Sistem pemilu yang ada sekarang dianggap rumit, mahal, membingungkan masyarakat, dan berpotensi masalah. Lalu bagaimanakah sistem pemilu yang cocok untuk kita?
Reporter: Yayat R. Cipasang | Penulis: Abdul Kholis Akbar | Editor: Y.H. Dewanto
Rumitnya Sistem Pemilu
Persoalan penting lainnya dalam revisi UU 10/2008 ialah sistem pemilu. Sebagian kalangan menilai sistem pemilu kita terlalu rumit. Besarnya wilayah daerah pemilihan (dapil) memunculkan sejumlah persolan. Dengan luasnya dapil ini, deret calon peserta pemilu menjadi panjang.
Dengan alokasi kursi 3-10 di setiap dapil, jumlah parpol yang ikut sebanyak 38 (khusus di Aceh 44 parpol karena ada tambahan 6 parpol lokal). Dan, dengan dibolehkannya parpol mengajukan hingga 120 persen orang calon dari jumlah kursi yang diperebutkan, surat suara Pemilu 2009 berisi terlalu banyak calon, berkisar 152-532 orang. Masyarakat yang diharapkan bisa dengan mudah dan dapat cukup banyak informasi, kesulitan memilih ketika berada di bilik suara. Ia harus dihadapkan sekian banyak calon wakil rakyat yang dia tidak kenal.
“Kalau begini apa pemilih enggak bingung? Kecuali kita tidak berharap mereka tidak akan memilih wakil rakyat yang berkualitas. Tapi apa ini yang kita harapkan?” kata Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Nafis Gumay.
Rumitnya sistem pemilu Indonesia juga terlihat dari penghitungan suara hasil pemilu 2004 dan 2009. UU Pemilu menentukan bahwa pengumuman hasil pemilu secara nasional yang dilakukan oleh KPU paling lambat dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah hari pemungutan suara.
Pada Pemilu 2009, pengumuman hasil pemilu dilakukan hingga tenggat hari terakhir. Pemungutan suara dilakukan pada tanggal 9 April 2009 dan pengumuman hasil pemilu dilakukan pada tanggal 9 Mei 2009. Itu pun yang diumumkan secara langsung oleh KPU hanyalah perolehan suara parpol untuk pemilihan anggota DPR dan perolehan suara calon anggota DPD. Pengumuman yang dilakukan pada tenggat waktu terakhir itu pun menyisakan persoalan karena ada dapil yang belum diketahui hasilnya.
Lambatnya penghitungan suara terjadi karena sistem yang diterapkan memang rumit. Penyelenggara pemilu tidak hanya menghitung perolehan suara parpol, melainkan juga perolehan masing-masing calon yang diajukan parpol mengingat perolehan suara tersebut akan menentukan siapa calon yang terpilih. Bisa dibayangkan, jika ada 142-532 calon di surat suara, betapa susahnya proses penghitungan suara. Belum lagi ditemukan kenyataan bahwa banyak terjadi kecurangan, terutama terkait dengan perolehan suara masing-masing calon.
Sistem yang rumit ini juga berimplikasi negatif lain. Sistem ini lebih mendorong kompetisi di internal partai sangat keras. Antarcalon wakil rakyat di dalam satu partai jadi saling sikut. Permainan money politic pun sulit dihindarkan. “Sistem pemilu yang rumit ini juga butuh uang yang banyak bagi para politisi yang ingin bertarung di pemilu. Sebab, untuk mendekati para konstituennya perlu uang tak sedikit,” kata Hadar.
Kasus-kasus Pemilu yang Membelit
Tak dapat dipungkiri, rumitnya sistem pemilu juga menimbulkan berbagai kasus hukum. Pada Pemilu 2009, Mahkamah Konstitusi menerima hampir 700 kasus yang dibundel dalam 70 berkas perkara. Jumlah ini meningkat dibandingkan Pemilu 2004 yang ’hanya’ 273 kasus.
Berdasarkan angka ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen pelaksanaan pemilu bukan bertambah baik, tetapi bertambah buruk karena sengketa justru lebih banyak.
Boleh jadi banyaknya sengketa pemilu merupakan buah dari sistem pemilu yang sedang diterapkan. Sebab perbedaan satu suara saja dapat menyebabkan seseorang kehilangan kursi. Penerapan sistem pemilu seperti sekarang juga ditengarai memuluskan calon untuk berbuat segala cara demi mendapat kursi. Kasus dokumen palsu yang salah satunya membelit mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati, contohnya. Akibat kasus ini, parpol peserta Pemilu 2009 (kecuali, Partai Demokrat) mengkritisi kembali hasil penetapan Pemilu Legislatif 2009.
Munculnya berbagai kasus pelenggaran dalam pemilu juga menimbulkan persoalan baru lainnya, yakni penegakan hukumnya. Sistem penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu di Indonesia melibatkan banyak aktor atau institusi karena masalah-masalah hukum yang timbul juga bermacam-macam.
Berdasarkan hasil evaluasi Cetro, terhadap Pemilu 2009, masalah-masalah hukum yang terkait dapat dikategorikan ke dalam empat kategori, yaitu (1) pelanggaran administratif, yakni pelanggaran tentang tata cara atau tahapan pemilu yang diatur dalam peraturan pemilu; (2) pelanggaran pidana, yakni pelanggaran yang ada unsur tindak pidana pemilunya; (3) sengketa pemilu, yakni sengketa antarpeserta pemilu, dan; (4) perselisihan hasil pemilu, yakni perselisihan tentang penghitungan suara.
Masalah hukum jenis pertama ditangani oleh KPU(D). Namun, menurut Hadar, selama ini terlihat kurang maksimal dijalankan. Bahkan, terkadang KPU(D) terlihat tidak merasa wajib menyelesaikan pelanggaran seperti itu. Tidak ada data berapa pelanggaran administratif yang diadukan kepada KPU(D) selama pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pilpres 2009, dan berapa yang telah diselesaikan.
Masalah hukum jenis kedua merupakan wilayah ”criminal justice system” untuk menyelesaikannya, yaitu polisi, jaksa, dan pengadilan, ditambah Bawaslu/panwaslu. Lagi-lagi penanganan atas pelanggaran ini dianggap sering tidak efektif. Masalah bisa muncul dari pengawas, polisi, jaksa, atau pengadilan yang menangani masalah ini.
Masalah hukum jenis ketiga ditangani oleh Bawaslu/Panwaslu. Hanya, selama ini masalah hukum ini terlihat kurang menonjol. Sebab, faktanya jarang sekali terjadi sengketa antarperserta pemilu di luar masalah hasil pemilu dan tindak pidana pemilu. UU Pemilu sendiri tidak secara tegas menyebutkan mengenai sengketa pemilu ini sebagaimana UU Pemilu 2003.
“Meskipun MK dinilai cukup baik dalam menangani soal perselisihan hasil pemilu, bukan berarti tidak ada masalah. Sering putusan MK pun dinilai kontroversial dan memunculkan pro-kontra di masyarakat. Misalnya putusan yang mengabulkan permohonan, tetapi begitu dilaksanakan oleh KPU, yang bersangkutan tetap tidak mendapatkan kursi,” kata Hadar.
Saluran hukum yang tersedia bagi pihak yang dicoret adalah menempuh gugatan ke PTUN. Masalahnya, menurut Hadar, PTUN menolak untuk memproses gugatan tersebut karena menganggap soal tersebut merupakan hasil pemilu. MK sendiri tidak menerima permohonan yang demikian karena perselisihan hasil pemilu dibatasi waktunya, yaitu 3 x 24 jam setelah KPU mengumumkan hasil pemilu.
“Akibat dari persolan ini banyak pelanggaran yang tidak bisa tuntas hingga ada putusan hasil pengadilan. Penyelesaian kasus yang tuntas hingga ada hasil putusan pengadilan, jumlahnya minim sekali,” ujar Hadar pesimis.
Sistem Pemilu Perlu Disederhanakan
Untuk pemilu ke depan, kiranya dibutuhkan sistem pemilu yang lebih sederhana agar masalah-masalah yang ditimbulkan sistem proporsional terbuka dapat dikurangi, bahkan dihilangkan. Yang paling mudah dan murah dari semua sistem pemilu yang ada adalah proporsional dengan daftar tertutup (closed list proportional representation system) seperti diterapkan dalam pemilu-pemilu di era Orde Baru atau yang secara salah kaprah sering disebut dengan sistem distrik, seperti yang diterapkan di AS, Inggris, India, dan beberapa negara lainnya.
Namun, untuk konteks Indonesia, pilihan terhadap kedua sistem tersebut tidak direkomendasikan. Pasalnya, sistem proporsional tertutup sudah dianggap ketinggalan zaman (old fashion). Sejak Pemilu 2004, Indonesia telah bergerak pada sistem yang lebih terbuka, yaitu yang memberi kesempatan kepada pemilih untuk memilih calonnya secara langsung.
Sistem mayoritarian juga tidak cocok untuk konteks Indonesia yang majemuk. Terlebih jumlah parpol yang ada terlalu banyak sehingga dikhawatirkan suara yang terbuang atau tidak terwakili terlalu banyak. Kajian ini menawarkan sistem campuran (mixed system) dengan varian mixed member proportional (MMP) seperti diterapkan di Jerman, Selandia Baru, Meksiko, Venezuela dan lain sebagainya.
Cetro mengusulkan Mixed Member Propotional (MMP) System atau Sistem Proporsional Campuran. Sistem ini memadukan kelebihan sistem proporsional (dalam hal derajat keterwakilan) dan sistem mayoritarian (dalam hal akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituen).
Sama seperti sistem proporsional terbuka, dalam MMP pemilih sama-sama diberikan hak untuk memilih calon dan parpol sekaligus. Namun, pilihan terhadap parpol dan calon tidaklah harus paralel. Pemilih bisa saja memilih Partai A, tetapi untuk calon dari Partai B.
Dalam MMP, calon dinominasikan dalam dua jalur, yaitu jalur distrik (seperti sistem mayoritarian) dan jalur daftar (seperti sistem proporsional tertutup). Jumlah kursi dari jalur distrik dan jalur daftar bervariasi di negara-negara yang menerapkan sistem ini. Di Jerman jumlahnya fifty-fifty, yaitu masing-masing 299 untuk jalur distrik dan jalur daftar.
Jumlah fifty-fifty bisa pula diterapkan di Indonesia untuk konteks pemilihan anggota DPR yang saat ini berjumlah 560 orang. Artinya, jumlah distrik atau dapil yang harus dibuat berjumlah 280 (separuh dari jumlah anggota DPR saat ini). Parpol hanya mengajukan satu calon di setiap distrik. Sementara untuk jalur daftar, setiap parpol dapat mengajukan minimal sejumlah kursi yang diperebutkan.
“Dengan begini, masyarakat pemilih tidak bingung karena tidak terlalu banyak calon yang harus dipilih. Dapil yang kecil juga bisa menekan biaya,” ujar Hadar.
Menurut Hadar, sistem ini sudah kami usulkan sejak menjelang pemilu 2004. Tapi DPR tetap kekeuh dengan sistem yang mereka buat bersama pemerintah,” ujar Hadar dengan nada kecewa.
Sampai kapan sistem pemilu kita akan berubah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar