Sistem pemilu yang ada sekarang dianggap rumit, mahal, membingungkan masyarakat, dan berpotensi masalah. Lalu bagaimanakah sistem pemilu yang cocok untuk kita?
Reporter: Yayat R. Cipasang | Penulis: Abdul Kholis Akbar | Editor: Y.H. Dewanto
KENDATI Pemilu 2014 masih jauh, lembaga survei sudah mengumumkan hasil amatan. Sederet nama disebut pantas menjadi calon presiden. Ada pula yang merilis perkiraan perolehan suara partai. Rilis hasil survei yang “kepagian” ini boleh jadi memang sengaja digunakan untuk mempengaruhi persepsi publik.
Berdasarkan pengalaman, lembaga pengepul suara publik memang cukup efektif menggerakkan perilaku pemilih pada Pemilu. Apalagi mayoritas pemilih di Indonesia adalah massa mengambang. Mereka mudah terpengaruh opini yang berkembang lewat hasil survei.
“Sebab terdapat perbedaan waktu memilih antara di Indonesia bagian barat dengan bagian timur, begitu juga di luar negeri,” ujar Arif Wibowo, Ketua Pansus RUU Perubahan atas UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Karena itu, kata Arif Wibowo, lembaga survei harus diatur ketat. Misalnya, mereka dilarang mengumumkan hasil hitung cepat di sembarang waktu. Lembaga survei yang melanggar larangan tersebut bakal dikenai sanksi pidana. Ketentuan ini termaktub dalam draf revisi RUU Perubahan atas UU Pemilu pasal 245.
Poin tentang sanksi pidana itu kontan saja ditolak kalangan lembaga survei. Muhammad Qodari dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengatakan, sanksi bagi lembaga survei sejatinya tidak perlu. Sebab, hukuman bagi lembaga survei yang tidak kredibel sudah jelas, yakni tidak dipercaya masyarakat. “Sudah ada buktinya, banyak lembaga survei yang berguguran,” jelas Qodari saat Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pansus RUU Pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (20/10).
Persoalan lembaga survei ini hanyalah satu dari sekian poin yang diperdebatkan dalam pembahasan RUU Pemilu. Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU ini juga terdapat usulan pemerintah agar parliamentary threshold (PT) di DPR dinaikkan menjadi 4 persen. Usulan ini mendapat reaksi beragam dari anggota dewan.
Sekjen PPP M Romahurmuziy menilai usulan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tak punya visi yang jelas tentang penyederhanaan parpol. PPP pun ikut dalam wacana pembentukan aliansi partai Poros Tengah bersama PKB, PAN, PKS, Gerindra, dan Hanura. “Wacana pembentukan Poros Tengah adalah alternatif untuk menyikapi kebuntuan di Setgab Koalisi Parpol Pendukung SBY,” sambut Lukman Hakim Saifuddin, wakil ketua umum PPP.
Menariknya, Fraksi PDIP yang merupakan oposisi justru memihak usulan pemerintah. Ia menyindir wacana pembentukan aliansi Poros Tengah sebagai sesuatu yang berlebihan. Menurut Arif Wibowo, wacana Poros Tengah adalah wujud ketidakpercayaan diri atau ketakutan yang berlebihan terhadap batasan parliamentary threshold yang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar