Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Kamis, 29 Maret 2012

Negara Mendiskriminasi Umat Islam

Negara Mendiskriminasi Umat Islam

HTI :Di hadapan para dubes asing, Presiden SBY kembali menegaskan pembelaannya terhadap Ahmadiyah dan GKI Yasmin. Di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (15/2), SBY mengatakan Pemerintah tidak pernah melarang bahkan mengakomodasi kebebasan rakyat untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, termasuk bagi rakyat Indonesia penganut Ahmadiyah.
Pernyataan SBY ini menunjukkan dua hal: diskriminasi terhadap umat Islam serta ketundukan SBY terhadap negara-negara imperilias terutama Amerika Serikat dan Eropa. Dengan pernyataan ini SBY memposisikan umat Islam sebagai pihak yang salah, tidak toleran dan anarkis; sementara Ahmadiyah dan GKI Yasmin diposisikan sebagai pihak yang lemah, kelompok yang damai, minoritas sehingga harus dilindungi oleh negara.
SBY jelas menutupi fakta sebenarnya. SBY menutup mata bahwa mayoritas umat Islam menuntut Ahmadiyah dibubarkan karena kesesatannya. Bahkan ormas-ormas besar di Indonesia seperti NU dan Muhamadiyah secara tegas menyatakan kesesatan Ahmadiyah ini. Padahal tuntutan umat Islam terhadap Ahmadiyah sangat minimalis, yakni agar mereka tidak membawa-bawa nama Islam dalam keyakinan mereka. Maraknya konflik antar umat Islam dan Ahmadiyah terjadi karena ketidaktegasan negara untuk melarang Ahmadiyah.
Dalam kasus GKI Yasmin, fakta penting tentang adanya pemalsuan terhadap tanda tangan warga yang seakan-akan menyetujui GKI Yasmin juga tidak diungkap oleh SBY. Selain itu, bakal gereja yang berada di tengah-tengah pemukiman itu ditolak warga setempat. Apalagi Mahkamah Agung dalam suratnya nomor: 45/Td.TUN/VI/2011 tertanggal 1 Juni 2011 sesungguhnya juga telah mengakui SK Walikota Bogor tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin tersebut dan mempersilakan pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat ke Pengadilan.
Pidato SBY di depan kedubes asing ini menunjukkan perkara yang jelas: SBY sangat khawatir dengan kemarahan pihak asing; khawatir dukungan politik negara-negara Barat terhadap SBY berkurang. Padahal kalau dilihat dari jumlah korban, masalah kecelakaan lalu-lintas yang telah membunuh ribuan orang tentu lebih penting. Konflik-konflik dan kerusuhan yang berkaitan dengan Pilkada, konflik agraris seperti Mesuji Lampung, atau konflik tambang seperti di Bima jauh lebih mengerikan dan menyebabkan korban yang lebih besar. Namun, mengapa SBY tidak merasa perlu untuk menyampaikan itu?
Semua ini menunjukkan posisi umat Islam yang sangat lemah dan tertindas meskipun umat Islam mayoritas dari segi jumlah. Secara ekonomi juga umat Islam sangat lemah. Kalau lebih dari 30 juta rakyat Indonesia miskin, atau 120 juta kalau menggunakan standar IMF, maka mayoritas yang miskin itu pastilah umat Islam.
Tentu sistem Kapitalisme yang berasaskan sekulerisme menjadi pangkal masalahnya. Sistem Kapitalisme dengan nilai-nilai pentingnya seperti demokrasi, pluralisme, dan liberalisme selalu memposisikan umat Islam di pihak yang lemah, obyek diskriminasi dan menjadi korban. Dengan alasan sekularisme, negara enggan campur tangan untuk melindungi akidah umat Islam dari ancaman aliran sesat maupun pemurtadan. Dengan alasan sekularisme aspirasi umat Islam untuk menerapkan syariah Islam di bidang kenegaraan ditolak. Tidaklah mengherankan ketika umat Islam menuntut Ahmadiyah dibubarkan, alasan yang selalu dimunculkan adalah negara kita bukan Negara Islam, bukan berdasarkan syariah Islam. Padahal penegakan syariah Islam adalah kewajiban kaum Muslim yang menjadi mayoritas di negeri ini, termasuk dalam konteks kenegaraan.
Liberalisme dalam masalah keyakinan memberikan legitimasi bagi kekufuran dan aliran sesat. Aliran sesat seperti Ahmadiyah pun berlindung dengan alasan kebebasan berkeyakinan. Kristenisasi terhadap umat Islam yang dilakukan oleh para misionaris lewat pendirian gereja-gereja juga beralasan kebebasan beragama.
Adapun liberalisme ekonomi telah menjadi jalan bagi negara imperialis merampok kekayaan alam negara kita. Tambang-tambang yang jumlahnya melimpah seperti emas, minyak, batu bara, gas yang sejatinya merupakan milik rakyat diekploitasi lewat mekanisme perdagangan bebas dan investasi asing. Kekayaan alam yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan gratis, justru dirampok oleh asing. Beban ekonomi rakyat pun semakin berat, yang itu berarti memperbesar kemiskinan.
Liberalisme ekonomi yang menekankan pada minimalisasi peran negara dan pengurang subsidi dalam segala aspek berpengaruh nyata memiskinkan rakyat. Prinsip kebebasan ekonomi juga telah menyebabkan sumber-sumber ekonomi penting dikuasai hanya segelintir orang yang, yakni pemilik modal kuat. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antara yang kaya dan miskin.
Liberalisme dalam bidang sosial menyebabkan maraknya kemaksiatan. Kemaksiatan seperti penyebaran miras, pelacuran, perjudian dan pornografi justru mendapat payung hukum. Umat Islam yang ingin memberantas kemaksiatan itu malah dikriminalkan karena memang secara undang-undang kemaksiatan itu dilegalkan. Ketika umat Islam geram dan bertindak tegas karena dorongan akidah, mereka dituduh anarki.
Sistem sekular ini juga—lewat mekanisme demokrasi—memunculkan pemimpin yang pro Barat. Dukungan Barat kemudian menjadi semacam syarat pokok menjadi pemimpin politik. Sistem demokrasi mahal telah memunculkan pemimpin oportunis yang lebih berpihak kepada pemilik modal yang mendukung kemenangan politik mereka. Pemilik modal yang kuat tentu tidak bisa dipisahkan dari Kapitalisme global yang didominasi oleh Barat.
Pemimpin yang menjadi boneka Barat ini tentu memposisikan diri mereka bukan sebagai pembela umat Islam, tetapi pembela kepentingan penjajah asing. Membela umat Islam dianggap merugikan secara politik, karena mengurangi dukungan Barat.
Di sinilah, relevansi penegakan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Penerapan syariah Islam akan menghentikan campur tangan negara-negara imperialisme dalam segala bidang yang menjadi sarana penjajahan negeri Islam. Politik dalam dan luar negeri pun ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pemilik modal dan negara-negara imperialis. Jadi atas dasar apa kita menolak syariah dan Khilafah Islam? [Farid Wadjdi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar