Jimly Asshiddiqie. TEMPO/Adri Irianto
TEMPO.CO, Jakarta -Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengusulkan ada penyederhanaan partai di parlemen. “Misalnya dengan menerapkan ambang batas fraksi,” kata Jimly seusai rapat dengan Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Pemilihan Umum di gedung DPR, Kamis, 9 Februari 2012. Sebab, kata Jimly, sistem multipartai di parlemen terbukti menyulitkan mekanisme pengambilan keputusan.
Menurut Jimly, Indonesia terlalu beragam sehingga tidak mungkin ada partai mayoritas mutlak. Dia sepakat dengan adanya parliamentary threshold atau ambang batas parlemen. Namun, dia mengusulkan agar angka ini tidak terlalu tinggi. Ia menilai, penyederhanaan partai tidak mungkin bisa dilakukan dengan hanya menaikkan angka ambang batas parlemen. “Perlu ada mekanisme lain,” katanya.
Dia mengusulkan dua metode untuk menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen. Pertama, dengan membuat angka ambang batas untuk pembentukan fraksi. “Misalnya angka 20 persen,” kata dia. Angka ini akan membuat jumlah fraksi di parlemen tidak terlalu banyak sehingga mekanisme pengambilan keputusan tidak terlalu rumit.
Usulan kedua dengan melembagakan sistem koalisi atau oposisi. Dia mengusulkan agar parlemen dibagi menjadi dua barisan, yakni baris pemerintahan dan non-pemerintahan. Selama ini sistem ini sudah tercermin dalam sistem politik Indonesia. Hanya saja, “Pengorganisasian ini perlu dilembagakan dalam undang-undang yang baru,” katanya. Sistem ini akan membuat benturan di Sekretariat Gabungan bisa dipindahkan ke parlemen.
Namun, dengan sistem yang baru ini, dia meminta tidak ada lagi parlemen recall oleh partai politik. Meskipun nantinya ada suara berbeda di parlemen, partai tidak bisa memberhentikan anggotanya. Menurut Jimly, sistem ini akan membuat anggota parlemen lebih mengutamakan kepentingan rakyat karena tidak terpengaruh oligarki partai politik.
Jimly menegaskan, Indonesia membutuhkan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang lebih stabil. Dia meminta partai politik tidak terjebak kepentingan golongan dalam merumuskan aturan ini. Dia membandingkan dengan sistem pemilu di negara lain yang tidak berubah selama bertahun-tahun. “Di Eropa aturan tentang pemilu awet dalam waktu lama,” katanya.
Ambang batas parlemen masih menjadi perdebatan dalam revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Partai Golkar dan PDI Perjuangan berkukuh angka ambang batas parlemen sebesar lima persen. Sementara partai menengah menginginkan angka ini tetap seperti aturan sebelumnya yakni 2,5 persen. Politikus Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani, mengusulkan agar tidak ada angka yang mengatur mengenai ambang batas ini. “Zero threshold,” kata Yani.
I WAYAN AGUS PURNOMO
Menurut Jimly, Indonesia terlalu beragam sehingga tidak mungkin ada partai mayoritas mutlak. Dia sepakat dengan adanya parliamentary threshold atau ambang batas parlemen. Namun, dia mengusulkan agar angka ini tidak terlalu tinggi. Ia menilai, penyederhanaan partai tidak mungkin bisa dilakukan dengan hanya menaikkan angka ambang batas parlemen. “Perlu ada mekanisme lain,” katanya.
Dia mengusulkan dua metode untuk menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen. Pertama, dengan membuat angka ambang batas untuk pembentukan fraksi. “Misalnya angka 20 persen,” kata dia. Angka ini akan membuat jumlah fraksi di parlemen tidak terlalu banyak sehingga mekanisme pengambilan keputusan tidak terlalu rumit.
Usulan kedua dengan melembagakan sistem koalisi atau oposisi. Dia mengusulkan agar parlemen dibagi menjadi dua barisan, yakni baris pemerintahan dan non-pemerintahan. Selama ini sistem ini sudah tercermin dalam sistem politik Indonesia. Hanya saja, “Pengorganisasian ini perlu dilembagakan dalam undang-undang yang baru,” katanya. Sistem ini akan membuat benturan di Sekretariat Gabungan bisa dipindahkan ke parlemen.
Namun, dengan sistem yang baru ini, dia meminta tidak ada lagi parlemen recall oleh partai politik. Meskipun nantinya ada suara berbeda di parlemen, partai tidak bisa memberhentikan anggotanya. Menurut Jimly, sistem ini akan membuat anggota parlemen lebih mengutamakan kepentingan rakyat karena tidak terpengaruh oligarki partai politik.
Jimly menegaskan, Indonesia membutuhkan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang lebih stabil. Dia meminta partai politik tidak terjebak kepentingan golongan dalam merumuskan aturan ini. Dia membandingkan dengan sistem pemilu di negara lain yang tidak berubah selama bertahun-tahun. “Di Eropa aturan tentang pemilu awet dalam waktu lama,” katanya.
Ambang batas parlemen masih menjadi perdebatan dalam revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Partai Golkar dan PDI Perjuangan berkukuh angka ambang batas parlemen sebesar lima persen. Sementara partai menengah menginginkan angka ini tetap seperti aturan sebelumnya yakni 2,5 persen. Politikus Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani, mengusulkan agar tidak ada angka yang mengatur mengenai ambang batas ini. “Zero threshold,” kata Yani.
I WAYAN AGUS PURNOMO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar