Markas : Jl. Peta No. 49 Tlp/Fax 022-5224189 Bandung.40243 /dpwpbbjabar@gmail.com

Jumat, 16 Maret 2012

Ihwal UU Pemilu


Hamid Awaludin
Indonesia adalah sebuah negeri pemecah rekor. Bukan sekadar rekor biasa, tetapi layak tercantum dalam Guinness Book of Records. Rekor itu bisa lahir dari lapangan hijau maupun dari gedung beratap hijau.
Rekor dari lapangan hijau tercipta ketika tim nasional sepak bola Indonesia dibantai Bahrain dengan 10 gol tanpa balas. Rekor dari gedung beratap hijau (baca: DPR) lahir ketika untuk kesekian kalinya DPR bersama pemerintah hendak merevisi Undang- Undang Pemilu ketika pemilihan umum tinggal dua tahun lagi. Rasanya tak ada negara di dunia ini yang selalu mengubah UU Pemilu setiap kali hendak menggelar pemilihan umum.
Tak pernah jelas apa gerangan mengapa UU Pemilu diubah tiap kali menjelang pemilu. Alasan resminya tentu dapat ditebak: karena dinamika masyarakat yang berkembang di seputar masa menjelang penyelenggaraan pemilu. Tapi kita tentu mafhum, alasan kepentingan masyarakat itu hanyalah jubah penutup tubuh berupa kepentingan politik yang tumpang tindih.
Kita semua, terutama para politisi, seperti dihinggapi amnesia bahwa penyelenggaraan Pemilu 2004 nyaris kedodoran gara-gara UU Pemilu terlambat dikeluarkan. Persiapan logistik pemilu terhambat, dan akhirnya Pemilu 2004 pun diselenggarakan berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Kita semua—dan lagi-lagi, terutama para politisi—rupanya hendak menuliskan sejarah yang sama. Kita tak sadar bahwa keterlambatan UU Pemilu berakibat panjang dan berangkai ke banyak urusan: dari persiapan logistik pemilu, penyelenggaraan pemilu, sampai ke legitimasi sistem dan stabilitas politik.
Debat yang tak bernas
Mari lupakan sejenak cerita mengenaskan dari lapangan hijau dan menengok hiruk-pikuk di gedung beratap hijau di Senayan. DPR dan pemerintah tampak sibuk berdebat hal-hal menyangkut daerah pemilihan, metode penghitungan suara, dan sebagainya. Tapi kita tidak pernah mendengar debat bernas soal tata cara mengefisienkan penyelenggaraan pemilu, misalnya soal tempat pemungutan suara (TPS) yang berkaitan dengan jumlah pemilih di setiap TPS.
Sebagai pembanding, pada Pemilu 2004, tiap TPS maksimal untuk 300 pemilih. Saat itu kita memiliki 571.000 TPS di seluruh Indonesia. Dapat dibayangkan pada Pemilu 2014, berapa banyak TPS yang kita butuhkan karena jumlah penduduk yang kian meningkat. Kalau saja pemilih di setiap TPS dinaikkan jadi 1.000 orang atau lebih, maka akan terjadi efisiensi yang luar biasa untuk semua pihak.
Bagi pemerintah, 1.000 pemilih atau lebih per TPS berarti pengurangan biaya penyelenggaraan pemungutan suara karena adanya pengurangan jumlah petugas pelaksana pemilu dan petugas keamanan, dan kemungkinan kotak dan bilik suara. Sementara bagi partai politik, berarti mengurangi biaya untuk saksi dan lain-lain. Tentu saja angka ini harus dikecualikan di Papua yang bermedan amat berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.
Tidak terdengar juga debat dari Senayan menyangkut pengaturan penggunaan wilayah publik untuk kampanye, bukan sekadar asal muasal dan jumlah dana kampanye. Ihwal wilayah publik ini penting mengingat tak semua politisi dan partai punya akses media massa yang sama.
Seharusnya, UU Pemilu juga mengatur secara rinci durasi waktu bagi setiap calon anggota legislatif atau partai tampil di media elektronik. Prinsip equality for all berlaku bagi siapa pun, termasuk politisi atau partai yang terkait media elektronik yang dimaksud, karena media penyiaran elektronik adalah ranah publik yang di dalamnya terdapat hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang berimbang.
UU Penyiaran memang mengatur penggunaan durasi di media elektronik ini, tetapi masih bersifat umum. UU Pemilu-lah yang seharusnya secara spesifik mengatur batasan durasi waktu yang adil bagi para calon anggota legislatif dan parpol, karena kampanye adalah bagian integral dari pemilu. Mekanisme pengawasan tentang hal ini, secara institusional, ada baiknya diserahkan kepada Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Penyiaran Indonesia
Perdebatan serius
Selain itu, masih banyak isu menyangkut penyelenggaraan pemilu yang seharusnya diperdebatkan dengan serius dan dicarikan jalan keluarnya demi kepentingan yang lebih besar. UU Pemilu yang lahir dari perdebatan yang bernas akan menjadi UU yang mengikuti arus dan perubahan zaman dan tidak harus diutak-atik setiap kali menjelang penyelenggaraan pemilu.
Pada akhirnya, UU Pemilu seperti yang kita idam-idamkan akan berdampak penyelenggaraan pemilu yang lancar dan bersih, hasil pemilu yang legitimitas, dan terhindar dari bangsa pemecah rekor yang buruk. Apa pun itu, kita tak akan pernah lelah mencintai negeri ini.
Hamid Awaludin Dosen Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar