RABU, 06 APRIL 2011 | 17:5
Terdakwa kasus terorisme Abu Bakar Baasyir mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (17/3). Terdakwa dan tim Kuasa Hukum akhirnya memilih tidak mengikuti sidang karena menolak sistem mendengarkan saksi dengan teleconference. TEMPO/ Aditia Noviansyah
TEMPO Interaktif, Jakarta - Saksi ahli dari Kementerian Agama, Mukhtar Ali, memberi keterangan yang menyudutkan terdakwa kasus tindak pidana terorisme, Abu Bakar Ba'asyir. Menurut Mukhtar dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 6 April 2011, jihad seharusnya dilakukan saat negara dalam keadaan diserang negara lain. Jihad itu pun harus atas seizin pemerintah.
Mukhtar mulanya menjelaskan, bahwa dalam kitab suci Al Quran sebenarnya tidak dijelaskan secara gamblang mengenai perintah pembentukan laskar jihad. Yang ada dalam Al Quran adalah perintah untuk mempersiapkan "kekuatan" untuk menakuti musuh Allah. "Kekuatan itu berupa kuda sebagai kendaraan," ujarnya.
Ia menambahkan, Nabi Muhammad SAW juga pernah berujar bahwa menghimpun kekuatan untuk menghadapi musuh Allah bisa dilakukan dengan berlatih senjata, dalam hal ini panah. "Musuh Allah" yang perlu dihadapi dalam konteks itu adalah bangsa Persia. Namun masalahnya, kata Mukhtar, saat ini tak bisa disimpulkan jelas siapa yang masuk kategori musuh Allah.
Jaksa kemudian menanyai Mukhtar, apakah ada dalil atau hukum Islam yang mengatur mengenai pelatihan menggunakan senjata api. Namun Mukhtar mengaku tak berani menjawabnya karena belum memiliki referensi mengenai penggunaan senjata api di masa Muhammad. Referensi itu sedianya digunakan untuk dibandingkan dengan dakwaan yang menyatakan pelatihan Aceh menggunakan 32 pucuk senjata.
Adapun saat ditanya jaksa mengenai keharusan seorang muslim berjihad, Mukhtar menjawab jihad sebenarnya lebih ditekankan untuk memerangi sifat jahat di dalam hati dan memperbaiki kualitas diri. "Jihad memerangi kafir memang ada. Tapi hendaknya seseorang memprioritaskan menjihadkan diri sendiri sebelum jihad 'keluar'."
Jihad itu sendiri, kata Mukhtar, harus dilakukan semata-mata karena Allah. "Tidak boleh ada niat lain kecuali untuk Allah. Jihad keluar itu bisa dengan harta. Pertanyaannya, apakah senjata dalam pelatihan militer itu bisa dikategorikan harta?"
Namun, hukum jihad disebut Mukhtar menjadi wajib ketika dihadapkan pada tiga kondisi. Pertama, seorang muslim berada dalam peperangan. Kedua, apabila ada negara Islam yang semula aman namun tiba-tiba diserang negara lain, dan ketiga, jihad itu merupakan perintah dari pemerintah.
Ba'asyir kemudian menanyai Mukhtar, apakah pelatihan militer tergolongi'dad (latihan fisik untuk persiapan jihad) ataukah terorisme. "Bagaimana pendapat Ustad, pelatihan militer itu teror atau i'dad? saya minta jawaban tegas!" ujar Ba'asyir.
Mukhtar menjawab, seorang muslim memang diperintahkan agama untuk terampil dan siaga menghadapi peperangan. Tapi hal itu tentunya harus disesuaikan dengan status seorang muslim sebagai warga negara.
"Sebagai warga negara di mana pun kita berada, harus bisa menyesuaikan diri. Kalau mau pelatihan militer, kan sudah ada militernya sendiri. Kenapa tidak dikoordinasikan dengan militer yang sudah ada?" katanya.
Jika pun pemerintah dinilai kafir, muslim tersebut tak seharusnya "melawan" dengan mengadakan pelatihan militer secara sembunyi-sembunyi. Dan yang sebaiknya dilakukan bukanlah menyerang pemerintah dengan membuat kerusakan, melainkan menasehati secara bertahap.
"Nasehat pada pemerintah itu harus diberikan secara rahasia, tidak boleh diketahui. Kalau melakukan kekerasan, ditakutkan akan timbul bahaya. Saya rasa muslim harus patuh pada Allah, rasul, dan pemerintah negaranya. Kecuali negara itu punya aturan yang membuat dia melanggar perintah Allah," jelas Mukhtar.
Jaksa kemudian menanyai Mukhtar, seperti apa hukumnya jika latihan militer dilakukan saat negara dalam keadaan tenang, seperti di Indonesia. Terhadap pertanyaan tersebut, Mukhtar mengaku tak berani menjawab. "Saya takut kepada Allah. Mohon maaf, itu bukan kapasitas saya menjawab," akuny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar