Fahmi Wahyu Bahtiar
Jakarta - Korupsi sudah merusak sendi perekonomian dan moral bangsa Indonesia. Korupsi telah membuat Indonesia terjebak pada hutang luar negeri yang besar. Korupsi telah membuat rakyat indonesia sulit mendapatkan fasilitas dan pelayanan publik yang nyaman.
Korupsi telah membuat hukum diperjual-belikan tergantung besarnya uang. Korupsi telah membuat rakyat jelata kelaparan. Sudah saatnya Indonesia memusuhi korupsi tanpa pandang bulu secara bersama-sama.
Rancangan undang-undang tindak pidana korupsi (RUU Tipikor) yang telah selesai disusun dan kemudian ditarik kembali oleh kementerian hukum dan HAM menimbulkan persepsi adanya upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Draft RUU Tipikor jelas membuka jalan bagi koruptor untuk terus menggerogoti kekayaan negara. Di Indonesia, korupsi seperti diberi ruang VIP dan dibentangkan karpet merah.
Janji-janji pemerintah untuk memberantas korupsi hanyalah pemanis dan angin surga belaka. Pidato presiden SBY yang akan menghunus pedang di barisan paling depan dalam memerangi korupsi, dengan melihat draft RUU Tipikor tentu janji itu tidak terimplemantasikan dalam prakteknya. Malahan RUU Tipikor semakin membuat ompong kewenangan KPK, yang merupakan satu-satunya lembaga yang dipercaya masyarakat dan garang dalam memberantas korupsi.
Pelemahan yang paling nyata adalah pengurangan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi, dari hukuman maksimal 20 tahun penjara dan minimal 4 tahun penjara menjadi hukuman maksimal 7 tahun penjara dan minimal 1 tahun penjara. Perubahan ini jelas tidak perlu orang belajar hukum, secara logika orang awam pun mampu membayangkan betapa ringannya hukuman bagi para koruptor.
Hukuman ini tidak sebanding dengan ekses negatif dan kerugian yang ditimbulkan dari perilaku korupsi. Belum lagi permainan di pengadilan dimana koruptor dihukum ringan dan permainan pasca vonis yang biasa terlihat dari banyaknya remisi yang diterima di dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara perilaku korupsi sulit diminimalisir apalagi hanya diancam 7 tahun penjara korupsi di negeri ini bisa merajalela.
Korupsi merupakan extraordinary crime, dengan label itu harusnya treatment penanganan kasus dan hukumannya berbeda pula, harus diatas rata-rata tindak kriminal biasa. Dalam draft RUU Tipikor juga ada pasal yang memboleh penuntutan perkara dihentikan jika kerugian negara hanya 25 juta ke bawah. Nominal 25 juta memang kecil dibanding dengan dugaan kebocoran penerimaan pajak negara yang mencapai ratusan triliunan rupiah. Akan tetapi, angka kecil ini bisa menjadi gunung kerugian bagi negara jika dilakukan oleh banyak orang, terutama pejabat negara dan dilakukan terus-menerus.
Tindakan korupsi kecil atau besar harus dihukum asalkan sesuai dengan porsi kesalahannya. Orang mencopet saja dihukum, bahkan double sebelum masuk penjara dipukuli terlebih dahulu oleh massa. Besar-kecil tindak pidana korupsi tetap harus diberi efek jera agar ada ketakutan dari orang lain untuk berbuat korupsi. Secara tidak langsung mematikan budaya korupsi itu sendiri.
Dengan draft RUU Tipikor ini pemerintah seperti sedang test the water. Adanya amandemen terhadap undang-undang (UU) Tipikor harus dengan tujuan menambal kekurangan dari UU Tipikor yang sudah ada. Dengan munculnya draft RUU Tipikor mengisyaratkan upaya memperlonggar perilaku korupsi karena undang-undangnya dibuat mandul.
Seharusnya, sejak awal penyusunan draft RUU Tipikor diniatkan untuk memperbaiki sistem yang bolong dalam pemberantasan korupsi. Jika melihat sekarang, pemerintah setengah hati membabat korupsi di negeri ini. Walaupun kementerian hukum dan HAM sudah menyatakan menarik dan akan mengkaji kembali draft RUU Tipikor, rasa percaya masyarakat yang sangat benci pada korupsi pun sudah setengah hati.
Masyarakat Indonesia tidak butuh janji langit tapi implementasi langsung di lapangan yang bisa dilihat dan dirasakan perubahannya yang menjadi pembenaran bagi masyarakat bahwa pemerintah sepenuh hati memberantas korupsi.
Penarikan kembali RUU Tipikor oleh kementerian hukum dan HAM menggambarkan pembuatan RUU ini penuh trik. Dalam penyusunan draft RUU Tipikor ini, KPK sebagai user tidak dilibatkan. Disini harusnya peran dan pendapat KPK didengar mengenai kesulitan memberantas korupsi sehingga UU yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan aparat penegak hukum di lapangan
RUU Tipikor ditarik-ulur sesuai dengan kepentingan elite politik. RUU Tipikor layaknya "mainan" yang bisa dilempar kesana-kesini tergantung perkembangan "angin politik" apakah menguntungkan atau tidak bagi elite politik. Draft RUU Tipikor disinyalir memberi jalan bagi para penguasa baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk memperingan hukuman bahkan lepas dari jerat hukum tindak pidana korupsi pasca mereka tidak berkuasa lagi.
Adanya Draft RUU Tipikor ini semakin menghilangkan trust masyarakat pada pemerintah. Di sisi lain, DPR sebagai lembaga yang akan mengkaji dan menyetujui bersama pemerintah mengenai draft RUU Tipikor ini berdiri dua kaki. Di depan media melontarkan janji akan memperkuat UU Tipikor tapi di parlemen sering bertindak sebaliknya, seperti mengusir pimpinan KPK atau mungkin untuk RUU Tipikor ini akan mendukungnya karena hukuman bagi koruptor ringan.
Selama ini DPR sering menunjukkan keangkuhannya pada KPK dan memusuhi lembaga ini yang telah banyak membui anggota DPR. Apalagi Statement-statement anggota DPR, terutama dari komisi III sangat mengambang dan tidak pro-pemberantasan korupsi.
Korupsi tidak bisa dilawan secara parsial oleh pihak atau kelompok tertentu saja tetapi semua elemen masyarakat dan pemerintah harus memiliki komitmen yang sama. Masyarakat sudah punya kemauan kuat untuk mengenyahkan budaya korupsi. Tinggal political will dari pemerintah untuk merealisasikan janji-janji politiknya, seperti memberantas korupsi.
RUU Tipikor yang akan direvisi ulang oleh pemerintah harus menampung kritik dan aspirasi publik yang menilai RUU Tipikor tumpul. Mengakomodasi aspirasi yang positif, seperti pemiskinan koruptor akan menjadikan UU Tipikor semakin bertaring. Selama ini koruptor masih bisa hidup mewah pasca menjalani hukuman karena tidak adanya upaya perampasan uang hasil korupsi oleh negara.
Korupsi telah menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia yang hidup miskin bahkan kelaparan. Setimpal tentu dengan perbuatannya jika koruptor dihukum berat tanpa pemberian remisi plus dimiskinkan.
Fahmi Wahyu Bahtiar
Perumahan Puri Delta Kencana blok N No. 3 Bogor
f.w.ayyu@gmail.com
082110517046
(wwn/wwn)
Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar