Para misionaris tak pernah berhenti memutar otak untuk memurtadkan umat Islam. Bermacam-macam strategi telah diformulasikan dan diujicoba, mulai dari sinkretisme, akomodasi, teologi situasional, indigenisasi, inkulturasi, adaptasi, dan seterusnya hingga ditemukanlah strategi kontekstualisasi misi.
Kata “kontekstualisasi” dimasukkan ke dalam perbendaharaan bidang misi dan teologi sejak diperkenalkan oleh Aharon Sapaezian dan Shoki Coe, direktur Theological Education Fund (TEF) pada tahun 1972, pada sidang Ghana Assembly of the International Missionary Council. Sidang ini membahas isu yang berkaitan dengan pendidikan teologi di negara-negara dunia ketiga (the third mandate programme of the theological education fund).
Di antara faktor yang menuntut strategi kontekstualisasi dalam misi adalah teologi Barat yang dianggap tidak relevan dengan budaya setempat yang menjadi objek misi. Dengan kata lain, agenda dan program yang “dimasak” di luar negeri tidak cocok untuk situasi di tempat lain (dunia ketiga).
Kontekstualisasi adalah strategi misi yang diupayakan agar Injil bisa dimengerti dan diterima oleh objek misi, dalam dimensi budaya objek misi yang dinamis, baik secara politik, sosial, dan ekonomi.
Pengertian kontekstualisasi yang mudah diterima adalah cara menabur “bibit” tanpa harus menanam pot dan tanahnya. Maksud “bibit” adalah Injil, sedangkan “pot dan tanah” adalah budaya sang pengabar Injil.
Para misiolog dan teolog juga berbeda pendapat tentang apa yang perlu dikontekstualisasikan. Apakah Bibelnya, teologinya, atau berita Injilnya? Sejauh mana proses kontekstualisasi itu boleh dilakukan, apakah hanya isinya, bentuknya, atau keduanya?
Di kalangan misiolog, ayat yang paling populer untuk mendukung strategi kontekstualisasi dalam misi pekabaran Injil lintas budaya adalah tulisan Paulus dalam Bibel (1 Korintus 9:20-22).
Menurut Paulus dalam ayat ini, untuk menyebarkan misi kepada orang Yahudi, penginjil harus berpura-pura sebagai orang Yahudi, meski penginjil itu bukan orang Yahudi. Misi kepada orang yang lemah, sang penginjil harus menjadi seperti orang lemah. Kepada penganut hukum Taurat, maka penginjil harus berpura-pura sebagai orang yang hidup di bawah hukum Taurat.
Di Indonesia, penerapan strategi kontekstualisasi yang meniru gaya Paulus ini kerap kali membuahkan gesekan dengan umat Islam. Karena strategi kontekstualisasi itu identik wujudnya dengan jurus serigala berbulu domba, musang berbulu ayam.
Kepada umat Islam, para penginjil berpenampilan seperti orang alim, padahal mereka adalah serigala yang menyeringai, setiap saat siap memurtadkan akidah umat Islam. Pendeta Rudy Muhammad Nurdin misalnya.
Ketika menerapkan strategi kontektualisasi, ia menerjemahkan pesan Paulus dalam 1 Korintus 9:20, bahwa kepada orang Yahudi, harus seperti Yahudi. Kepada kaum muslimin, harus seperti orang Islam dan memakai Al-Qur’an dalam penginjilan, supaya orang Islam tidak marah. Dalam praktiknya, Nurdin menulis belasan buku Kristen berkedok Islam, antara lain: Ayat-ayat Penting di dalam Al-Qur’an, Keselamatan di dalam Islam, Rahasia Allah Yang Paling Besar (as-Sirrullahi al-Akbar), Isa Alaihi Salam dalam Al-Qur’an, Selamat Natal Menurut Al-Qur’an, dll.
Di Bandung, Pnt. Andereas Samudera menerjemahkan strategi kontekstualisasi dalam makalah berjudul “Power Evangelism.” Kepada umat Islam, Andreas mengistilahkan penginjilan sebagai “Pertolongan Bagi Orang Muslim.” Menurutnya prinsip penginjilan kepada umat Islam adalah sbb:
“Dalam rangka menolong seorang Muslim memecahkan masalah mereka, sementara dengan adanya berbagai perbedaan keyakinan kedua kepercayaan ini, kami berusaha mencari hal-hal yang dapat disepakati bersama. Kami menemukan bahwa walaupun secara teologis banyak perbedaan pandang antara faham Kristiani dan Islam, namun ternyata ada banyak juga titik-titik temu dari Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar iman untuk menolong mereka sehingga mereka boleh menerima pertolongan kesembuhan secara spiritual. Dimulai dari titik-titik temu itulah, kuasa Tuhan boleh memasuki kehidupan mereka dan mempersiapkan hati mereka untuk menerima Tuhan Yesus. Di bawah ini beberapa ayat Al-Qur’an yang berguna untuk mengadakan pendekatan kepada mereka.”
Setelah itu, Andreas mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang Nabi Isa (Yesus). Ayat-ayat itu dirakit sedemikian rupa, disambung dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang lain dan ditutup dengan ayat-ayat Bibel, sehingga terkesan seolah-olah Al-Qur’an meneguhkan doktrin Kristen tentang ketuhanan Yesus. Usai merakit ayat-ayat Al-Qur’an dan Bibel, Andreas menyimpulkan, “Otoritas di bumi dan di sorga. Karena urapan pemberian Allah itu maka Isa bin Maryam telah menerima otoritas yang amat besar selama di bumi dan juga di surga. Demikian pula para pengikutnya sampai pada hari kiamat… Isa bin Maryam adalah Jalan Yang Lurus yang dicari semua orang.
Misi kontekstualisasi Kristen kepada umat Islam itu semakin menipu dengan idiom-idiom Islam yang dicaplok Kristen untuk memuluskan pemurtadan. Anehnya, istilah-istilah caplokan ini mereka tonjolkan ketika berhadapan dengan umat Islam, misalnya: Hari Raya Natal diarabkan menjadi hari Maulud Nabi Isa, syahadat (diterjemahkan dari istilah teologi credo), allohummagfirli, shalat rabbaniyah, dakwah ukhuwah, shirathal mustaqiim, tauhid kristiani, dan masih banyak lagi.
Apapun namanya, yang namanya menipu jelas tidak terpuji. Lebih-lebih jika tipuan itu dilakukan di wilayah religius. Maka sangat aneh jika kontekstualisasi misi yang kental dengan tipuan dan akal bulus itu dimanfaatkan para penginjil untuk memasyhurkan nama Tuhan. Lebih aneh lagi, ternyata dalam teologi Kristiani, berdusta (berbohong) untuk memuliakan Tuhan itu diizinkan Paulus:
“Tetapi jika kebenaran Allah oleh dustaku semakin melimpah bagi kemuliaan-Nya, mengapa aku masih dihakimi lagi sebagai orang berdosa?” (Roma 3:7).
Memuliakan Tuhan dengan kedustaan adalah dua hal yang bertolakbelakang. Kedustaan adalah tindakan dosa dan tercela. Apakah mungkin memuliakan Tuhan yang Maha Baik dengan perbuatan yang tidak baik? (bersambung). [A. Hizbullah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar