Negara Mendiskriminasi Umat Islam
HTI :Di
hadapan para dubes asing, Presiden SBY kembali menegaskan pembelaannya
terhadap Ahmadiyah dan GKI Yasmin. Di Gedung Pancasila, Kementerian Luar
Negeri, Jakarta, Rabu (15/2), SBY mengatakan Pemerintah tidak pernah
melarang bahkan mengakomodasi kebebasan rakyat untuk beribadah sesuai
dengan keyakinannya, termasuk bagi rakyat Indonesia penganut Ahmadiyah.
Pernyataan
SBY ini menunjukkan dua hal: diskriminasi terhadap umat Islam serta
ketundukan SBY terhadap negara-negara imperilias terutama Amerika
Serikat dan Eropa. Dengan pernyataan ini SBY memposisikan umat Islam
sebagai pihak yang salah, tidak toleran dan anarkis; sementara Ahmadiyah
dan GKI Yasmin diposisikan sebagai pihak yang lemah, kelompok yang
damai, minoritas sehingga harus dilindungi oleh negara.
SBY
jelas menutupi fakta sebenarnya. SBY menutup mata bahwa mayoritas umat
Islam menuntut Ahmadiyah dibubarkan karena kesesatannya. Bahkan
ormas-ormas besar di Indonesia seperti NU dan Muhamadiyah secara tegas
menyatakan kesesatan Ahmadiyah ini. Padahal tuntutan umat Islam terhadap
Ahmadiyah sangat minimalis, yakni agar mereka tidak membawa-bawa nama
Islam dalam keyakinan mereka. Maraknya konflik antar umat Islam dan
Ahmadiyah terjadi karena ketidaktegasan negara untuk melarang Ahmadiyah.
Dalam
kasus GKI Yasmin, fakta penting tentang adanya pemalsuan terhadap tanda
tangan warga yang seakan-akan menyetujui GKI Yasmin juga tidak diungkap
oleh SBY. Selain itu, bakal gereja yang berada di tengah-tengah
pemukiman itu ditolak warga setempat. Apalagi Mahkamah Agung dalam
suratnya nomor: 45/Td.TUN/VI/2011 tertanggal 1 Juni 2011 sesungguhnya
juga telah mengakui SK Walikota Bogor tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin
tersebut dan mempersilakan pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat
ke Pengadilan.
Pidato
SBY di depan kedubes asing ini menunjukkan perkara yang jelas: SBY
sangat khawatir dengan kemarahan pihak asing; khawatir dukungan politik
negara-negara Barat terhadap SBY berkurang. Padahal kalau dilihat dari
jumlah korban, masalah kecelakaan lalu-lintas yang telah membunuh ribuan
orang tentu lebih penting. Konflik-konflik dan kerusuhan yang berkaitan
dengan Pilkada, konflik agraris seperti Mesuji Lampung, atau konflik
tambang seperti di Bima jauh lebih mengerikan dan menyebabkan korban
yang lebih besar. Namun, mengapa SBY tidak merasa perlu untuk
menyampaikan itu?
Semua
ini menunjukkan posisi umat Islam yang sangat lemah dan tertindas
meskipun umat Islam mayoritas dari segi jumlah. Secara ekonomi juga umat
Islam sangat lemah. Kalau lebih dari 30 juta rakyat Indonesia miskin,
atau 120 juta kalau menggunakan standar IMF, maka mayoritas yang miskin
itu pastilah umat Islam.
Tentu
sistem Kapitalisme yang berasaskan sekulerisme menjadi pangkal
masalahnya. Sistem Kapitalisme dengan nilai-nilai pentingnya seperti
demokrasi, pluralisme, dan liberalisme selalu memposisikan umat Islam di
pihak yang lemah, obyek diskriminasi dan menjadi korban.
Dengan alasan sekularisme, negara enggan campur tangan untuk melindungi
akidah umat Islam dari ancaman aliran sesat maupun pemurtadan. Dengan
alasan sekularisme aspirasi umat Islam untuk menerapkan syariah Islam di
bidang kenegaraan ditolak. Tidaklah mengherankan ketika
umat Islam menuntut Ahmadiyah dibubarkan, alasan yang selalu dimunculkan
adalah negara kita bukan Negara Islam, bukan berdasarkan syariah Islam.
Padahal penegakan syariah Islam adalah kewajiban kaum Muslim yang
menjadi mayoritas di negeri ini, termasuk dalam konteks kenegaraan.
Liberalisme
dalam masalah keyakinan memberikan legitimasi bagi kekufuran dan aliran
sesat. Aliran sesat seperti Ahmadiyah pun berlindung dengan alasan
kebebasan berkeyakinan. Kristenisasi terhadap umat Islam yang dilakukan
oleh para misionaris lewat pendirian gereja-gereja juga beralasan
kebebasan beragama.
Adapun liberalisme ekonomi telah menjadi jalan bagi negara imperialis merampok
kekayaan alam negara kita. Tambang-tambang yang jumlahnya melimpah
seperti emas, minyak, batu bara, gas yang sejatinya merupakan milik
rakyat diekploitasi lewat mekanisme perdagangan bebas dan investasi
asing. Kekayaan alam yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat,
seperti pendidikan dan kesehatan gratis, justru dirampok oleh asing.
Beban ekonomi rakyat pun semakin berat, yang itu berarti memperbesar kemiskinan.
Liberalisme
ekonomi yang menekankan pada minimalisasi peran negara dan pengurang
subsidi dalam segala aspek berpengaruh nyata memiskinkan rakyat.
Prinsip kebebasan ekonomi juga telah menyebabkan sumber-sumber ekonomi
penting dikuasai hanya segelintir orang yang, yakni pemilik modal kuat.
Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antara yang kaya dan miskin.
Liberalisme
dalam bidang sosial menyebabkan maraknya kemaksiatan. Kemaksiatan
seperti penyebaran miras, pelacuran, perjudian dan pornografi justru
mendapat payung hukum. Umat Islam yang ingin memberantas kemaksiatan
itu malah dikriminalkan karena memang secara undang-undang kemaksiatan
itu dilegalkan. Ketika umat Islam geram dan bertindak tegas karena
dorongan akidah, mereka dituduh anarki.
Sistem sekular ini juga—lewat mekanisme demokrasi—memunculkan pemimpin
yang pro Barat. Dukungan Barat kemudian menjadi semacam syarat pokok
menjadi pemimpin politik. Sistem demokrasi mahal telah memunculkan
pemimpin oportunis yang lebih berpihak kepada pemilik modal yang
mendukung kemenangan politik mereka. Pemilik modal yang kuat tentu tidak
bisa dipisahkan dari Kapitalisme global yang didominasi oleh Barat.
Pemimpin
yang menjadi boneka Barat ini tentu memposisikan diri mereka bukan
sebagai pembela umat Islam, tetapi pembela kepentingan penjajah asing.
Membela umat Islam dianggap merugikan secara politik, karena mengurangi
dukungan Barat.
Di
sinilah, relevansi penegakan Khilafah yang akan menerapkan syariah
Islam secara menyeluruh. Penerapan syariah Islam akan menghentikan
campur tangan negara-negara imperialisme dalam segala bidang yang
menjadi sarana penjajahan negeri Islam. Politik dalam dan luar negeri
pun ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pemilik
modal dan negara-negara imperialis. Jadi atas dasar apa kita menolak
syariah dan Khilafah Islam? [Farid Wadjdi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar