Senayan - Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh dalam acara Rembug Nasional Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 28 Februari lalu, bahwa pihaknya sudah menugaskan inspektorat jenderal melakukan investigasi masalah dana BOS ke sekolaha-sekolah untuk mengamankan Permendikbud 60/2011 tentang larangan pungutan, dianggap tidak punya efek apa-apa. Pasalnya, praktek pungutan masih tetap terjadi, bahkan bertambah parah.
Demikian disampaikan Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar dalam rilisnya yang diterima Jurnalparlemen.com, Senin (5/3).
"Ini artinya, Permendikbud tersebut diabaikan oleh sejumlah sekolah. Bahkan, pungutan tersebut tidak hanya terjadi pada saat tahun ajaran baru, seperti pernyataan Menteri, tetapi juga terjadi jelang persiapan Ujian Nasional dan akhir tahun ajaran. Sasarannya adalah siswa kelas 6 SD dan 9 SMP. Pungutan yang dilakukan sejumlah sekolah ini tidak berdiri sendiri," ujarnya Raihan.
Legislator PKS ini mensinyalir, praktek pungutan ini berlangsung secara sistemik. Ini sebagai akibat dari kewajiban pihak sekolah setor ke pejabat yang berada di atasnya.
Temuan Garut Government Watch (GGW), Koalisi Mahasiswa Rakyat Tasikmalaya (KMRT), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu membuktikan bahwa pungutan ini disebabkan adanya hubungan yang saling terkait. Selain itu, menciptakan kondisi mutualisme antara penyelenggara pendidikan di sekolah dan pejabat struktural di atasnya.
"Ada dugaan, sekolah melakukan pungutan kepada siswa dan orang tua siswa tersebut, karena mereka juga diharuskan menyetor dana ke pejabat di atasnya. Kewajiban setor ini diduga untuk mengamankan kedudukan para kepala sekolah. Jika tidak, kemungkinan mereka akan dimutasi atau dicopot sebagai kepala sekolah. Ironisnya, setoran itu diambil dari dana BOS. Akibatnya, para kepala sekolah itu pun melakukan pungutan kepada siswa dan orang tua siswa dengan memanfaatkan komite sekolah," jelasnya.
Dari temuan yang ada, para kepala sekolah pun tidak memberitahukan kepada para guru dan orang tua siswa komponen pembiayaan yang ditanggung melalui dana BOS. Akibatnya, para guru dan orang tua siswa tidak mengetahui, untuk apa saja dana BOS itu.
Jadi, sosialisasi petunjuk teknis dana BOS yang selama ini dilakukan pun turut mendorong masih terjadinya pungutan. Sebab, sosialisasi itu hanya ditujukan kepada tiap para kepala sekolah.
Raihan mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk memperbaiki aturan yang ada. Perlu ada aturan sanksi yang lebih tegas untuk mencegah terjadinya praktek pungutan yang dilakukan oleh oknum pejabat tertentu.
Selain itu, sosialisasi yang dilakukan tidak hanya ditujukan kepada para kepala sekolah, tetapi juga para guru dan orang tua siswa serta komite sekolah, terutama terkait komponen dana BOS.
"Sosialisasi aturan larangan pungutan dan sanksinya pun perlu juga dilakukan. Dengan demikian, semua yang terkait dengan penggunaan dana BOS dan larangan serta sanksinya dapat dipahami oleh para penyelenggara pendidikan," tutup Raihan.
Demikian disampaikan Anggota Komisi X DPR Raihan Iskandar dalam rilisnya yang diterima Jurnalparlemen.com, Senin (5/3).
"Ini artinya, Permendikbud tersebut diabaikan oleh sejumlah sekolah. Bahkan, pungutan tersebut tidak hanya terjadi pada saat tahun ajaran baru, seperti pernyataan Menteri, tetapi juga terjadi jelang persiapan Ujian Nasional dan akhir tahun ajaran. Sasarannya adalah siswa kelas 6 SD dan 9 SMP. Pungutan yang dilakukan sejumlah sekolah ini tidak berdiri sendiri," ujarnya Raihan.
Legislator PKS ini mensinyalir, praktek pungutan ini berlangsung secara sistemik. Ini sebagai akibat dari kewajiban pihak sekolah setor ke pejabat yang berada di atasnya.
Temuan Garut Government Watch (GGW), Koalisi Mahasiswa Rakyat Tasikmalaya (KMRT), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu membuktikan bahwa pungutan ini disebabkan adanya hubungan yang saling terkait. Selain itu, menciptakan kondisi mutualisme antara penyelenggara pendidikan di sekolah dan pejabat struktural di atasnya.
"Ada dugaan, sekolah melakukan pungutan kepada siswa dan orang tua siswa tersebut, karena mereka juga diharuskan menyetor dana ke pejabat di atasnya. Kewajiban setor ini diduga untuk mengamankan kedudukan para kepala sekolah. Jika tidak, kemungkinan mereka akan dimutasi atau dicopot sebagai kepala sekolah. Ironisnya, setoran itu diambil dari dana BOS. Akibatnya, para kepala sekolah itu pun melakukan pungutan kepada siswa dan orang tua siswa dengan memanfaatkan komite sekolah," jelasnya.
Dari temuan yang ada, para kepala sekolah pun tidak memberitahukan kepada para guru dan orang tua siswa komponen pembiayaan yang ditanggung melalui dana BOS. Akibatnya, para guru dan orang tua siswa tidak mengetahui, untuk apa saja dana BOS itu.
Jadi, sosialisasi petunjuk teknis dana BOS yang selama ini dilakukan pun turut mendorong masih terjadinya pungutan. Sebab, sosialisasi itu hanya ditujukan kepada tiap para kepala sekolah.
Raihan mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk memperbaiki aturan yang ada. Perlu ada aturan sanksi yang lebih tegas untuk mencegah terjadinya praktek pungutan yang dilakukan oleh oknum pejabat tertentu.
Selain itu, sosialisasi yang dilakukan tidak hanya ditujukan kepada para kepala sekolah, tetapi juga para guru dan orang tua siswa serta komite sekolah, terutama terkait komponen dana BOS.
"Sosialisasi aturan larangan pungutan dan sanksinya pun perlu juga dilakukan. Dengan demikian, semua yang terkait dengan penggunaan dana BOS dan larangan serta sanksinya dapat dipahami oleh para penyelenggara pendidikan," tutup Raihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar