakhir, sedangkan Dede melakukannya di tengah-tengah masa jabatannya.
Dari sudut fatsun politik, orang boleh menilai Sarundajang lebih etis daripada Dede Yusuf. Bahkan, Dede dapat dikategorikan bak Malin Kundang, yaitu anak yang durhaka terhadap ibu yang melahirkan dan membesarkannya di bidang politik.
Sebaliknya Dede pun dapat berkilah bahwa ia dipilih rakyat Jawa Barat menjadi wakil gubernur bukan karena dibesarkan PAN, melainkan karena popularitasnya sebagai artis. Partai hanyalah kendaraan dan orang boleh meninggalkan bus untuk naik taksi.
Berpindah partai juga dilakukan Gamawan Fauzi, yang sebelumnya Gubernur Sumatra Barat dengan dukungan penuh PDIP kemudian menerima pinangan Presiden Yudhoyono dari Partai Demokrat untuk menjadi menteri dalam negeri. Menyangkut perkara ini, orang sepertinya tak bisa menghakiminya sebab memilih menteri merupakan hak prerogatif presiden.
Demikianlah, kepala daerah/wakil kepala daerah bebas menjadi kutu loncat atau orang kos-kosan sesukanya. Bagaimana dengan anggota DPR? Inilah pemangku jabatan publik yang dapat dihukum karena meninggalkan partainya. Partai tak perlu ngomel atau ngedumel, tetapi tegas me-recall-nya dan terbukalah pergantian antarwaktu anggota DPR.
Namun, satu soal mendasar tetap harus dihormati siapa pun. Bukankah setiap orang memiliki hak politik baik untuk masuk maupun keluar dari satu partai ke partai lain yang sesuai dengan aspirasi politiknya?
Lagi pula merupakan fakta bahwa ada partai yang lebih menjanjikan. Sebaliknya, juga fakta bahwa ada partai yang sudah reyot dan kempis ban sehingga sebagai kendaraan tak bisa diajak berlari menyongsong perubahan.
Suka atau tidak suka, pahit atau manis, satu-satunya yang abadi dalam berpartai adalah kepentingan, bukan kesetiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar