Alit Rahmat
Membludaknya produk impor pangan sangat membahayakan potensi pertanian dalam negeri. Tanpa ketahanan pangan, ketahanan moneter patut dipertanyakan. Perlukah korporasi pangan?
Reporter: Yayat R. Cipasang, Jay Waluyo, Iman Firdaus | Penulis: Abdul Kholis Akbar | Editor: Hadi Rahman
HATI Parman miris saat mengajak keluarganya jalan-jalan di sebuah supermarket di Jakarta, suatu siang. Petani buah asal Bogor, Jawa Barat, itu sedih bukan karena tak punya uang buat belanja. Matanya berkaca-kaca melihat aksi puluhan perempuan paro baya di supermarket itu. Mereka sedang berebut memilih jeruk impor dari Cina yang baru saja dituang ke rak.
Sementara tak jauh dari situ nampak jeruk lokal yang menggunung di ember plastik besar. Hanya sesekali pengunjung memegang dan mencium jeruk lokal, tak sedikit pun tergerak untuk membungkusnya. Bergeser ke konter sebelah, hati Parman makin kecut. Beragam aneka buah segar tampak dipajang rapi berhias aksesoris anyaman bambu.
Ya, begitulah beda nasib antara buah lokal dan buah impor. Buah lokal ditaruh begitu saja di wadah seadanya. Buah impor dipajang bak bingkisan buat pengantin. "Gimana petani kayak saya bisa maju? Yang dijual buah impor semua," ujar Parman.
Ya, hampir semua jenis barang kebutuhan di negeri ini disesaki dengan pasokan impor. Mulai dari tempat menaruh pantat di Ruang Banggar DPR hingga produk pangan seperti garam pun diimpor. Tak heran, di kalangan pebisnis belakangan ini muncul bisik-bisik bahwa pemerintah sedang hobi impor. Ada juga yang bilang, mabuk impor.
Lihat saja, apa yang dilakukan pemerintah pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-19 ASEAN yang digelar di Nusa Dua, Bali, Kamis (17/11) tahun lalu. Pemerintah Indonesia sangat agresif menandatangani perjanjian bebas seperti FTA (Free Trade Area) dengan Jepang, FTA Indonesia-Australia, FTA New Zealand dan lain-lain. Padahal, sebagian besar FTA itu merugikan petani Indonesia. Misalnya, FTA dengan China yang resmi berlaku 2010. Perdagangan Indonesia mengalami defisit dari sektor pertanian khususnya hortikultura.
Sementara tak jauh dari situ nampak jeruk lokal yang menggunung di ember plastik besar. Hanya sesekali pengunjung memegang dan mencium jeruk lokal, tak sedikit pun tergerak untuk membungkusnya. Bergeser ke konter sebelah, hati Parman makin kecut. Beragam aneka buah segar tampak dipajang rapi berhias aksesoris anyaman bambu.
Ya, begitulah beda nasib antara buah lokal dan buah impor. Buah lokal ditaruh begitu saja di wadah seadanya. Buah impor dipajang bak bingkisan buat pengantin. "Gimana petani kayak saya bisa maju? Yang dijual buah impor semua," ujar Parman.
Ya, hampir semua jenis barang kebutuhan di negeri ini disesaki dengan pasokan impor. Mulai dari tempat menaruh pantat di Ruang Banggar DPR hingga produk pangan seperti garam pun diimpor. Tak heran, di kalangan pebisnis belakangan ini muncul bisik-bisik bahwa pemerintah sedang hobi impor. Ada juga yang bilang, mabuk impor.
Lihat saja, apa yang dilakukan pemerintah pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-19 ASEAN yang digelar di Nusa Dua, Bali, Kamis (17/11) tahun lalu. Pemerintah Indonesia sangat agresif menandatangani perjanjian bebas seperti FTA (Free Trade Area) dengan Jepang, FTA Indonesia-Australia, FTA New Zealand dan lain-lain. Padahal, sebagian besar FTA itu merugikan petani Indonesia. Misalnya, FTA dengan China yang resmi berlaku 2010. Perdagangan Indonesia mengalami defisit dari sektor pertanian khususnya hortikultura.
"Para petani bawang anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di Cirebon merugi akibat serbuan bawang impor Cina. Demikian juga petani kentang yang berada di dataran Dieng, Jawa Tengah, banyak yang merugi, karena membanjirnya kentang impor dari Cina dan Banglades," ungkap Muhammad Ikhwan dari Serikat Petani Indonesia (SPI).
Selain kerugian di pihak petani, hobi impor ini tentu akan menyedot uang negara ke luar negeri. Menurut anggota Komisi III DPR, Martin Hutabarat, besaran impor pangan Indonesia ternyata mencapai Rp 90 triliun per tahun. Artinya, dengan Rp 250 miliar per hari kita menyejahterakan petani petani di negara lain. Sedangkan petani kita selalu dalam kondisi kekurangan.
Memang, kalau dilihat dari neraca ekspor impor yang ada, Indonesia masih surplus. Data Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian menyebutkan, hingga Agustus 2011 lalu ekspor komoditi pertanian nasional mencapai US$ 25,13 miliar. Sedangkan impor sebanyak US$ 11,08 miliar atau masih surplus US$ 14,05 miliar. Dari segi volume, ekspor komoditi pertanian mencapai 17,3 juta ton dan impor sekitar 15,86 juta ton, sehingga mengalami surplus 1,49 juta ton.
Nilai impor sebesar itu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sama sekali tidak memihak petani. Inilah yang sedang disuarakan kalangan dewan di Komisi IV. Selain menyayangkan besarnya devisa yang tersedot ke luar negeri, mereka mencurigai adanya korupsi di balik kebijakan impor pangan selama ini. Anggapan ini kian mendekati kebenaran ketika Bambang Widjojanto 'menjual' isu praktik korupsi di sektor pangan saat mengajukan diri sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat sempat terpesona dengan presentasi itu. Ia pun lalu berharap agar Bambang dapat menindaklanjuti presentasinya saat menjabat pimpinan KPK. "Bambang bisa pergunakan KPK untuk memeriksa dan mengusut ada kepentingan mafia impor yang meningkatkan impor terus menerus sehingga petani tidak sejahtera," ujar Martin waktu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar